Oleh: Alfred Tuname*
Partai politik (parpol) merupakan organ perjuangan rakyat. Idealnya, parpol menjadi tempat yang aman sekaligus “ruang publik” yang bernas bagi masyarakat.
Sebagai wadah, parpol menjadi tempat aduan suara rakyat dan berbagai urusan publik yang diperbicangankan secara rasional. Sehingga, parpol pun dapat mengambil keputusan politik yang cerdas membela rakyat melalui perangkat dan kekuatan kepartaiannya.
Pada kenyataanya, parpol hanya tampil dipanggung politik saat jelang pemilu (Pilkada, Pileg dan Pilpres). Setelah dormansi lama, simbol-simbol parpol digaungkan di event politik itu. Saat itu, parpol mempercantik diri untuk meraih simpati masyarakat.
Para politisinya pun tampil dan mengubah tingkah seolah menjadi orang paling dermawan dan paling “revolusioner”. Mohamad Hatta (1934) menyebutnya sebagai “salon-politici” atau politisi salon.
Lustrum politik pemilu memang begitu menggairahkan parpol-parpol. Sebab parpol sudah lama menjadi “inang” politik bagi setiap orang yang ingin merebut kekuasaan.
Aturannya, selain calon independen, warga negara yang ingin jadi pemimpin harus mendapatkan inang politik itu. Di bilik parpol itulah bumbu dan ramuan afrodisiak kekuasaan diracik.
Strategi, komunikasi dan manuver politik dirancang demi memenangkan calon yang diusung.
Nyaris kerja parpol hanya berhenti di situ. Kerja-kerja berkaitan urusan publik tak terdengar. Maka tidak salah ketika musim pemilu tiba gebyar dan semarak kampanye politik di-forsir.
Arak-arakan dan mobilisasi masa menyeruak dan menyusahkan para pengguna jalan. Bendera-bendera parpol dan iklan politik menjadi sampah visual yang merusak estetika ruang kota.
Fenomena krisis kepercayaan kepada parpol sesungguhnya bermula bermula dari langgam politik parpol yang melepas peran pendidikan politiknya kepada masyarakat.
Partai politik seharusnya bukan hanya tempat rekrutmen politik bagi kader dan pemimpin rakyat, tetapi juga bertindak nyata mengubah kondisi masyarakat dan memberikan pendidikan politik yang benar kepada masyarakat.
“Orang-orang” parpol harus memiliki jiwa kepemimpinan, yaitu mampu, mengutip Hatta, “menduga perasaan rakyat dan memberi jalan kepada perasaan itu keluar”.
Artinya, semua kebingungan rakyat atas realitas politik sehari-sehari perlu menjadi perhatian dan fokus kerja partai politik. Gagal paham politik yang terjadi pada masyarakat perlu mendapatkan sentuhan dari kerja politik parpol.
Hanya saja akan menjadi “kecelakaan sejarah” apabila kapasitas dan kapabilitas “orang-orang” parpol tidak memadai atau “IQ dan SQ politiknya jongkok”.
Ilustrasi cerita Chantecler, tentang ayam jantan, yang ditulis Egmond Rostand setidak bisa membantu pemahaman kita. Hari mulai siang bukan karena ayam berkokok, akan tetapi ayam berkokok karena hari mulai siang! (dikutip dari Muhamad Hatta, 1953).
Dalam konteks ini, publik akan mengenal dan bersimpati pada parpol (dan politisinya) karena kerja-kerja politik parpol telah menyinari harapan dan semangat perubahan dalam masyarakat.
Kerja yang berkaitan dengan urusan publiklah yang menjadi condition sine qua non simpati publik pada parpol.
Oleh karena itu, kerja politik parpol bukan semata pada urusan pemenangan pemilu di ajang Pilkada, Pileg atau Pilpres. Logika politik parpol harusnya dibalik, yakni kemenangan pemilu merupakan resultante dari sepak terjang kerja politik parpol yang berhubungan dengan urusan publik.
Parpol yang lama dikenal dengan kegiatan pendampingan, advokasi, legislasi, pendidiakan politik, pemberdayaan masyarakat, dan lain sebagainya akan lebih mudah mendapatkan simpati publik.
Kemurnian kerja politik parpol tidak pernah menyentuh nurani rakyat manakala parpol tiba-tiba muncul dari ruang gelap lantas menawarkan calon-calon pemimpin untuk sebuah kontestasi politik.
Justru hal itu semakin mengurangi respek publik sebab tawaran itu lahir dari demokrasi “kedap suara” yang bercampur akrobat dan simulasi kepentingan politik elite.
Parahnya lagi, tawaran itu tak sedap dalam ingatan kolektif publik: track record poltisi atau calon yang terindikasi korup, politik dinasti atau muncul dari dunia antah-beratah.
Lajur politik demokrasi perlu diikuti dengan budaya dan perilaku politik para politisi lekat dan dekat dengan rakyat. Ketergelinciran demokrasi politik terjadi manakala semua orang merasa pantas jadi pemimpin.
Oleh karena itu, pemimpin harus tumbuh dan lahir dari rakyat, bukan atas rekayasa politik yang elitis. Bahwa calon pemimpin pernah ada dan sudah berbuat untuk perubahan masyarakat, bukan kerja salon politik parpol yang bermain dengan pencitraan. Bukankah politik itu bersifat substantif, bukan ekspansi citra?
Kerja politik parpol perlu belajar mengikuti filosofi semut: semut mengumpulkan makanan sebelum musim penghujan tiba. Begitu pun seharusnya dengan kerja politik parpol.
Ketika “musim hujan” pemilu tiba, pundi-pundi kantung suara dan simpati masyarakat (konstituen) sudah ada ditangan. Pintu kemenangan sudah tertutup bagi parpol dan calon parpol lain.
Tak perlu lagi “serangan fajar” atau “operasi senyap” yang kental money politics. Semua itu mungkin karena parpol cerdas dan bijak mengurus publik, bukan rakus mengurus kekuasaan.
Alfred Tuname, Direktur Lembaga Neralino (Network On Reform Action For The Well-being Of Indonesia)