Oleh: Yandris Tolan
Alumni Seminari San Dominggo Hokeng-Flores Timur
Proses pemilihan umum (pemilu) di Indonesia telah menciptakan satu potret sejarah beragam. Satu alur sejarah yang melahirkan habitus politik liberal bagi partai-partai dalam memproklamirkan visi-misi politis.
Di tengah habitus politik yang cenderung mewacanakan disparitas hingga tendensi perpecahan (friksi) kita menemukan secara kasat mata unsur-unsur fenomenal yang mewarnai ruang politik kita. Urgensi sosio-politis yang menjadi locus lahirnya peradaban demokrasi dieliminir sedemikian miris hingga menampilkan wajah politik yang kabur makna.
Fenomena ini rentan terjadi dalam wacana politik di negara kita karena sebagian besar partai politik yang berafiliasi dalam proses pemilihan cenderung menafikan esensi demokrasi yang secara tidak langsung termaktub dalam rumusan undang-undang pemilihan umum. Gambaran kelam ini hampir pasti diadopsi oleh partai-partai politik berlabel mayoritas dalam bersindikat dengan kekuasaan legislatif.
Pemilu, friksi partai politik, dan parliamentary threshold merupakan tiga aspek krusial dalam menjaga integritas perpolitikan kita. Sebab dalam proses pemilihan umum kita secara langsung menemukan bagaimana tendensi dan nasib partai politik dalam menempati posisi ambang batas perolehan suara (parliamentary threshold).
Ketiga aspek ini memiliki matarantai yang erat dan sulit untuk dipisahkan. Di balik tiga tungku yang dinilai urgen ini, kita pun sering menemukan adanya kesukaran-kesukaran dalam berpolitik. Wajah politik etnikgolongan lebih mudah disandingkan dalam forum formal partai politik di ruang publik.
Pada titik demikian, kita menjadi gamang dan mengalami disorientasi dalam berpolitik. Sebab tensi politik etniklebih mengedepankan empati politik karena dipengaruhi oleh relasi sosial partisan, kekuatan etnis, serta prinsip politik balas budi. Opini sederhana ini hadir sebagai suatu upaya mengasah naluri publik dalam mengawal metodologi perpolitikan kita.
Terminologi “pemilu” kini menjadi viral media sosial kendatipun waktu (tempus) yang menjadi jeda berlangsungnya dua agenda besar berupa pemilu legislatif (pileg) dan pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) di tahun 2019 masih jauh dari tekanan massa (public pressure).
Dalam berbagai media kita bisa membaca dan mendengar secara langsung bagaimana negara lewat kebijakannya membentuk panitia khusus (pansus) dalam merancang undang-undang pemilihan umum. Muncul banyak pandangan dan tak sedikit pula apriori yang tengah aktual dalam tubuh-tubuh parpol.
Muncul isu baru berupa polemik mengenai terlibat tidaknya jumlah parpol dalam proses pemilu, konsolidasi parpol yang dikaitkan dengan kebijakan yang masih mengadopsi kriteria presidential threshold. Di tengah suhu dan juga potret sosio-politis seperti ini, kita bisa berasumsi bahwa pemilihan umum (pemilu) adalah ajang yang rentan melegalkan terjadinya perpecahan (friksi) antar partai politik serta menegasikan asas legalitas dalam parliamentary threshold.
Banyak ahli politik menilai bahwa faktor ambang batas perolehan suara dalam wajah pemilu kita turut menyekap ruang kebebasan partai politik. Secara sederhana saya bisa menilai bahwa ruang kebebasan partai politik hanya ditentukan dengan adagium sah tidaknya kuota suara dalam proses pemilihan.
Merujuk pada locus permasalahan di atas, kita yang masih menjunjungtinggi prinsip berpolitik satu untuk semua atau kesetaraan sedapat mungkin mengembalikan keadaan menjadi lebih humanis.
Artinya, keberpihakan kita dalam mengawal dan menjaga kredibilitas perpolitikan kita harus benar-benar bergerak dari dan hanya untuk negara yang demokratis. Bukan jamannya lagi apabila kita terus terjebak dalam mentalitas politik yang absurd dan labil. Sedapat mungkin kita mengesampingkan labelisasi negatif dalam proses pemilu kita.
