Oleh: Reinard L. Meo
Alumnus STFK Ledalero, Maumere, Flores – NTT
dan SEJUK (Serikat Jurnalis untuk Keberagaman)
Krisis vs Perdamaian
Dari masa ke masa, krisis senantiasa mendera dunia, our common home ini.
Sejarah telah mencatat begitu banyak contoh krisis dimaksud. Dalam bidang ekonomi, kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin, menganga makin lebar.
Kemiskinan terus menjadi kenyataan yang entah sampai kapan usai. Dalam bidang politik, rakyat makin tidak percaya pada pemimpin seiring kian bertambahnya statistik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Politik menjadi terlanjur buruk dan negatif. Dalam bidang ekologi, bencana terjadi di mana-mana. Banyak hutan mulai gundul. Lahan-lahan subur berubah jadi pemukiman atau kawasan berdirinya gedung-gedung mewah.
Dalam bidang relasi interreligius, fanatisme dan fundamentalisme bangkit semakin masif. Perang dan konflik antaragama terbukti telah menjadi sumber petaka yang merugikan dan menghancurkan peradaban.
Pertanyaannya, untuk langsung menohok tepat pada salah satu nilai fundamental yang universal sifatnya: Quo Vadis Perdamaian?
Menyadari betapa eksistensial dan strategisnya nilai perdamaian, mengusahakan atau mengembalikannya pada jalur yang tepat adalah sebuah kemutlakan.
Dunia yang sedang dalam krisis terus-menerus, tentu saja menggeser bahkan pada porsinya mematikan perdamaian. Apakah pasrah, tinggal diam, atau bungkam merupakan sikap yang bijak?
Kehadiran Hans Küng, teolog Gereja Katolik dan etikus, secara tegas menjawab ‘Tidak!’ untuk pertanyaan ini.
Berangkat dari refleksinya atas pengalaman perang dan konflik, Küng menjadi begitu yakin, tidak ada yang lebih mengerikan di dunia ini dari perang yang dimotivasi oleh ego keagamaan.
Untuk itu, lewat tesisnya yang terkenal, “No survival without a world ethic. No world peace without peace between the religions. No peace between the religions without dialogue between the religions”, Küng berupaya keras, miltan, dan teguh mempromosikan betapa agama-agama memainkan peran yang amat penting dalam menentukan peradaban. Etika Global yang diprakarsainya, menjadi bukti sekaligus panduan.
Etika Global Küng berikhtiar membangun tatanan dunia baru. Dalam lain perkataan yang lebih serius, tidak ada tatanan dunia baru tanpa Etika Global.
Tidak ada tatanan dunia baru dan kehidupan yang lebih harmonis tanpa sebuah konsensus dasar tentang nilai-nilai yang mengikat, kriteria yang tak terbatalkan dan sikap-sikap dasar yang ditegaskan oleh semua agama kendatipun secara dogmatis mereka berbeda, dan yang sesungguhnya dapat pula disumbangkan oleh kaum tidak beriman.
Pada titik ini – meskipun Etika Global bukan satu-satunya panduan dan bahwa Etika Global mesti didampingi atau diterjemahkan dalam konteks-konteks lokal yang lebih aktual – yang khas ialah bahwa dokumen ini merupakan dokuman pertama yang bersifat global yang dihasilkan dari sebuah konsensus di antara para pemeluk agama-agama juga komunitas yang tidak terikat pada tradisi religius mana pun di dunia.
Konsensus ini berangkat dari sebuah kesadaran bersama akan masifnya isu-isu yang dapat membahayakan kehidupan kolektif, yang terejawantah lewat tuntutan fundamental atau apa yang disebut sebagai Kaidah Kencana atau Golden Rule, dengan petunjuk-petunjuk yang tidak terbatalkan berupa komitmen-komitmen.
Lalu, karena Etika Global itu sendiri tidak melulu mengarah keluar, ke ‘dunia’ melainkan juga kembali ke agama-agama, dialog menjadi kata kunci dan praksis penting yang mesti diperhatikan.
