Sekolah harus berada di ketinggian untuk memiliki kuasa merasionalkan segala bentuk toleransi dan demokrasi Pancasila. Inilah amanat konstitusional pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa
Oleh:Ambros Leonangung Edu *
Pekan ini, NTT dihantam bola panas politik nasional. Bola yang dialirkan dari suatu kekuatan transnasional itu dan berkamuflasi pada kekuatan-kekuatan dalam negeri, tengah menghantam keyakinan ideologi Pancasila dengan ciri khas kebinekaannya.
Orang-orang NTT yang selama ini setia menjaga toleransi dan Pancasila turut angkat suara dengan melakukan orasi dan menyalakan seribu lilin, seperti yang terjadi di kota Ruteng Manggarai, sebagai ekspresi keprihatinan atas situasi yang tengah terjadi itu.
Bagaimana mungkin bangsa kita ditakut-takuti isu-isu politisasi agama, radikalisasi ideologi tertentu, ancaman dan rupa-rupa isu sensitif yang memuakkan atau mungkin juga menjijikkan. Jika demikian, berarti betapa lemahnya kita.
Anehnya, ada asumsi, bahkan institusi sekolah turut andil dalam mempromosi gerakan-gerakan sektarian. Beberapa hari lalu, Menko Polhukam Bapak Wiranto menyebut adanya tren radikalisme yang menyusup ke kampus-kampus.
Mungkin saja sudah sejak lama sekolah dan kampus terkontaminasi radikalisme dan bagaimana lembaga-lembaga sekolah selama ini sering tidak luput jadi kuda troya untuk kepentingan tertentu. Mutlak diwaspadai bukan?
Politisasi itu ditandai aksi-aksi kampanye hitam dan cuci anak oleh kaum terdidik atau para praktisi pendidikan yang mengarah pada polarisasi dan radikalisasi. Ini mempengaruhi cara pandang (mindset) anak dalam kontelasi kehidupan berbangsa. Anak-anak bangsa yang dilahirkan cenderung cinta mati kelompoknya lalu membenci kelompok lain.
Realitas ini juga terkesan aneh dengan kehadiran pengamat-akademisi yang akhir-akhir ini menghiasi media-media, entah itu pengamat sungguhan maupun pengamat jadi-jadian setelah dibayar.
Fenomena anti-intelektualisme yang menjamur lembaga sekolah memproduk manusia-manusia yang bukannya menyejukkan, malah tak jarang turut andil dalam meniupkan angin polaritas yang tidak sehat.
Citra sekolah sebagai pohon rindang yang merangkum semua perbedaan setiap anak didik, menerima mereka apa adanya untuk menopang kesatuan dalam rumah besar NKRI, justru dirusak oleh prilaku praktisinya akibat interpretasi yang salah atas premis-premis moral dan ilmu dengan menggunakan instrumen ideologis yang mengarah pada kekerasan.
Potret ini tentu saja buram dalam konstelasi kebijakan pendidikan nasional yang berorientasi pada “memanusiakan manusia” dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kritik Pedagogi Pendidik
Suka atau tidak, sekolah harus berdiri tegak menjadi locus untuk memfiltrasi anasir-anasir kekerasan dan sektarian.
Sekolah harus berada di ketinggian untuk memiliki kuasa merasionalkan segala bentuk toleransi dan demokrasi Pancasila. Inilah amanat konstitusional pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Hanya setan-setan perusak sajalah yang dapat mencuci otak dan mengacaukan mental anak-anak didik dan mengacau-balaukan kesatuan yang sudah terbangun sejak lama.
Perusak-perusak inilah yang menggunakan kerajaan pendidikan dengan psikologi dan pedagogi yang sesat, sentimen primordialisme, atau kecondongan anutan ideologinya untuk menjadikan anak didik menjadi penjahat bangsa.
Sekolah harus mampu mengubah seseorang ke arah positif, dari tiada menjadi ada, dari kosong menjadi penuh, dari kurang ajar menjadi kelebihan ajaran, dari dungu menjadi pintar nan cerdas, dari gelap terbitlah terang.
Sehingga seseorang itu menyadari dari alam bawah sadarnya bahwa menghormati dan menjujung tinggi kebebasan seseorang yang lain itu adalah keharusan, hal yang tidak boleh tidak harus dilakukan yaitu mencintai perbedaan.
