Editorial, Vox NTT- 17 April 2019 merupakan jadwal pemungutan dan perhitungan suara Pilpres dan Pileg secara serentak di seluruh Indonesia.
Keputusan jadwal ini telah disahkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Jadwal pemilu 2019 sudah berlaku sentralistik. Namun demikian, keputusan ini tentu tak berlaku mulus bagi beberapa wilayah di Indonesia.
Bisa jadi, pihak pengambil keputusan monolitik tersebut sama sekali tak memakai pendekatan kontekstual lokal di masing-masing wilayah di Indonesia.
Belakangan baru ada riakan penolakan karena bertabrakan dengan ritus keagamaan yang amat penting bagi umat kristiani.
Di Provinsi NTT, misalnya, PMKRI Kupang secara tegas menyatakan menolak jadwal pemilu serentak 2019 itu.
BACA JUGA: PMKRI Kupang Tolak Pemilihan Serentak 2019, Ini Alasannya
Organisasi kemahasiswaan katolik itu beralasan, bahwa pada Rabu, 17 April 2019 bertepatan dengan ritus keagamaan umat kristiani di Kabupaten Flores Timur.
Namanya Rabu Trewa (belenggu) dalam prosesi Semana Santa (pekan suci). Tradisi Semana Santa telah berlangsung lebih dari lima abad, sejak bangsa Portugis menyebarkan agama Katolik dan berdagang cendana di Kepulauan Nusa Tenggara.
Biasanya, pada hari belenggu ini ribuan umat kristiani di kabupaten ujung timur Pulau Flores itu berkumpul di kapela-kapela.
Mereka berdoa mengenang kisah pengkhiatan Yudas Iskariot terhadap Yesus Kristus di Taman Getsemani.
Semana Santa sudah menjadi wisata riligi di Flores Timur.
Selama prosesi tradisi keagamaan yang sudah diwariskan turun temurun ini, ribuan pengunjung dari berbagai daerah bahkan dunia datang menyaksikan keunikannya.
Jadwal pemilu serentak 2019 bisa jadi bakal mengungkung dan melumpuhkan ritus keagamaan Rabu Trewa.
Keputusan politik sentralistik tentu saja bakal menjadi masalah krusial bagi umat kristiani di Flores Timur bahkan Indonesia.
Situasi ini membuat umat kristiani berada pada posisi dilema. Apakah lebih memilih datang ke TPS atau ikut berdoa di kapela-kapela dalam ritus keagamaan Rabu Trewa?
Miris memang penetapan jadwal ini. Para pengambil keputusan lupa bahwa Indonesia bisa berdiri kokoh karena kekuatan kepingan-kepingan budaya, agama, etnis, dan lain-lain di daerah.
Pembatasan hak-hak sosial religius sudah masuk dalam peraturan yang dibuat pemerintah. Padahal, agama dan Negara dalam konteks Indonesia telah menyatu.
Agama dan Negara sudah sudah disadari sedari awal oleh para pendiri Indonesia. Buktinya mereka menempatkan sila pertama Pancasila, yakni “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Negara mesti mengahargai agama dalam perspektif keberagaman spiritual Indonesia.
Agama dengan menjalankan ritus penting di dalamnya merupakan sumber moral dan petunjuk kebenaran bagi pengikutnya. Sumber moral ini tentu memberi sumbangsi bagi ketentraman dan kedamaian bagi Indonesia.
BACA JUGA: Uniknya Inkulturasi Islam-Kedang di Lembata NTT
Keyakinan agama sudah disadari sebagai salah satu pagar moral untuk menghindari berbagai kejahatan sehingga kehidupan senantiasa damai dan tenteram, baik secara lahir maupun batin.
Jika demikian penting ritus agama ini, bagaimana dengan pilihan datang ke TPS?
Bukankah ikut mencoblos adalah cara paling jujur menentukan pemimpin, yang diyakini bakal membawa bangsa ini ke arah lebih baik lima tahun ke depan?
Hadir mencoblos juga dianggap penting untuk menentukan nasib bangsa ini, nasib masyarakat, dan nasib kita sendiri.
Umat kristiani di Flores Timur juga menyadari bahwa pemilu adalah mekanisme paling ideal dalam penentuan pemimpin untuk saat ini.
Mereka juga ikut menyadari bahwa demokrasi adalah sistem terbaik dalam melakukan sirkulasi pemimpin.
Dari pelbagai narasi itu, ada dua hal penting sebagai bahan refleksinya.
Pertama, agama dengan segala ritus penting di dalamnya adalah pergulatan batin yang mengarahkan kepada keyakinan seseorang.
Kedua, memilih pemimpin juga adalah hasil pergulatan batin warga Negara. Ia memilih berangkat dari refleksi nuraninya.
Jadi, dua-duanya berbicara tentang batin seseorang yang tentu saja tidak bisa membuat sebuah pilihan antar keduanya. Sebab, dua-duanya dianggap penting dalam kehidupan.
Solusi
Dari kasus yang ada di Flores Timur itu, salah satu tawarannya ialah KPU harus melakukan penetapan pemilu susulan.
Penundaan pemilu ini harus diyakini karena terjadi force majeure. Itu teruma karena ritus Rabu Trewa bertepatan dengan jadwal pemilu serentak.
Apalagi, UU Pemilu Nomor 8 tahun 2012, Pasal 230 dan 231, pemilu lanjutan dan pemilu susulan diperbolehkan.
Jadi, dengan berlandaskan aturan tersebut, KPU harus menetapkan bahwa
daerah Flores Timur harus melaksanakan pemilu susulan.
Penulis: Ardy Abba