Maumere, VoxNtt.Com- Petani peneliti asal Desa Natakoli, Kecamatan Mapitara, Sikka menilai menurunnya debit air akibat maraknya perambahan hutan di kawasan Egon Ilimedo.
Perambahan hutan itu berwujud penebangan pohon (ilegal logging) dan pembukaan kebun baru.
Demikian hasil Penelitian Pengelolaan Sumber Daya Alam yang dilakukan oleh petani peneliti Ignasius Irianto, Ignasius Warat dan Hermina Heret.
“Akibatnya debit air dari sejumlah mata air berkurang bahkan ada mata air yang kering di musim panas,” ujar Irianto saat mempresentasikan hasil penelitiannya pada Rabu, 25/1/2017 di Kantor Desa Natakoli.
Perambahan hutan ini diduga disebabkan oleh tidak jelasnya tapal batas hutan lindung.
“Sejauh ini belum ada sosialisasi dari instansi terkait perihal tapal batas hutan lindung Egon Ilimedo,” ungkap Irianto.
Selain itu, belum ada pemberdayaan masyarakat setempat untuk turut terlibat mengelola sumber daya alam khususnya hutan di lokasi tersebut.
Kesadaran masyarakat yang masih rendah terkait manfaat hutan juga ditengarai sebagai penyebabnya.
Alasan lainnya adalah keterbatasan lahan garapan masyarakat serta pola bertani dengan lahan berpindah.
“Lahan yang terbatas dan belum dipraktikkannya model bertani lahan terpadu turut berkontribusi terhadap maraknya perambahan hutan,” ujar Mus Muliadi, pegiat Wahana Tani Mandiri (WTM) yang selama ini mendampingi para petani.
Terdapat tiga mata air utama di Desa Natakoli, yakni Wair Lago, Wair Toke, dan Wair Ba Merak. Ketiga mata air ini yang menjadi sumber utama air bersih bagi masyarakat.
Selain itu, terdapat beberapa sumber mata air kecil yang sering mengalami kekeringan terutama di musim kemarau.
Pantauan VoxNtt.Com, Kepala Desa Natakoli, Tefbana dan Manager Program WTM, Heri Naif hadir dalam kesempatan tersebut.
Turut hadir Babinsa, para petani, dan sejumlah tokoh masyarakat. Terkait perambahan hutan tersebut, forum bersepakat merekomendasikan kepada Dinas Kehutanan agar melakukan sosialisasi tapal batas.
Selain itu diperlukan juga pemberdayaan masyarakat dalam mengelola kawasan hutan. Sementara itu, pihak Kesatuan Pengelolaan Hutan Kabupaten Sikka menyatakan sosialisasi telah dilakukan.
“Sosialisasi di natakoli sudah beberapa kali kami lakukan termasuk soal tapal batas. Namun sampai kali terakhir sosialisasi, masyarakat masih belum menerima tapal batas 1984 dan menuntut kembali pada pal 1932,” ungkap Herry Floresa Siswadi via WA pada Kamis, 26/1/2017.
Menurutnya, sudah ada solusi yang diterima oleh 18 desa lain yang berbatasan dengan kawasan lewat pengelolaan hutan kemasyarakatan.
Terkait debit air yang menurun Hery menilai hal tersebut kembali pada kesadaran masyarakat.
“Bicara tentang perambahan hutan sebagai salah satu alasan menurunya debit air maka kembali pada kesadaran masyarakat sendiri karena yang merambah,” tegasnya. (Are/VoN)