Borong, Vox NTT- Sudah hampir 10 tahun Manggarai Timur (Matim) menjadi kabupaten otonom. Sayangnya, Desa Compang Weluk, Kecamatan Poco Ranaka Timur hingga kini masih terisolir.
Pantauan VoxNtt.com belum lama ini, infrastruktur jalan, istrik, air minum bersih, dan gedung sekolah, serta kebutuhan pokok masyarakat lainnya masih belum memadai.
Sejumlah warga di Desa Compang Weluk mengaku kecewa dengan pemerintah kabupaten Matim di bawah kepemimpinan bupati Yoseph Tote dan wakil bupati Agas Andreas (Paket Yoga).
Mereka kesal lantaran sudah 10 tahun Paket Yoga memimpin Kabupaten Matim, sejumlah infrastruktur dasar tak kunjung diperhatikan.
Infrastruktur jalan menuju Desa Compang Weluk, misalnya, bak maut bagi warga. Betapa tidak, jalan tampak masih tanah tanpa sentuhan telford, apalagi lapen.
Selain itu, jalan menuju desa tersebut juga dikelilingi semak-semak bagai lorong kecil di tengah hutan.
Miris memang, sebab sejak lama warga Desa Compang Weluk hidup tanpa merasakan infrastruktur jalan raya yang memadai.
Sebagaimana yang dialami VoxNtt.com saat bertandang ke desa tersebut, kendaraan yang ditumpangi mesti ekstra hati-hati melintasi jalan yang rusak parah. Apalagi di beberapa titik terdapat jurang yang cukup curam.
Sesekali mobil yang ditumpangi macet di pendakian lantaran licin. Mobil terpaksa harus ditarik dengan tali nilon untuk bisa melaju kembali.
Tidak hanya jalan, warga di Desa Compang Weluk pun belum menikamti listrik, air minum bersih, dan gedung sekolah.
Aleks Kari, warga Desa Compang Weluk saat ditemui di kampung Nggola mengatakan, desanya terisolasi sejak zaman dahulu kala hingga era reformasi. Nggola adalah salah satu anak kampung Desa Compang Weluk.
Menurut Aleks, desanya luput dari perhatian Pemkab Matim meski sudah 10 tahun mekar dari Manggarai.
“Kami ini korban pembangunan pemerintah daerah Matim yang penuh diskriminasi wilayah. Jalan, listrik, air minum bersih, jembatan dan gedung sekolah di sini tidak ada. Semuanya tidak ada. Pemerintah datang bawa janji lalu pergi tanpa melihat penderitaan masyarakat di sini. Kami sungguh menderita. Dari semua aspek, kami sungguh menikmati ketidakadilan pemerintah,” ujarnya dengan nada kesal.
Dia menceritakan, jika hendak Borong dan Ruteng warga Desa Compang Weluk terpaksa harus berjalan kaki sejauh lima kilo meter untuk sampai di jalan yang dilalui kendaraan.
“Kalau mau ke Ruteng atau Borong kami star dari kampung jam 4 pagi untuk dapat kendaraan di Rejo. Kalau tidak, ya kami ketinggalan kendaraan. Kondisi itu dialami selama puluhan tahun. Yah, beginilah kenyataan yang harus kami jalani. Mau berteriak, teriak kepada siapa. Tidak ada yang dengar kami. Mungkin pemerintah sudah tidak punya mata dan telinga melihat keadaan kami di sini,” tegas Aleks.
Aleks mengaku, Desa Compang Weluk banyak menyimpan potensi alam seperti komoditi perdagangan yang sangat banyak. Namun, terkendala di pendistribusian hasil komoditi itu menuju kota.
Dia menambahkan, di desa itu juga tidak ada sekolah. Siswa sekolah dasar dan sekolah menengah atas harus berjalan kaki sejauh lima kilometer menuju sekolah yang ada di desa tetangga.
“Jam 5 anak-anak sudah jalan ke sekolah pak. Jaraknya jauh sekali. Mereka jalan kaki sekitar 5 kilometer,” ungkapnya.
Menurut Aleks, warga Desa Compang Weluk juga membutuhkan pembangunan jembatan di beberapa kali besar. Ketiadaan jembatan telah menghambat arus transportasi menuju desa itu.
“Dari Poco Ranaka ada anggota DPRD dan pejabat besar di kabupaten (Matim). Tetapi itu tadi, mungkin kami bukan rakyat mereka. Dan kami juga tidak punya pemerintah. Sedih sekali pak,” ujarnya.
Sebab itu, Aleks sangat berharap kepada pemimpin Matim yang akan datang agar bisa memperhatikan kondisi dan kebutuhan masyarakat Desa Compang Weluk.
“Kami juga bagian dari daerah ini. Tolong tengok dan perhatikan kami,” tutup Aleks.
Penulis: Nansianus Taris
Editor: Adrianus Aba