Kupang, Vox NTT-Lonceng pilgub NTT telah ditabuh. Tiga pasangan calon telah resmi mendaftar ke KPU, sementara satu paslon lagi, dijadwalkan mendaftar esok, Rabu (10/01/2018).
Dapat dipastikan ada 4 pasangan calon yang bakal bertarung dalam arena pilgub kali ini.
Mereka adalah Benny K Harman-Benny Litelnoni, Esthon Foenay-Christian Rotok, Marianus Sae-Emi Nomleni dan Victor Laiskodat-Josef Nai Soi.
Namun, di tengah hingar bingar semarak pesta demokrasi ini, sekelompok pemuda NTT yang tergabung dalam Kupang Demokrasi Club (KDC) justru merasa resah dengan dinamika pilgub yang sedang berlangsung.
Pasalnya aroma politik oligarkis yang telah terendus sejak awal proses penjaringan, menciptakan beberapa anomali (keanehan) politik.
Oligarki adalah sistem politik dimana pihak yang memerintah terdiri atas sejumlah orang atau sekelompok orang (kelompok elit).
Sekelompok elit tersebut dalam menjalankan pemerintahan selalu menggunakan segala cara agar rakyat dapat dikendalikan dan dikuasainya.
“Sejak awal, parpol yang dikuasai oligarkis mencoba menyusupkan kadernya untuk menjadi gubernur bayangan dikemudian hari,” ungkap Sandry Hayon, salah satu anggota KDC.
Dikatakan Sandry, proses penjaringan calon melalui partai politik telah mengangkangi akal sehat public.
Pertama, ada kader yang menurut hasil survei berturut-turut, elektabilitasnya menanjak namun anehnya SK partai justru mendarat ke kader yang elektabilitasnya rendah.
Kedua, ada fenomena pengusungan calon non-kader yang disinyalir terjadi karena mainan oligarkis partai politik. Dikatakan, ada sekelompok orang yang punya ambisi menitipkan kader yang dapat didikte agar melanggengkan kepentingan ekonomi-politiknya di kemudian hari.
“Kita melihat ada kader partai yang sukses memimpin dan punya elektabilitas baik, tapi kok tidak diusung,” ungkapnya.
Ketiga, jaringan kartel oligarkis melalui sistem yang dibangunnya, telah menyusup ke penyelenggara pilkada seperti KPU dan Panwas.
“Itu tercium lewat banyaknya orang partai yang lolos menjadi penyelenggara pemilu,” ungkap Sandry.
Menurut dia, tidak ada variabel lain yang bisa menjelaskan ketiga anomali politik ini, selain karena uang dan ‘jaringan hitam’ politik oligarkis.
Mencari Figur
Untuk membedakan mana calon yang diusung oligarkis dan yang punya itikad baik membangun NTT sebenarnya sangat mudah.
Sukario Banta, salah satu anggota Kupang Demokrasi Club, merilis beberapa indikator calon ideal.
Pertama BERSIH. Menurut Banta, calon yang bersih dapat dilihat dari rekam jejaknya yang tidak pernah tersentuh kasus hukum dan tidak pernah terlibat skandal moral.
“Calon yang pernah disentuh kasus hukum dan terlibat skandal moral, dengan mudah dikendalikan kaum oligarkis. Satu hal yang perlu dicatat bahwa jaringan oligarkis juga telah menguasai aparat hukum, maka suatu saat kasus-kasus itu dapat ditukar dengan kepentingan investasi pariwisata, tambang maupun kelautan di NTT” pungkas Banta.
Kedua, KONSISTEN. Konsisten yang dimaksud adalah orang yang tidak munafik dengan dirinya sendiri. Dia tetap menjadi dirinya sendiri dan tidak terjebak dalam politik pencitraan.
“Calon yang suka mengumbar senyum, cium, dan peluk itu patut diragukan sebagai politik pencitraan. Pertanyaanya, apakah dengan senyum, cium dan peluk dapat menyelesaikan masalah kemiskinan dan keterbelakangan NTT? Tentu tidak,” tegasnya.
Ketiga, NASIONALIS. Yang dimaksud adalah calon yang menghargai kebhinekaan NTT sebagai kekayaan bersama. Dia adalah orang yang mampu menjadikan NTT sebagai rumah bersama bagi semua suku, ras, agama dan golongan.
Selain itu, dikatakan Banta, nasionalis yang dimaksud bukan dalam arti sempit tetapi orang yang konsisten menghargai nilai-nilai kemanusiaan sebagai dasar nasionalisme Indonesia.
“Bung Karno mengatakan nasionalismeku adalah kemanusiaan. Kita butuh figur NTT yang menghargai prinsip kemanusiaan dan menjalankan roda pemerintahan di atas prinsip itu” tegasnya.
Tantangan
Namun perjalanan memenangkan figur yang ideal ini membutuhkan perjuangan yang besar pula.
Barto Tasoin, mahasiswa asal TTS, menyebut ada dua tantangan besar melawan dominasi politik kaum oligarkis.
“Pertama politik uang dan kedua politik suku-agama” katanya.
Dalam konteks NTT yang didominasi pemilih emosional, uang dan suku-agama telah dijadikan mainan politik kaum oligarkis dari pilkada ke pilkada.
Pengusaha hitam yang berada di belakang calon tertentu punya modal yang cukup besar untuk memenangkan pertarungan politik.
“Kalau ada calon yang suka menghamburkan uang, patut diragukan. Uang itu nanti akan digadai dengan Sumber Daya Alam NTT yang sangat kaya,” tegasnya.
Barto menambahkan jika masyarakat NTT tidak waspada dan hati-hati memilih, maka pilgub NTT kali ini kembali gagal melahirkan pemimpin yang diharapkan.
“Jangan gegabah, sebelum terlambat” demikian dia mengingatkan.
Penulis: Tarsi Salmon
Editor: Boni J