Oleh: Andy Tandang*
Peristiwa-peristiwa kebangsaan mutakhir yang membingkai diskursus publik di negeri ini telah mengancam kerinduan berada bersama dalam perasaan senasib sebagai bangsa.
Gejolak dalam negeri, hampir dalam semua gatra kehidupan sepertinya tak mampu dibendung. Benturan antara suku, agama, ras maupun golongan yang berujung konflik mewarnai kehidupan berbangsa kita.
Ruang publik seolah didominasi suasana kebencian, saling melukai, dan saling meniadakan antara sesama warga bangsa.
Di sisi lain, gesekan kepentingan politik dalam lingkaran perebutan kekuasaan telah mengguncang stabilitas kehidupan nasional Indonesia. Ditambah lagi kondisi keterpurukan ekonomi kita dan terjelma dalam angka kemiskinan yang semakin akut.
Muncul sebuah pertanyaan reflektif, apakah polemik kebangsaan ini murni lantaran ketidakwarasan warga negara dalam mengelola bangsanya, ataukah mempunyai korelasi erat dalam konteks strategi politik negara-negara maju di dunia?
Hemat penulis, gejolak yang terjadi di dalam negeri tidak terlepas dari geostrategi negara-negara maju untuk menguasai Indonesia dalam kerangka rekayasa konflik dengan strategi yang lebih halus namun mematikan.
Dalam sebuah kuliah umum di Universitas Indonesia beberapa waktu lalu, Panglima TNI, Jendral Gatot Nurmantyo kembali mengingatkan soal posisi strategis negara Indonesia yang dilingkari negara-negara maju di dunia.
Indonesia menurut Gatot, laksana ‘gadis sexy’ yang menjadi idola dan incaran empuk negara-negara maju di dunia.
Pada konteks ini, sebagai sebuah negara berkembang, logika Gatot benar. Mesti diakui, dalam perspektif sumber daya alam, Indonesia mempunyai kekayaan alam yang melimpah ruah.
Selat Natuna yang menyimpan banyak kekayaan laut misalnya, atau tanah Papua yang menjadi surga emas, telah merangsang negara-negara maju untuk melakukan ekspansi ekonomi. Secara geopolitik, posisi Indonesia sedang terancam.
Fakta yang lain bisa ditemukan di daerah-daerah pelosok Indonesia yang juga menyuguhkan kekayaan alam yang serupa. Kekayaan alam yang melimpah ruah itu tidak berbanding lurus dengan kekuatan sumber daya manusia Indonesia.
Situasi tersebut tanpa disadari, mendorong negara-negara maju untuk beroperasi dan menguasai sumber daya alam Indonesia dengan teknologi yang semakin canggih.
Negara-negara inipun merancang strategi yang sistematis hingga tak disadari kita terjebak dalam logika penjajahan yang sistematik itu.
Dalam perspektif geopolitik dunia, negara-negara maju akan melihat Indonesia sebagai sarang kekayaan alam yang mampu mensuplai amunisi untuk mempertahankan stabilitas nasional negaranya.
Strategi yang dimainkan untuk menguasai kekayaan alam Indonesia tentu tidak lagi menggunakan perang terbuka antara negara, tetapi melalui pihak ketiga dengan menggunakan strategi Proxy War atau perang proxy.
Pelemahan Ketahanan nasional
Strategi perang proxy tidak face to face tetapi melibatkan pihak ketiga atau kekuatan-kekuatan lain untuk menyerang (Chris Lovenan:2002).
Proxy war beroprasi dalam logika pelemahan ketahanan nasional dari masa ke masa secara bertahap dan halus. Untuk memuluskan strategi operasional tersebut, kekuatan asing yang mengincar Indonesia memiliki sebuah harapan akan situasi keterpecahan, situasi dimana Indonesia dipapah ke dalam lingkaran kerusuhan bahkan hingga peperangan seperti yang terjadi di Suryah saat ini.
Pelemahan ketahanan nasional tersebut telah merasuki seluruh gatra kehidupan sosial. Mulai dari ekonomi, politik, hukum, peraturan perundangan, sejarah, media informasi, pergeseran watak perilaku bangsa, gaya hidup hingga ke institusi pemerintah. Pelemahan sistem pertahanan ini tentu melalui operasi intelligent massive dan terstruktur.
