Oleh: Alfred Tuname*
“If you shut up the truth and bury it under the ground, it will but grow and gather to itself such explosive that the day it bursts through it will blow up everything in its way”, tulis Emil Zola.
Sastrawan Emil Zola benar. Kebohongan apa pun, bila ditutupi, suatu saat akan diketahui. Kebohongan yang terus ditutupi dengan kebohongan sekali kelak akan terkuak. Seseorang tidak mungkin menyembunyikan ikan yang busuk.
Seorang Lance Amstrong, seorang pembalap sepeda yang sering menjuarai Tour de France, pernah menyembunyikan “ikan busuk” itu. Ia menggunakan doping pada Tour de France. Penggunaan doping itu menjatuhkan semua muslihat kejuarannya.
Amstrong sangat menyukai balap sepeda. Ia mengatakan, “bike racing combined the thrill of skiing with the savvy of chess. Best of all (for me), it rewarded the ability to suffer. The more you could suffer, the better you did” (Tyler Hamilton dan Daniel Coyle, 2012). Celaka, ia harus menggunakan doping untuk berbohong soal staminanya yang mulai lemah.
Cerita tentang pembalab sepeda Lance Amstrong adalah kisah tentang pasang-surut kehidupan seorang atlet dan seorang bintang. Sama seperti Moto GP berarti menyikut nama fenomenal Michael Doohan dan Valentino Rossi, membicarakan perlombaan sepeda Tour de France berarti mengulas nama Lance Amstrong.
Setiap perlombaan melahirkan juara. Setelah perlombaan, publik memperbicangan sang juara. Karena itulah nama seperti Lance Amstrong menjadi fenomenal. Selesai Tour de France, orang tidak menceritakan Prancis, tetapi tentang individu yang menjuarai perlombaan itu.
Tak perlu embel-embel pariwisata, tanpa Tour de France pun, warga dunia pasti selalu ingin datang ke Prancis karena ikon-ikon kotanya nan indah dan masyarakatnya yang sangat berbudaya. Yang jelas, Prancis lebih memikat ketimbang Tour de France. Kelebihannya, “cycling is the national sport of France…” (Tim Moore, 2001).
TdF
Flores lebih memikat ketimbang Tour de Flores (TdF). Komodo, kampung adat Bena, Riung, dan adat-istiadat orang Flores lebih ikonik ketimbang Tour de Flores. Sekelompok panitia kecil tiba-tiba muncul dan menyelenggarakan TdF dengan mengatasnamakan pariwisata. Celaka!
Bukankah semua yang baik dan ekstosik di Flores bisa berbuah pariwisata? Jika sekadar pariwisata, bukankah seluruh dunia sudah mengenal Flores sebelum ada TdF?
Dengan kemasan pariswisata, ada dana APBD yang “dirampok” demi terselenggaranya TdF. Pemerintah daerah dipaksa untuk mengeluarkan sejumlah uang (kurang lebih satu miliar) untuk TdF. Dana tersebut digunakan untuk akomodasi rombongan panitia TdF dan peserta TdF.
Tour de France dibiayai oleh perusahaan dan “APBN” Prancis, Tour de Banyuwangi oleh APBN dan balap sepeda Kompas dibiayai oleh perusahaan Kompas itu sendiri. Semua itu ditanggung dan dibiayai oleh organisasi dan perusahaan yang menyelenggarakannya, paling tidak APBN. Sementara TdF dipaksakan dengan APBD masing-masing kabupaten di Flores.
Dari semua pembiayaan itu, masyarakat hanya “makan angin” dan foto selfie. Penyebaran uang itu pun tidak kembali kembali ke masyarakat. Hotel itu milik konglomerat. Bahan-bahan makanan untuk rombongan dan peserta TdF tidak didapatkan dari masyarakat setempat, melainkan dipesan per paket dari Bali dan Kupang.
Lalu apa yang didapatkan dari TdF? Masyarakat Flores tidak hidup dari pariwisata, melainkan pertanian. Mayoritas masyarakat Flores adalah petani. Celakanya, petani selalu luput dari perhatian. Bahkan dinas-dinas pertanian justru sibuk urus TdF (maklum ada dana 1 miliar di sana).
Dinas PU propinsi ikut sibuk memperbaiki jalan trans Flores. Sementara jalan-jalan aset provinsi lainya tidak diurus sama sekali. Jalan untuk seribu tahun ke dapan bagi rakyat NTT tidak diurus; jalan untuk sedetik TdF diurus dengan sigap. Itulah pemerintah Provinsi NTT yang paradox.
Mitos
Jelasnya, TdF bukan untuk masyarakat Flores, melainkan konglomerat pariwisata. Para konglomerat itu dekat dengan elite-elite politik the ruling party dan bahkan para menteri di negeri ini. Oleh karena itu, atas “kontak” pemerintah pusat, pemerintah daerah nolens volens terpaksa manut. Jika melawan, dana DAU/DAK akan dikebiri.
Dengan demikian, TdF adalah soal investasi pariwisata jangka panjang, benar adanya. Investornya adalah konglomerat pariwisata yang akrab dengan penguasa pusat. Eksotisme Flores dan budayanya hendak diekspoitasi demi proliferasi profit konglomerat pariwisata.
Maka yang tersisa dari pembicaraan TdF adalah kisah sang juara di masing-masing etape balap sepeda dan Lippo Group. Lihatlah gantungan medali juara pada medali TdF 2016, di sana tertera tulisan “Lippo” atau “Lippo Red dan White Jersey”, perusahan milik konglomerat James Ryadi yang disebut-sebut dekat dengan istana dan the ruling party.
Jika demikian, mengapa tidak Lippo Group saja yang membiayai semua penyelenggaraan TdF? Bukankah Lippo Group sudah berhasil menjalankan investasinya di bidang pendidikan, supermall dan rumah sakit di NTT? Atau mengapa tidak pemerintah pusat (Kementerian Pariwisata) saja seperti saat mendanai total event Sail Komodo 2013?
Tentang itu, sudah sejak dulu Lenin menulis dalam bukunya “The State and Revolution”. Ia menulis , “the state has been “an instrument for the exploitation of the oppressed class”. The state is controlled by “the most powerful, economically dominant class…” Flores dan segala isinya sedang dieksploitasi.
Tak ada cerita Flores dan masyakatnya di TdF selain barisan foto dan selfie di halaman facebook dan instagram. Oleh karena itu, setiap etape TdF adalah etape mitos tentang pariwisata yang digembar-gemborkan oleh pejabat pemerintah dan para panitia yang “gemuk” oleh dana-dana TdF.
Suatu ketika majalah Prancis L’Equipe menyebutkan, “Lance Amstrong was sur une autre planet”. Seperti majalah Prancis itu, “TdF” mesti diselenggarakan di “planet lain”, bukan di Flores. Sebab, “the secret race” pada TdF adalah persaingan bisnis para konglomerat, bukan demi kesejahteraan masyarakat Flores seperti yang dipropagandakan.***
Alfred Tuname
Direktur Lembaga Neralino (Network On Reform Action For The Well-being Of Indonesia)