Mbay, Vox NTT- Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Salestinus menegaskan Bupati Nagekeo, Elias Djo telah melakukan “pembohongan publik” dalam prahara kantor DPRD Nagekeo.
Menurut Salestinus, pernyataan Djo yang menyebut kasus kantor DPRD Nagekeo sudah selesai dan tidak ada persoalan lagi karena sudah menempuh jalur konsinyasi jelas sebagai “kebohongan publik”.
“Penegasan Elias Djo merupakan bagian dari “tipu muslihat” untuk menutupi jejak korupsi dan tindak pidana korupsi itu sendiri dalam kasus pengadaan tanah untuk pembangunan gedung DPRD Nagekeo,” tegas salah satu Advokat Peradi itu dalam press release yang salinannya diterima VoxNtt.com, Kamis (29/6/2017).
Salestinus menjelaskan penggunaan pasal 1404 KUHPerdata sebagai dasar hukum konsinyasi Rp 2,5 miliar untuk ganti rugi tanah milik Remi Konradus merupakan penyalahgunaan terhadap lembaga konsinyasi.
Dia beralasan konsinyasi dalam pembayaran ganti rugi pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum sudah diatur tersendiri dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2016.
Sementara, amar putusan perkara ini tidak ada perintah kepada Pemda dan DPRD Nagekeo untuk membayar sejumlah uang.
“Lantas dari mana munculnya angka Rp 2 miliar untuk membayar Remi Konradus atas tanah seluas +/- 15.000 M2 melalui jalan konsinyasi,” tegas Salestinus.
Dikatakan, pernyataan Bupati Djo sebagaimana dilansir media online VoxNtt.com tanggal 27 Juni 2017 merupakan kebohongan untuk mengelabui publik dan mengecoh Kejaksaan dan KPK.
Karena itu kata dia, pemberitaan media online (VoxNtt.com) dan wartawannya akan dijadikan alat bukti terkait pembohongan publik Bupati Nagekeo. Sebab, pernyataan tersebut berakibat sangat fatal yaitu melahirkan perkara baru berupa korupsi berlanjut guna mengecoh Remi Konradus, masyarakat Nagekeo, dan bahkan KPK.
Salestinus menambahkan, skenario konsinyasi dengan dasar pasal 1404 KUHPerdata menunjukkan Elias Djo dan Wakil Bupati Nagekeo Paulinus Nuwa Veto sedang panik.
Selain itu, skenario ini sedang memperlihatkan betapa Pemerintahan Daerah Nagekeo dipimpin oleh pemimpin yang lemah dalam memahami substansi hukum dan putusan Mahkamah Agung (MA) RI dalam konteks sengketa kepemilikan tanah.
“Ini bukan putusan Pengadilan dalam sengketa hutang piutang sehingga pasal 4014 KUHPerdata mau dipaksakan untuk diterapkan dalam sengketa pemilikan tanah antara Pemda dan DPRD Nagekeo melawan Remi Konradus,” kata Salestinus.
Dia menegaskan Pemkab Nagekeo justru berada dalam posisi diwajibkan Pengadilan untuk menyerahkan tanah seluas 15.000 M2 kepada Remi Konradus disertai pembongkaran Gedung DPRD.
Hal itulah yang harus dilaksanan, bukan pada soal membayar ganti rugi. Apalagi tidak ada kesepakatan untuk membayar ganti rugi.
“Sulit rasanya bagi Elias Djo dan Paulus Nuwa Veto untuk lolos dari jeratan tindak pidana korupsi,” ujar Salestinus.
Kata dia, putusan MA pada tingkat Kasasi dan PK telah menegaskan bahwa Elias Djo dan Paulus Nuwa Veto telah melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan Remi Konradus.
Putusan hukum itu juga memerintahkan Pemda dan DPRD Nagekeo segera menyerahkan tanah obyek sengketa dalam keadaan kosong dan/atau bangunan gedung DPRD Nagekeo harus dibongkar bila perlu dengan bantuan alat negara.