Perdamaian dunia akan tercipta lewat perdamaian antaragama, dan perdamaian antaragama hanya akan mungkin lewat dialog. Agak berbeda dari model dialog lainnya, dialog yang ditawarkan Küng adalah dialog yang kritis.
Dialog model ini, untuk mewakili relevansi Etika Global bagi Indonesia – lantaran yang dapat dengan mudah diterjemahkan ke dalam konteks Indonesia ialah dialog – diharapkan akan semakin membumi, dan suatu ketika didengarkan dan diupayakan bersama-sama, kendati sulit dan akan berhadapan dengan aneka kendala.
Indonesia yang masih selalu rawan konflik antaragama, hemat saya, sekiranya perlu memajukan dialog yang saling menerima dan memberi tanpa prasangka, serta bersedia saling memasuki, bahkan hingga ke sisi-sisi paling sensitif, dengan segala konsekuensinya.
Ajakan
Sebagai elemen penting yang melahirkan Etika Global dan pada gilirannya bertanggung jawab mewujudkan perdamaian serta menciptakan tatanan dunia baru, agama-agama mesti kembali kepada jati dirinya.
Agama harus mampu membawa pemeluknya tiba pada suatu perspektif tersendiri yang penuh pertimbangan terhadap suatu hal, sambil dengan penuh simpatik mengupayakan toleransi dengan pihak-pihak yang tidak sejalan.
Agama harus mendorong umat manusia keluar dari egoisme dan tidak melulu terkurung dalam klaim-klaim kebenaran pribadi, sebaliknya altruis dan terbuka.
Agama harus mantap dalam dialog, siap berkomunikasi dengan komunitas-komunitas non-religius, juga dengan dunia. Wajah agama haruslah konstruktif.
Pihak mana sajakah yang mesti terlibat penuh dalam upaya mewujudkan perdamaian dan membangun tatanan dunia baru lewat agama?
“We invite all people, whether religious or not, to do the same”, demikian seruan yang temaktub dalam Declaration Toward A Global Ethic. Agar lebih relevan, saya ingin menyebut secara khusus tiga pihak berikut.
Pertama, para pemimpin agama dan komunitas-komunitas non-religius. Bahaya yang kian marak ialah para pemimpin hanya berhenti sebagai ikon atau patron.
Di Indonesia, pemimpin-pemimpin kelompok radikal tertentu atas nama agama tertentu, gagal memainkan peran sebagai animator perdamaian. Masing-masing masih terlalu sibuk mengejar target ideologisnya sendiri.
Sebaliknya, pemimpin yang ideal mestilah yang selalu mampu memberikan pencerahan, mengajak sesama pemeluknya untuk mengusahakan perdamaian, untuk terus-menerus berdialog dengan mata hati dan budi terbuka.
Kedua, para aktivis dialog dan akademisi. Etika Global yang digagas Küng, dalam artian tertentu, lebih condong ke sebuah proyek seorang akademisi. Oleh sebab itu, para aktivis dialog dan akademisi lainnya perlu merespons gagasan Küng ini sebagai referensi baru dalam membangun sebuah tatanan dunia yang lebih baik.
Dialog kritis yang Küng tawarkan, mesti diterjemahkan sedemikan rupa oleh para aktivis dan akademisi dimaksud agar selanjutnya dapat dengan mudah dipahami, diterima, dan dijalankan oleh semua pemeluk agama.
Ketiga, umat agama-agama dan komunitas-komunias non-religius. Melalui peran para pemimpin dan sumbangan para aktivis dialog juga para akademisi, Etika Global Küng sekiranya dapat menyentuh hingga ke lapisan-lapisan paling kecil di tengah umat.
Umat diharapkan turut bantu mengupayakan apa yang menjadi ideal Etika Global, khususnya dalam setiap upaya dialog.
Pada akhirnya, semua umat manusia, baik beragama maupun tidak beragama dipanggil untuk sama-sama mewujudkan perdamaian dan membangun tatanan dunia baru yang lebih harmonis.***