Oleh: Alfred Tuname
Realitas politik seringkali penuh tidak linear dengan dugaan publik. Politik nyaris tak pernah pasti. Angin pun tak mampu menebak arah politik. Itulah politik. Politik selalu mengikuti koridor kehendak untuk berkuasa (der wille zur macht, istilah Nietzshe). Manuver dan zig-zag politik menandakan geliat kehendak berkuasa itu ada.
Pilihan-pilihan politis pun tampaknya susah dipegang. Sebab, setiap insan politik menaruh kepentingan dan mengambil keuntungan dari setiap realitas politik yang ada.
Oleh karena itu, haruskan publik berdamai dengan realitas (politik)? Ataukah publik mesti mengambil pilihan lawan arus (politik)? Sayangnya, semua itu juga merupakan bagian dari kerja politik, meskipun itu bukan semata berarti “politik untuk kekuasaan” (the political).
Karena itulah buku yang berjudul “Berdamai Dengan Realitas?” (PKBM Sambi Poleng, 2017) menjadi sangat menarik untuk “dibaca”. Buku kumpulan tulisan Gabriel Fredi Daar, Vinsensius Hardi Sungkang, Jose Nelson M. Vidigal dan Manto Tapung persis mengajak publik untuk “berkelahi” dengan realitas politik: bahwa ada yang irasional dalam lajur-lajur realitas politik kita.
Berkelahi dengan realitas politik berarti berdiri tegak mempertahankan rasionalitas publik. Dengan alas rasionalitas itu, politik menjadi pantas untuk diperbincangan secara publik. Melalui perbincangan itu, masyarakat terlibat menerabas ruang-ruang gelap politik sekaligus membuka jendela kebijakan pembangunan yang transparan, adil dan pro rakyat.
Itulah “tanggung jawab moral politik” publik, seperti yang ditulis Manto Tapung mengutip filsuf Jurgen Habermas. De facto, moralitas politik seringkali kandas dihadakapan praktik kekuasaan yang tamak. Moral pun kian sepi dalam politik. Katup telinga penguasa politik cukup tebal untuk menangkis kontrol dan kritik publik.
Bahkan, penguasa yang tamak dan korup sering membela diri dan menyalahkan publik bila ada kontrol dan kritikan. Penyertaan sikap “premanistik” menjadi metode ampuh untuk melemahkan “si tukang kritik”. Akan tetapi, bukankah politik itu sepi di balik matinya tukang kritik?
Soal itu, filsuf politik abad 18, Edmund Burke, pernah berargumen, mengutip Ignas Kleden, sudah menjadi sifat manusia bahwa dia ingin mengambil bagian dalam kekuasaan, tetapi tidak ingin mengambil bagian dalam tanggung jawab terhadap penggunaan kekuasaan itu (Eddy Kristiyanto, 2008). Tanpa perbicangan rasional, publik telah terlibat dalam penyalahgunaan kekuasaan.
Padahal, demokrasi telah melepas belenggu yang merantai mulut dan tangan publik. Setiap persoalan ketidakadilan, eksploitasi, kekerasan, kemiskinan dan lain sebagainya, merupakan realitas politik yang mesti dilawan dengan kebijaksanaan dan keutamaan politik. Bahwa politik seharusnya melahirkan kebaikan bersama (bonum commune).
Karenanya, melalui tinta terang, para penulis buku “Berdamai Dengan Realitas?” tidak ingin berdamai dengan realitas (politik) yang menyengsarakan masyarakat: Gabriel Fredi Daar tidak ingin realitas pendidikan yang missing link ; Vinsensius Hardi Sungkang tidak ingin berdamai dengan realitas politik yang hampa hukum; Jose Nelson M. Vidigal tidak ingin berdamai dengan realitas kemiskinan dengan kondisi kesehatan yang miris; Manto Tapung tidak ingin berdamai dengan realitas bangsa yang rasionalitas berbangsanya amblas.
Berdamai dengan realitas politik yang kotor dan korup hanya akan berarti memperdagangkan nasib masyarakat kepada penguasa yang tamak. Di gurun nasib masyarakat yang gersang, kaum intelektual bersuara dan berpihak pada masyarakat. Bersuara keras dan lantang melawan badai proyek pembodohan oleh penguasa pertanda kaum intelektual sedang meradikalisasi demokrasi (radicalization democracy).
Soal itu, filsuf Politik Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe memberi tekanan, “radical democracy itself is…the discursive opposition to a whole host of contingent injustices and relations of subordination” (Barret Weber, 2011). Mengambil jarak dengan realitas politik kotor sembari menyerukan “tidak!” pada ada ketidakadilan dan subordinasi merupakan sebuah tanggung jawab sekaligus moral dan intelektual kita. Demokrasi menjadi ruang terbuka untuk membendung abuse of power.
“Kita mesti hidup tanpa dusta, jika tidak, kita tidak akan bebas”, tulis Alexander Solzhenitsyn (survivor gulag uni Soviet). Melawan dusta berarti membuka ruang publik secara terbuka. Di situ, biarkan publik berbincang secara lugas dan pantas untuk menilai dan menakar realitas politik. Kebebasan dan keutamaan publik tidak bisa direpresentasikan dari preferensi elite politik, kecuali masyarakat tunduk pada kesewenangan penguasa.
Akhirnya, publik hanya akan bisa berdamai dengan realitas apabila kebijakan politik diisi dengan pembangunan berkeadilan dan kesejahteraan. Jika tidak, ruas-ruas politik akan selalu penuh dengan teriakan kritis dan bersih nurani terhadap ketidakadilan. Sayang, politik tak luput memunculkan pemimpin minim nurani dan “tend to corrupt”. Masihkah kita berdamai dengan realitas.
Penulis adalah Direktur Lembaga Neralino (Network On Reform Action For The Well-being Of Indonesia)