Kembali ke kampung tradisional Wae Rebo rasanya seperti menjadi bagian dari kesejukan peradaban masa lalu
Labuan Bajo, VoxNtt.com-Ayam baru saja turun ke tanah di pagi itu. Sebagian warga di Kampung Narang, Kecamatan Satarmese Barat, Kabupaten Manggarai terlihat berbondong-bondong di jalanan menuju Gereja untuk mengikuti ibadah hari Minggu (04/12)
Di Narang, dinginnya angin Pantai dengan jalanan bergelombang menjadi menjadi tantangan tersendiri bagi kami yang bergegas menuju Wae Rebo pagi itu.
Selama 2 tahun terakhir, jalan sepanjang Pantai Selatan Manggarai menuju tempat yang ditetapkan sebagai world heritage site oleh UNESCO pada 2012 itu, sudah berlubang dan memantik keluhan dari warga termasuk wisatawan.
Perjalanan terus berlanjut. Kurang lebih pukul 08.00 wita, matahari perlahan bangun dari tidurnya dari balik kokohnya gunung Pulau Mules ketika kami tiba di Wae Lomba.
Sesampainya di Wae Lomba, kendaraan yang mengantar kami terpaksa berhenti karena perjalanan selanjutnya menempuh rimba raya.
“Jangan lupa bawa tongkat, kalau hujan begini jalanan licin apalagi saat mendaki atau menurun,” ujar seorang pria tua yang tinggal tidak jauh dari wae Lomba.
Mendengar saran dari pria ini kontan saya menyewa tongkat yang dijual warga dengan Rp.10.000 per tangkai.
Perjalanan yang sesungguhnya baru saja dimulai.
Jalan di tengah hutan sepertinya membuat matahari kembali terbenam. Hujan yang menerobos pohon-pohon besar itu menembus dedaunan. Tidak ada pilihan lain selain bergegas menggunakan mantel hujan.
Lebih dari satu jam perjalanan, kami tiba di Poco Roko yang merupakan satu-satunya titik paling tinggi dalam perjalanan ke Wae Rebo.
Dari tempat ini, pemandangan Kampung Denge dengan sawah yang menguning membayar lunas pendakian yang cukup melelahkan.
“Dari tempat ini menuju Wae Rebo tinggal 30 menit lagi dan jalannya rata,” kata Om Petrus saat bertemu di Poco Roko.
Tepat 30 menit seperti yang diperkirakan Om Petrus, akhirnya kami tiba di Wae Rebo.
Decak kagum yang yang berganti irama dengan suara kamera para wisatawan menyambut kedatangan kami di sana.
“Benar-benar gila dan luar biasa, datang ke tempat ini seperti kembali ke masa lalu, enggak salah banyak turis ke tempat ini,”ujar seorang Turis lokal asal Jakarta yang belakangan saya kenal bernama Cokro.
Rumah adat bernama “Mbaru Niang” beratap ijuk tersebut sontak menarik perhatian pengunjung.
Di halaman rumah adat itu, anak-anak tampak bermain serta bercengkerama dalam ekspresi kegembiraan.
Sementara di halaman 9 Mbaru Niang, para wisatawan disambut seorang perempuan berjilbab. Dia adalah Iim, seorang staf dari Indecon salah satu NGO yang fokus memperhatikan Wae Rebo selama ini.
Dengan sapaan layaknya seorang pramu tamu, Iim menggiring kami menuju Niang utama untuk sebuah prosesi yang konon disebut “Adak Wae Lu’u”.
Di Niang utama ini, Rafael Niwang yang menjadi sesepuh Kampung menyambut kami dengan sapaan pembuka. Selanjutnya dalam ritual ‘wae lu’u kami memberikan uang secara suka rela, sementara pak Rafael berdoa pada para leluhur untuk menyambut kedatangan kami.
“Siapapun yang Masuk Wae Rebo adalah bagian dari keluarga besar Wae Rebo, para leluhur harus tahu makanya ada doa sehingga mereka menjaga kita semua,” jelas Pak Rafael usai prosesi singkat itu.
Asal Mula Wae Rebo
Keramahan pak Rafael membuat saya terus mengajaknya bercerita di halaman Niang. Di tengah situasi yang sejuk pria tua itu membagi banyak kisah seputar kampung bersejarah itu.
“Dulu para leluhur kami datang dari Minangkabau bersama para keturunan Raja Todo, melalui Golo Mori di Labuan Bajo, para leluhur masuk di wilayah ini,” tutur Rafael memulai cerita.
Sebelum tiba di Wae Rebo, lanjut dia, Leluhur Wae Rebo yang bernama Maro hidup tidak jauh dari Todo yang sekarang menjadi bagian dari Kecamatan Satarmese Utara.
Tetapi karena peperangan melanda wilayah Todo pada jaman itu, leluhur Wae Rebo bermigrasi menuju ke Selatan Lembor tepatnya di Kampung Modo.
“Awalnya dulu mereka (para leluhur) tinggal di Todo tepatnya di kampung Popo, tetapi karena peperangan melanda di sekitar wilayah itu mereka pindah ke Modo di Lembor, wilayah kekuasaan Dalu Tangge nama kampungnya Modo,” tuturnya.
Selama di Lembor para leluhur Wae Rebo berkelimpahan hasil tani dan tidak dilanda kelaparan sampai suatu hari mereka dilanda bencana.
Bencana itu bukan bencana alam melainkan peperangan baru yang dipicu lantaran salah seorang warga kedaluan Tangge dipukul oleh para leluhur tersebut.
“Selama di Modo, panen melimpah, kehidupan mereka juga sejahtera. suatu hari bencana datang, salah seorang leluhur kami memukul orang Tangge dan membuat dalu Tangge marah besar,” kisahnya.
Mengantisipasi pecahnya perang, para leluhur tersebut memutuskan untuk berpindah ke tempat lain. Perjalanan para leluhur tersebut konon dituntun oleh seekor Musang sampai mereka menemukan Wae Rebo.
“Mereka memutuskan untuk angkat kaki dari Modo dan mencari tempat baru. mereka menemukan Wae Rebo karena mendapat petunjuk seekor Musang makanya kami haram hukumnya makan daging musang,”kisahnya.
Dari Modo menuju Wae Rebo rombongan dipimpin oleh dua orang. Kedua pemimpin itu adalah Maro yang menemukan Wae Rebo dan Bimbang yang mendirikan kampung Pulang di Desa Cambir Leca, Kecamatan Satarmese Barat. Kedua pemimpin rombongan ini berpisah di Golo Ponto yang terletak diatas bukit Wae Rebo.
Menurut Rafael, belajar dari konflik yang mereka alami sejak di Popo dan Modo mengajarkan mereka untuk hidup bijak dan demokratis. sebagian besar warga wae Rebo diwarisi nilai untuk terus rendah hati dengan sesama.
Kisah masa lalu Pak Rafael benar-benar mengajak kembali dengan kisah awal dibalik berdirinya Wae Rebo dan nilai-nilai hidup yang diajarkan.
Kisah ini selalu terbersit dalam perjalanan pulang yang kini menurun, terjal dan licin. Bayangan kampung tua itu selalu mengajak saya untuk kembali menikmati kesejukan sejarah yang tak pernah pudar ditelan zaman. (Eyo/VoN)