“Ini sudah final, sebagai seorang Kepala Daerah, maka sikap Bupati Elias Djo yang masih terus memperpanjang rentang kendali dengan membuat perkara menjadi beranak pinak dan tidak berujung, sangat bertetangan dengan prinsip peradilan yang cepat, sederhana dan murah serta bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang hendak dicapai dari proses peradilan yang sederhana, cepat dan murah tadi. Tidak ada lagi ruang sekalipun hanya sebesar lubang jarum yang bisa meloloskan Elias Djo dan Paulus Nuwa Veto dari pertanggungjawaban secara pidana dalam kasus ini,” tegas Salestinus.
Atas persoalan tersebut, Salestinus menyatakan Kejaksaan perlu mencermati 3 (tiga) hal penting yaitu: Pertama, Apakah pengadaan tanah yang dilakukan pada tahun 2007 itu dilakukan sesuai dengan prosedur PP No. 65 Tahun 2006 Tentang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan atau tidak.
Kedua, Apakah dana yang diambil dari dana APBD untuk pembayaran kepada Efraim Fao dilakukan sesuai dengan PP No. 65 Tahun 2006 atau tidak.
Ketiga, Uang Rp 2,5 miliar yang diperoleh Bupati Elias Djo untuk dikonsinyasikan pada bulan Maret tahun 2017 dan sudah ditolak Pengadilan Negeri Bajawa, supaya segera disita sebagai barang bukti korupsi oleh Kejaksaan Tinggi NTT di Kupang atau KPK.
Bupati Nagekeo Membantah
Bupati Nagekeo, Elias Djo mengatakan dirinya sama sekali tidak ada niat untuk membohongi publik terkait persoalan kasus pembangunan Kantor DPRD Nagekeo.
Sebelumnya ia menyebut kasus kantor DPRD Nagekeo sudah selesai. Selesai yang dimaksudnya yakni secara formal karena sama-sama mendatangkan tim penilaian tanah (appraisers). Tapi secara fisik masih terus diupayakan menempuh jalur negoisasi.
Bupati Djo menjelaskan, yang dikatakan persoalan itu selesai adalah terkait persetujuan atas ganti rugi lahan. Yang mana saat itu Pemkab Nagekeo dengan pemenang yakni Lori Konardus bersama-sama melakukan persetujuan untuk mendatangkan tim independen dari appraisers.
Dikatakan, dalam kesepakatan itu Lori Konardus meyetujui tim penilai tanah untuk melakukan penilaian atas tanah gedung kantor DPRD.
Selanjutnya, menyetujui kantor pertanahan Kabupaten Nagekeo untuk melakukan pengukuran awal. Pengukuran untuk mengetahui luas lahan yang akan dinilai sebagai syarat bagi tim appraisers melakukan penilaian atas tanah yang dimohonkan pemohon.
Lalu, bersedia menunjuk batas-batas tanah yang diukur oleh kantor pertanahan Kabupaten Nagekeo dan hadir pada saat tim penilai melakukan penilaian atas tanah gedung kantor DPRD tersebut.
Bupati Djo mengatakan berdasarkan analisis dan perhitungan yang telah dilakukan terhadap komponen-komponen ganti kerugian fisik dan non fisik adalah wajar atas satu bidang tanah dengan luas tanah 12.881 meter persegi dengan total Rp 2.458.940.000.
“Baru ada hasilnya penggugat tolak. Dia minta lagi 20 miliar. Saya mau bagaimana, ambil uang dari mana, kalau melangkahi regulasi saya dan penggugat akan kena. Karena diduga pemeras kepada Negara,” kata Bupati Elias Djo kepada VoxNtt.com, Kamis (29/6/2017).
Dia menambahkan, dalam perjalanan waktu dirinya berkonsultasi dengan Kejari Bajawa dan Ketua Pengadilan Negeri Bajawa. Saran kedua penegak hukum itu yakni uang ganti rugi 2 miliar lebih dititip di Pengadilan Negeri Bajawa untuk mediasi.
“Sebelum kita titip kita minta penjelasan dari Kejari dan Ketua PN Bajawa. Saat itu langsung di setujui oleh kedua penegak hukum itu untuk titip uang di PN untuk melakukan mediasi,” ujarnya. (Arkadius Togo/AA/VoN)