Kota Kupang, Vox NTT- Tanggal 21 April selalu menjadi hari istimewa bagi perempuan di Indonesia.
Peringatan hari kartini yang jatuh pada hari ini adalah peringatan perjuangan kaum perempuan, simbol kesetaraan gender dan emansipasi wanita.
Kartini menjadi simbol gerakan pembebasan kaum perempuan dari segala bentuk pendindasan yang menempatkan dia pada posisi nomor dua dalam masyarakat.
Momen Hari Kartini selalu menjadi warna berbeda tiap tahunnya. Ada yang mengenakan busana kebaya, ada yang mengenakan pakaian adat, ada yang melakukan berbagai aksi seminar dan talkshow, ada pula melakukan berbagai aksi solidaritas sosial di tengah masyarakat.
Semuanya itu dilakukan dalam kerangka perjuangan kaum perempuan yang dimulai oleh seorang tokoh emansipasi wanita bernama Raden Ajeng Kartini.
Dari sekian banyak bentuk peringatan hari kartini di seluruh penjuru Indonesia, ada warna yang berbeda dari tanggal 21 April tahun ini di Kota Kupang, ibu kota Provinsi NTT.
Adalah sekelompok aktivis perempuan mewarnai hari peringatan perjuangan perempuan ini dengan berjualan sayur di pasar dan jualan koran.
Jumlah mereka pun tak seberapa banyaknya; ada yang berprofesi dosen, ada mahasiswa, penulis, wartawan, singkatnya mereka disatukan dalam sebuah slogan “Perempuan Biasa Dalam Secangkir Kopi”.
Pukul 15.00 Wita mereka masuk Paris alias pasar inpres Naikoten, Kota Kupang
Dengan berbekal perlengkapan seadanya mereka mendekati ibu-ibu pedagang sayur atau biasa dikenal dengan nama mama lele.
Bukan untuk berbelanja sayur atau bahan kebutuhan pokok keluarga, mereka ke sana untuk merasakan langsung perjuangan para mama lele ini saat berjualan di tengah panasnya bara matahari Kota Kupang.
Para aktivis perempuan ini kemudian membantu menjajakan barang dagangan sayur dan rempah-rempah.
“Hari ini kami perempuan biasa bersolidaritas rasa dari hal sederhana, membantu mama lele di pasar jual sayur”, demikian ungkap Grace Gracela, koordinator aksi.
Menurutnya, gerakan kecil dan sederhana ini menjadi hal substantif dalam perjuangan emansipasi perempuan era modern saat ini.
Memang ada sejumlah kegiatan yang dapat dilakukan untuk sebuah peringatan hari kartini. Seminar atau talkshow misalnya, menjadi kegiatan-kegiatan tahunan dengan gelontoran anggaran yang tak sedikit.
Namun demikian, bagi Grace dan kawan-kawan yang menamakan diri perempuan biasa ini, peringatan hari kartini tak mesti harus elitis di gedung mewah dengan sejumlah konsep teoritis yang belum tentu perempuan diakar rumput seperti mama-mama di pasar mengerti arti emansipasi perempuan.
“Perjuangan pembebasan perempuan jangan sampai menghilangkan substansi perjuangan dengan menciptakan masalah baru”, sambung seorang peserta aksi lainnya, Lanny Koroh, yang sedang menggendong tumpukan sayur yang dijajakannya di tengah ramainya suasana pasar.
Menurutnya, sudah begitu sering bahkan menjadi rutinitas tahunan, para perempuan NTT melakukan panggung-panggung perempuan dengan mengangkat isu perempuan dan kesetaraan gender.
Namun, berbagai panggung di gedung-gedung mewah belum berdampak pada pembebasan kaum perempuan yang menyentuh langsung dengan berbagai praktek penindasan perempuan di tingkat akar rumput.
Hal tesebut tergambar dalam sebuah pertanyaan yang dilontarkan seorang mama lele berusia 80 tahun, Maria Ratu Djami Rihi.
“Beta (saya) punya anak lahir di hari kartini, tapi beta sonde (tidak) tau itu hari kartini tu apa”, tanya mama Maria yang diketahui memiliki 13 anak tersebut.
Pertanyaan tersebut sontak membuat peserta aksi yang lagi sibuk berjualan sayur kaget.
Kepada mama Maria, peserta aksi yang juga berprofesi sebagai dosen, Balkis Soraya tanof, berinisiatif memberikan penjelasan tentang sosok Kartini.
“Mama ju Kartini. Mama cari uang di pasar sonde bergantung pada suami. Mama cari uang bantu keluarga dan kasi sekolah mama punya anak”, kata Balkis yang tengah berbagi ilmu dengan mama Maria dan beberapa mama lele lainnya.
Selesai melakukan rangkaian aktivitas bersama penjual sayur di pasar Naikoten, para aktivis ini melanjutkan aksinya di jalan El Tari Kupang, tepat di perempatan lampu lalu lintas Pos Polisi El Tari Kupang.
Di sana, mereka berbaur dengan anak-anak penjual koran yang notabene anak-anak usia Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah. Mereka membantu menjual koran.
Benar ini bukan profesi sehari-hari, namun lebih dari itu sebenarnya mereka sedang membangun solidaritas rasa dengan anak-anak penjual koran.
Tidak mempersoalkan keselamatan diri di tengah ramainya arus lalu lintas di jalan utama Ibu Kota propinsi ini, mereka menikmati “profesi dadakan” tersebut.
Tiap lampu berwarna merah menyala, semua peserta menyerbu pengguna kendaraan yang sedang menanti lampu hijau bernyala.
“Ini masalah perempuan dan anak yang ada di tengah kota, di depan gedung megah pemprov NTT. Dan hari ini, di hari Kartini ini, saya bergabung bersama teman-teman perempuan lainnya beremansipasi rasa untuk menyentuh langsung persoalan yang terjadi”, ungkap Balkis Soraya Tanof, yang tengah sibuk membantu menjual koran.
Menurut Aktivis perempuan yang juga Dosen Gender di Universitas Nusa Cendana ini, langgengnya masalah perempuan dan anak NTT persis beriringan dengan frekuensi dan besaran dana yang dialokasikan untuk berbagai panggung kegiatan di gedung-gedung mewah.
Oleh karena itu, perlu ada koreksi ataupun perbaikan konsep gerakan, sehingga isu kesetaraan gender menyentuh langsung dengan persoalan yang terjadi.
“NTT butuh sebuah gerakan feminisme dalam berbagai wajah, kita beremansipasi rasa, bersolidaritas rasa, dan bertoleransi rasa. Sehingga kita perempuan-perempuan modern yang dihadiahi kesempatan berpendidikan ini menjadi kartini yang hidup dalam tubuh sarina, dan sarina yang berpikir kartini” tegas Balkis yang disetujui rekan-rekannya. (Dede/ VoN).