Ruteng, Vox NTT- Insiden pemboman tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur pada Minggu, 13 Mei 2018 turut menyita perhatian 12 elemen forum Koalisi Antiteror di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Juru bicara Kopolisian Daerah Jawa Timur, Kombes Frans Barung Mangera mengatakan, bom meledak di tiga gereja di Surabaya yakni; Gereja Santa Maria di Ngagel, Gereja Pentekosta di jalan Arjuno, dan Gereja Kristen Indonesia di jalan Diponegoro.
Hingga kini dikabarkan sudah 10 orang meninggal dunia dari 41 orang luka-luka dalam insiden tragis tersebut.
Ke-12 elemen yang tergabung dalam koalisi Antiteror pun angkat bicara terkait peristiwa teror di Surabaya.
Ke-12 forum tersebut antara lain; Forum Academia NTT, Madaris Institut, Kompak (Komunitas Peace Maker Kupang), BPP (Badan Pembantu Pelayanan Advokasi) Hukum dan Perdamaian, IRGSC , PIAR, Lakmas Cendana Wangi, Fasilitator Damai NTT, Sobat KBB (Solidaritas Korban Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan) NTT, Gaharu Institut, Pemuda Horeb, dan Brigade Meo
Koalisi Antiteror NTT meminta pengelola Televisi di Indonesia agar bijak dalam menampilkan para tokoh yang membocengi aksi terorisme dan membenarkan aksi kajahatan kemanusian tersebut.
“Tayangan langsung (live) Televisi tanpa analisa memadai hanyalah merupakan tayangan menyebarkan terror,” sebut Koalisi Antiteror NTT dalam rilis yang diterima VoxNtt.com, Minggu sore.
Mereka menyatakan, berkaca pada aksi terorisme yang terjadi di Jakarta, Jawa Barat dan Surabaya pada beberapa hari terakhir ini, Koalisi Antiteror terhadap warga Negara dengan tegas menolak provokasi perang yang ditabuhkan lewat aksi-aksi teror yang menyerang aparat Negara, maupun warga yang sedang beribadah.
Indonesia, sebut ke-12 forum itu, bukan Timur Tengah. Indonesia adalah Nusantara yang berdaulat dan mampu menghadapi adu domba dari manapun.
Mereka juga mengimbau agar elite-elite politik Indonesia belajar dari Malaysia. Di negeri jiran tidak menurunkan konflik di kalangan elite kepada masyarakat bawah, tetapi diselesaikan sendiri di kalangan elite.
Koalisi Antiteror NTT dalam rilisnya pula menyampaikan turut berduka dan menyayangkan terjadinya kekerasan demi kekerasan yang terjadi di kota-kota di Indonesia.
Mereka kemudian mengimbau agar warga yang terlibat dan bersimpati terhadap gerakan Antiteror mengingat betapa sulitnya kondisi Negara Indonesia di tahun 1965 dan pasca 1965.
“Ketika itu friksi antar kelompok begitu menguat, dan pembunuhan besar-besaran dianggap merupakan jalan keluar, ternyata setelah empatpuluh tahun kemudian kita tetap tidak mampu keluar dari model politik yang sama dan trauma yang serupa. Seharusnya kita tidak perlu masuk ke dalam jebakan yang sama dan mampu melampaui kondisi ini dalam semangat warga Negara”
Forum Antiteror NTT juga memuji ketenangan Pemerintah Republik Indonesia saat ini dalam menangani terror.
Kendati demikian, mereka meminta agar Polri dan TNI mampu meningkatakan kedisiplinan, dalam situasi siaga dan mampu mengadakan tindakan pencegahan.
“Kami meminta agar Presiden Republik Indonesia maupun para pemimpin wilayah di berbagai Provinsi, Kota, dan Kabupaten agar melakukan konsolidasi secara maksimal agar situasi kemanan dan ketertiban di Republik Indonesia tetap terpelihara. Apa gunanya kita berpolitik jika rumah kita hangus terbakar?” tulis mereka dalam rilis tersebut.
Tak hanya itu, Koalisi Antiteror juga meminta masyarakat sipil, khususnya organisasi keagamaan agar arif dalam menyatakan sikap dan tidak menerima ajakan perang terbuka.
Sebaliknya Koalisi Antiteror juga mengharapkan agar semangat warga Negara dikedepankan.
Kemarahan dan aksi kekerasan balik merupakan undangan perang. Untuk itu, warga Negara harus melampaui tipu adu domba yang disampaikan melalui sesama yang sudah dicuci otak.
Penulis: Adrianus Aba