Kecintaan terhadap perbedaan itulah yang mengakibatkan hilangnya segala bentuk pemahaman dan gerakan kiri yang merugikan bangsa ini. Dengan sendirinya sekolah berhasil menjadi ‘tuhan’ atau memiliki kuasa sebagai pendidik bangsa yang saat ini sedang ditakut-takuti kaum radikalisme dengan pemahaman yang merugikan.
Akan tetapi, cita-cita untuk membangun dunia pendidikan bebas dari politisasi dan radikalisasi tampaknya tersandung oleh setidaknya ketiga hal.
Pertama, proses edukasi kita masih kental otoriter. Cara-cara mendidik anak di sekolah masih cenderung kasar dan keras. NTT sendiri rawan kekerasan anak dalam dunia pendidikan. Provinsi ini bahkan sudah masuk kategori “darurat kekerasan”.
Cara didik yang keras melahirkan embrio murid yang mementingkan penampilan tubuhnya ketimbang isi kepala, tampang daripada otak, tidak tahu cara menyapa orang lain, kehilangan etika, penindas pula.
Ketika sudah jadi penyamun, perampok, penentang, atau pembangkang baru guru kaget tidak percaya lantaran dulu muridnya penurut, pendiam dan sejumlah hal positif versi lembaga pendidikan.
Anak-anak yang suka merendahkan sesama dalam kehidupan berbangsa antara lain karena tidak terbiasa dengan suasana yang demokratis. Didikan yang kaku dan keras melahirkan anak-anak yang ambigu.
Ambiguitas karena manifestasi kebebasannya ditekan-tekan. Kebebasan yang ditekan akan membentuk kepribadian secara ganda. Di rumah dan sekolah mereka alim, di masyarakat mereka kasar, merusak, plin-plan, dan agresif.
Sekolah-sekolah kita sering jadi sarang kekerasan, karena itu mempersiapkan generasi yang toleran perlu ditransformasi dari proses-proses edukasi di sekolah.
Selama ini relasi guru-murid cenderung patriarkis aristokrat. Dalam arti, guru adalah raja, kata-katanya jadi kebenaran tunggal. Bila tidak didengar maka kekerasan adalah langkah selanjutnya.
Cara mengajarnya yang indoktrinatif itu berujung pada penggunaan cara-cara ajar yang konvensional nan kaku. Setting kelas bersifat sentralistik, guru sebagai pusat, murid itu objek. Konstruksi materi ajar bukan memenuhi kebutuhan murid, supaya (hegemoni) penguasa senang.
Mangunwijaya pernah mengkritik pembelajaran yang bermetamorforsis menjadi lahan kekerasan. Menurutnya, suasana pembelajaran di sekolah melulu hafalan, murid kurang bebas berekspresi. Jangan harap murid lebih cerdas dari guru, itu tabu.
Tetapi giliran murid tidak tahu apa-apa maka itu pertanda buruk sekali. Di sekolah siswa bukannya dididik, malah di-drill, ditatar, dibekuk agar menjadi penurut, tidak jauh bedanya dengan pelatihan binatang “pintar dan terampil” dalam sirkus.
Kedua, kurangnya kontrol struktural lembaga sekolah, terutama kampus terhadap gerakan-gerakan radikal atas nama kaum terdidik. Status sekolah seperti menara gading yang tak ingin ambil pusing membuat gerakan-gerakan itu sulit dikendali.
Ketiga, pendidikan kebangsaan di sekolah masih merupakan pokok-pokok teoretis yang harus dihafal dan direproduksi saat ujian berlangsung untuk menguji daya ingat. Daya ingat itu sendiri sebenarnya adalah taraf berpikir paling rendah, begitu terganggu sedikit saja dayanya maka selesai sudah.
Sementara pendidikan kebangsaan yang melesap ke dalam dimensi afektif dan psikomotorik, terabaikan.
Akibatnya, anak-anak tahu tapi tidak kritis, mereka tahu tapi tidak punya hati dan rasa peduli. Tanda-tanda akan lahirnya penjahat kecil bagi bangsa ini ketika ia tidak mampu mengapresiasikan rasa cinta yang bergelora di dalam dirinya. Kasihan sekali, bukan?***
*Ambros Leonangung Edu adalah Dosen STKIP Santu Paulus Ruteng, Flores, NTT (2013 – sekarang). Pendidikan strata 1 raihnya di STFK Ledalero, Maumere dan menamatkan S2 di Universitas PGRI Jakarta.