Oleh: Alfred Tuname*
Dalam buku On Liberty, John Stuart Mill (1806-1873) menantang kecenderungan sikap yang melarang perbedaan pendapat. Negara perlu menjamin hak setiap warga untuk menyatakan pendapat di depan umum. Itulah demokrasi sesungguhnya.
“Adalah kejahatan khas pembungkaman ungkapan sebuah pendapat bahwa dengan demikian umat manusia jadi dirampas; baik umat manusia mendarang maupun yang sekarang; lebih merekalah yang tidak sependapat daripada merka yang sependapat” (bdk. St. Sularto, ed., 2001).
Bagi John Stuart Mill, pembungkaman pendapat warga negara berarti identik dengan mengangkangi kemanusiaan seseorang yang pada dirinya melekat hak-hak politik.
Negara pun akan dicap otoriter bila negara menginisiasi pembungkapan pendapat warga negara di depan umum. Akan tetapi, di era demokrasi, dilema kebebasan berpendapat mengemuka di medan publik.
Jebakannya adalah warga negara kian kebablasan menggunakan hak berpendapatnya. Bahwa pendapat publik itu tidak lagi rasional dan obyektif, melainkan subyektif, irasional dan cenderung mengarah “argumentum ad hominem”.
Di sini dominasi psikologis dan narsis membuat penyampaian pendapat atau argumentasi berujung pada ungkapan kebencian, hasutan, agitasi, propaganda dan lain sebagainya.
Bersamaan dengan proses demokrasi, negara menyiapkan “garis-garis pinggir” yang tebal untuk mengontrol kebebasan berpendapat yang kebablasan itu.
Perangkat-perangkat hukum dibuat untuk melindungi hak-hak warga negara sekaligus menaruh harapan agar warga negara menggunakan haknya secara bertanggung jawab.
Setiap warga negara wajib mentaati aturan dan hukum sebagai konsekuensi hidup bersama berbangsa dan bernegara.
Kewenangan negara tergantung pada produk hukum yang dibuat, tetapi legitimasi negara tergantung pada pelayanan negara terhadap warga negara.
Di sini, pemerintah (sebagai penyelenggara negara) tidak saja bertugas melakukan kontrol terhadap masyarakat, tetapi juga wajib mengupayakan pelayanan publik demi kesejahteraan rakyat.
Hukum pun tidak bisa dimanfaatkan sepenuhnya untuk melanggengkan kekuasaan dengan menekan hak-hak politik publik.
Triomfalisme
Partisipasi politik publik tidak saja diukur dari keterlibatan politik demokrasi Pemilu, tetapi juga ditakar dalam sikap publik yang mengontrol setiap kebijakan pemerintah.
Pemerintah yang tidak kontrol akan cenderung korup. Pemerintah “Actonian” (Lord Acton), “power tends to corrupt, absolute power tends to corrupt absolutly”, akan menimbulkan rasa muak publik kepada pemerintah.
Penyelenggara pemerintah pun tidak dibenarkan dengan bersembunyi dalam selimut sistem. Dengan selimut sistem, penguasa dan birokrat pemerintah mengeksekusi kebijakan publik secara kaku dan bahkan tidak tepat sasaran.
Sikap apologetiknya yang sering muncul adalah “because the system said so!”. Dari sinilah triomfalisme (dari bahasa Belanda) pemerintah beranak-pinak.
Triomfalisme pemerintah adalah sikap serba tahu dan serba benar yang tercermin dalam sikap para pejabat atau birokratnya.
Karena triomfalisme itu, masyarakat selalu serba salah. Bahkan, para pejabat dan birokratnya tergelincir dalam “ultra-triomfalisme” sehingga seringkali rakyat yang sudah menderita dicap bodoh dan tidak tahu aturan (double victimize, dalam istilah Slavoj Zizek).
Triomfalisme pemerintah sering diikuti dengan penebalan sikap anti-kritik. Penguasa, pejabat dan birokrat tidak mau dikritik. Mereka selalu cemas terhadap kritikan publik.
Kritikan dianggap sebagai sikap anti-pemerintah. Skeptisme seperti ini akan membahayakan demokrasi dan pemerintah an sich. Pemerintah yang “clear and clean” justru perlu diikuti dengan kontrol dan kritik publik secara terus menerus. Tentu, apresiasi obyektif perlu lantunkan juga.
Pemerintah yang anti-kritik merupakan bagian dari skema “political exclusion” yang dilakukan oleh penguasa (the ruling class). Pemerintah mengontrol ruang publik, mengurung kebebasan pendapat dan mengabaikan partisipasi publik, sembari menguatkan birokrasi dan militer, normalisasi organisasi pergerakan, “memanjakan” para intelektual publik dan lain sebagainya.
Ruang publik pun sepi dari perbicangan rasional. Penguasa korup pun sepi dari apresiasi dan kritikan; hanya ada puja-puji para penjilat dan politik pencitraan.
Padahal sesungguhanya kritikan merupakan “konsultasi gratis” (istilah Arief Budiman) yang bermanfaat bagi pemerintah itu sendiri.
Pemerintah yang arif biasanya memanfaatkan kritikan publik sebagai “moment opname” untuk menyembuhkan penyakit-penyakit birokrasi dan sistem yang tidak bermanfaat bagi masyarakat.
Oleh karena itu, para penguasa (the ruling class) dalam pemerintah harus membuka diri terhadap kritikan dan kebebasan pendapat. Pemerintah yang takut terhadap kritikan dan kebebasan merupakan simptom ketidakberesan penyelenggaraan pemerintah.
Sayangnya, ekspresi politik publik tidak mampu dibendung oleh sikap pemerintah yang takut. Kritikan dan apresiasi atas kebijakan pemerintah merupakan bagian dari lajur politik demokrasi yang telah diamini bersama.
Demokrasi sudah menjadi “good taste of politics” dalam mewujudkan kehidupan bersama yang adil dan sejahtera.
Demokrasi selalu mensyaratkan kebebasan berpendapat. Dalam kondisi itu, kritikan dan apresiasi selalu mengalir bagai sungai dalam ruang publik.
Jean Jaures, seorang humanis Prancis, pernah mengatakan, “le meilleur moyen pour un fleuve d’etre fidde a sa source, c’est d’aller vers la mer” (cara terbaik bagi sungai untuk tetap setiap pada sumbernya adalah dengan terus mengalir menuju ke lautan).
Dalam konteks demokrasi, kritikan dan apresiasi merupakan cara terbaik yang bisa dilakukan oleh publik untuk selalu dekat dan setia pada pemerintah, bukan untuk memusuhinya.
Foto Feature: Illustrasi (Foto: Kompasiana.com)
Alfred Tuname, Direktur Lembaga Neralino (Network On Reform Action For The Well-being Of Indonesia)