Mengenang apalagi membahasakan sejarah pemilu rupanya kita harus merujuk ke masa lalu. Meskipun kita secara prinsipiil menyangkal kebenaran nurani bahwa masa depan yang cerah sangat tergantung pada masa lalu yang dilupakan. Saya ingin mengajak publik untuk kembali mengenang dan mengabadikan kembali sejarah pemilu yang pernah mewarnai wajah perpolitikan kita.
Berbagai literatur sejarah mendeskripsikan tentang titik kulminasi lahirnya pemilu dengan segala kompleksitasnya. Pemilu pertama kali dilaksanakan di Indonesia pada tahun 1955 sepuluh tahun pasca kemerdekaan. Pada jeda inilah masyarakat Indonesia pertama kali belajar berdemokrasi kendatipun suhu sosio-politis waktu itu belum kondusif berupasituasi keamanan dan perpecahan dalam tubuh kabinet.
Kondisi politik Indonesia pasca pemilu tahun 1955 sarat dengan konflik. Akibatnya, pemilu berikutnya yang dijadwalkan pada tahun 1960 tidak dapat terselenggara.
Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 yang membubarkan DPR dan Konstituante hasil pemilu 1955 serta menyatakan kembali ke UUD 1945. Soekarno secara sepihak membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS) yang semua anggotanya diangkat oleh presiden.
Polemik politikpasca pemilu tahun 1955 berujung pada munculnya gerakan 30 September atau Partai Komunis Indonesia pada tahun 1966. Presiden Soekarno yang memimpin Indonesia sejak tahun 1945 akhirnya lengser satu tahun kemudian.
Pada tahun 1968 Soeharto ditetapkan oleh MPR Sementara sebagai Presiden Indonesia. Era kepemimpinan Soeharto selanjutnya disebut sebagai zaman orde baru. Dalam era Orde Baru (Orba) rentan terjadi rekayasa politik yang terjadi dalam seluruh proses pemilu tahun 1977, 1982, 1987, dan 1997.
Selama periode orde baru partailah yang menentukan siapa yang menjadi wakil rakyat di Dewan Permusyawaratan Rakyat (DPR). Semua anggota DPR adalah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. Selain anggota DPR, anggota MPR berisikan utusan golongan. MPR bermusyawarah untuk menunjuk presiden
Pemilu tahun 1999 merupakan tonggak baru demokrasi Indonesia. Penguasa Orde Baru Soeharto mundur dari kekuasaan pada tanggal 20 Mei 1998 karena desakan masyarakat. (B.J Habibie yang semula adalah wakil presiden naik menjadi Presiden menggantikan Soeharto. Roh demokrasi yang selama rezim orde baru dibui dalam jeruji tirani hukum kelam, akhirnya semakin jelas terlihat dan lebih berjiwa demokratis.
Pemilu tahun 2004 menjadi catatan paling penting dalam sejarah pemilu di Indonesia. Pada tahun ini untuk pertama kali rakyat Indonesia memilih langsung wakilnya di parlemen dan pasangan presiden dan wakil presiden. Sebelumnya, presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Oleh karena itu pelaksanaan pemilu dibagi menjadi dua yaitu pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres).
Pemilu legislatif tahun 2009 digelar pada 9 April 2009 dan diikuti 38 partai politik. Ribuan calon anggota legislatif memperebutkan 560 kursi DPR, 132 kursi DPD, dan banyak kursi di DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota.Untuk pertama kalinya, sistem proporsional terbuka diterapkan pada Pileg 2009. Melalui sistem ini, pemilih tak lagi memilih partai politik, melainkan caleg.
Berpijak pada sejarah di atas, mari kita mengawal pemilu agar lebih demokratis dan santun dalam menentukan kebijakan bagi seluruh rakyat Indonesia. Hilangkan mental untuk menciptakan tensi perpecahan (friksi) baik dalam tubuh partai politik maupun dalam mengawal parpol menemukan ambang batas perolehan suara (parliamentary threshold).***