Dansesko TNI Letjend. TNI Agoes Sutomo coba menguraikan sistem operasi intelligent tersebut ke dalam beberapa struktur. Menurut Agoes, dalam melakukan operasi intelligent terdapat struktur operasi yang sistematis dan terorganisir.
Ada User yang menjadi kekuatan utama, dalam hal ini negara atau kelompok elit, ada Agent Handle, ada Agent Action dan ada Informan Berlapis.
Tiap struktur dan bagian ini bergerak menurut tupoksinya masing-masing, dimana diantara sesama merekapun tidak saling mengenal. Yang mengetahui struktur dan pergerakan kelompok-kelompok ini adalah sang User.
Mereka dibayar dan dilatih untuk melakukan operasi-operasi cipta kondisi bahkan sabotase dengan bantuan dana tanpa batas serta dukungan power politik yang kuat.
Masing-masing agent ini masuk melebur ke dalam sendi-sendi kehidupan bernegara kita. Ada yang masuk dan menjadi tokoh negarawan, dosen, pengamat, pejabat publik, institusi pemerintahan, dunia perbankan, dunia perfilman bahkan sampai ke istana dan tubuh TNI sekalipun.
Agent handle sebagai pengendali, agent action sebagai eksekutor, informan sebagai pengumpul informasi lapangan. Masing-masing agent ada yang bergerak sebagai pendukung, kontra, dan ada yang menjadi pihak ketiga dari pemerintahan. Semua bergerak dalam rangka mengamankan kepentingan User di Indonesia.
Rekayasa Konflik
Salah satu contoh dari operasi intelligent massive tersebut adalah bagaimana merekayasa terjadi gejolak kerusuhan di Indonesia.
Untuk menciptakan gejolak, masing-masing agent bergerak untuk menanamkan rasa saling benci, saling curiga, saling buruk sangka, diantara sesama anak bangsa.
Baik antara suku, antar agama, antar ormas, antar ulama, antar pengamat, antar kampus, antara parpol, antar tokoh bangsa, termasuk antar institusi.
Kita semua seolah dipaksa dan digiring ke satu titik yaitu perang. Sekecil apapun masalah akan diperuncing dan diprovokasi. Tujuannya hanya satu, menjadikan anak bangsa menjadi bangsa yang sinis, egois, ambisius, sadis, anti kebersamaan.
Kita dijauhkan dari sifat asli bangsa Indonesia seperti, pejuang, militant, pemberani, kuat, kompak, suka bermusyawarah, gotong royong.
Perang saudara adalah hal yang sangat diinginkan User asing terhadap Indonesia. Agar kita akhirnya terpecah belah, hancur lebur, lemah untuk kemudian mereka kuasai.
Rekayasa konflik sengaja diciptakan untuk membenturkan kekuatan-kekuatan yang ada di dalam negeri. Kekuatan Nasional kita terpecah, maka kekuatan asing akan hadir dan mengambil peran.
Kita menghabiskan energi untuk menyelesaikan konflik-konflik horizontal sesama anak bangsa, sementara kekuatan asing sibuk menjarah kekayaan alam kita.
Rasionalitas kita dibatasi dalam logika persengketaan. Akhirnya, gadis sexy bernama Indonesia itu ‘diperkosa’ hingga mati perlahan-lahan.
Karena itu, mari kita kembali ke jati diri orang Indonesia. Sebuah kesadaran kolektif senasib satu bangsa dan satu rasa cinta tanah air. Tak ada pandang SARA.
Kita adalah sebuah bangsa yang kuat dan bersaudara. Jangan mau terpancing untuk menjadi ‘tidak waras’, untuk mempunyai keinginan saling bunuh, saling memerangi, saling menghabisi antar sesama anak bangsa.
Kalau Indonesia pecah perang saudara, banyak negara disekitar kita yang tepuk tangan dan bahagia.***
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Kajian Stratejik Ketahanan Nasional Universitas Indonesia