Oleh: Alfred Tuname
Persoalan demokrasi juga menyangkut kemelut pada penyelenggara Pemilu. Perihal legitimasi dan kredibilitas penyelenggara juga menjadi perhatian publik. Sebab, demokrasi mesti menghadirkan kegembiraan demi tujuan bersama.
Berita VoxNtt.com (16/11/2017) terkait Panwaslu Manggarai menyinggung kegembiraan publik perihal pengawasan demokrasi Pemilu yang jujur dan bersih. Dikabarkan, anggota Panwaslu dan Panwascam Kabupaten Manggarai terdeteksi sebagai anggota salah satu partai politik. Kecurigaan ini perlu ditanggapi serius dan ditangani cepat oleh komisioner Bawaslu NTT dan Panwaslu Kabupaten Manggarai.
Komisioner Panwaslu Manggarai, Alfan Manah, secara cepat dan tanggap memberi klarifikasi. Bahwa, Panwaslu Kabupaten Manggarai melakukan koordinasi dengan KPU dan partai politik untuk memverifikasi administrasi dan faktual atas nama-nama Panwaslu dan Panwascam yang diduga ada dalam SIPOL Partai Politik.
Sikap komisioner Panwaslu Kabupaten Manggarai itu perlu diajungi jempol. Kebijaksanaan dan kecermatan dalam menerima laporan publik perlu kualifikasi komisioner Panwaslu. Sikap rendah hati dan tidak reaksioner akan memudahkan kerja kepengawasan Panwaslu.
Yang jelas, semua pola kerja dan persoalan kepengawasan sudah diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 dan Peraturan Bawaslu RI. Berkenaan dengan persoalan anggota partai politik dalam tubuh Panwaslu, jika benar dan terbukti, Perbawaslu Nomor 3 Tahun 2015 sudah mengaturnya secara clara et distancta.
Selebihnya adalah soal kepercayaan. Sebab, keutamaan demokrasi juga berkaitan dengan kepercayaan mendasar kepada para penyenggara Pemilu. Kepercayaan publik akan menguatkan kerja dan kinerja Panwaslu (dan KPU). Tentu kepercayaan publik semakin kuat apabila penyelenggara Pemilu memiliki legalitas dan kredibilitas yang memadai.
The International IDEA menetapkan 7 prinsip Penyelenggara Pemilu, yakni independence, impartiality, integrity, transparancy, efficency, proffesionalism dan service-mindedness. UU No 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu disebutkan bahwa Penyelenggara Pemilu berpedoman pada asa mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, proposionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas.
Para komisioner Panwaslu (dan KPU) adalah orang-orang yang memiliki kapasitas dan kualitas seperti yang termuat dalam UU tersebut di atas. Mereka adalah orang-orang terpilih karena mau bekerja (tidak malas), berpengetahuan (paham regulasi dan pola kerja kepengawasan), berani (tidak lari dari tanggung jawab) dan jujur. Komisioner bukanlah orang-orang titipan partai politik, apalagi tim sukses salah satu kandidat.
Meskipun seseorang paham regulasi dan berpengalaman dalam penyelenggaraan Pemilu (pernah jadi komisioner), tetapi kalau ia terindikasi sebagai tim sukses kandidat dan anggota partai maka ia tidak layak menjadi seorang komisioner. Sebab, jika tidak independen, ia sedang menjadi “duri dalam daging” demokrasi yang bersih. Kerja-kerja kepengawasaanya akan berpihak pada kandidat tertentu dan merugikan kandidat lain.
Oleh karena itu, seorang komisioner mesti membersihkan diri dari ketergantungan dan kepentingannya terhadap kandidat atau partai-partai tertentu. Begitu pula semua orang yang bekerja dalam struktur lembaga Penyelenggara Pemilu harus bersih. Pihak-pihak yang tidak bersih mesti “ditendang” sebab akan sangat mengganggu kerja kepengawasan.
Memang ada tendensi dukungan kepada kandidat tertentu. Tetapi hal itu tidak lebih dari hak sebagai warga negara yang memiliki hak pilih. Dukungan itu mesti menjadi sikap pilihan pribadi yang rahasia. Profesionalisme Penyelenggara Pemilu harus menjadi keutamaan dalam bekerja.
Yang jelas, “rezim” kepengawasan Pemilu juga mengikutsertakan publik. Partisipasi publik dalam mengawasi penyelenggaraan Pemilu merupakan usaha menciptakan demokrasi politik yang bersih dan adil. Robert B. Gibson dalam “The Value of Participation” (1981) menulis, the demand of public participation was once the exclusive preserve of radical challenging centralized and arbitraty power”. Partisipasi publik dapat mengontrol kecurangan-kecurangan Pemilu baik dari kontestan Pilkada maupun dari kesewenangan dan maladministrasi lembaga Penyelenggara Pemilu.
Oleh sebab itu, Panwaslu tidak boleh alergi terhadap laporan publik. Panwaslu mesti menjadi lembaga yang dekat dengan masyarakat dan tidak kebal kritik. Panwaslu bukanlah lembaga superbody dan untouchabel. Panwaslu hanya sebagai “panitia” yang mengatur alur-alur kepengawasan Pemilu dan menggunakan regulasi dan aturan sebagai “pegangan” demi berdemokrasi yang jujur dan adil.
Demokrasi hanya dapat dibangun dengan partisipasi, dimana semua warga masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk ikut berperan serta mendiskusikan/membahas masalah-masalahnya dan mengambil keputusan (Robert A. Dahl, 2001). Dalam konteks kepengawasan Pemilu, partisipasi publik dapat dilakukan dengan mengawasi dan melaporkan kecurangan-kecurangan Pemilu kepada lembaga Panwaslu. Dalam Pemilu, itulah demokratisasi kepengawasan.
Tentu, setiap laporan publik mesti berdasarkan fakta dan bukti-bukti yang jelas. Pelapor mesti mengikuti aturan dan standar operasional serta mekanisme pelaporan. Hal ini sangat penting demi melindungi hak-hak terlapor dan pelapor itu sendiri. Thus, atas setiap laporan, Panwaslu mesti memeriksa dan menyikapinya secara bijaksana.
Kebijaksaan keputusan Panwaslu merti mencerminkan ketertiban hukum (rechtsorde, legal order) dan prinsip demokrasi. Artinya, keputusan Panwaslu atas laporan publik harus konsisten dan sesuai dengan regulasi dan tidak melukai prinsip-prinsip demokrasi.
Akhirnya, demi terjaminnya penyelenggaraan Pemilu 2018 (Pilkada dan Pilgub), kita perlu memberi apresiasi setinggi-tingginya kepada komisioner Panwaslu. Mereka telah dipilih, mereka pasti berkualitas dan berintegritas. Partisipasi publik dalam proses demokrasi Pemimu juga adalah bentuk dukungan terhadap lembaga Penyelenggara Pemilu. Bersama Panwaslu kita dukung Pilkada yang demokratis. Salam Awas!
*Alfred Tuname, Penulis dan Esais