Oleh: Edi Boni Mantolas, SH
Fenomena minuman beralkohol (minol) bukan barang baru di wilayah nusantara, khususnya provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) lazim adanya.
Bagi masyarakat NTT minuman beralkohol adalah bagian dari budaya yang hidup dan berkembang dalam kehidupan sehari-hari.
Baik itu untuk kepentingan rekreasional maupun untuk kepentingan ritual yang telah diwariskan secara turun temurun.
Tak heran ketika di Provinsi NTT, minuman beralkohol (impor maupun lokal) banyak ditemukan dan dijual pada kios-kios atau warung-warung kecil. Itu seperti sopi atau moke.
Bahkan ada sebagian masyarakat NTT yang mencari nafkah dengan cara membuat dan menjual minuman beralkohol.
Berkaitan dengan hal ini, baru-baru ini Kementerian Perdagangan Republik Indonesia pada tahun 2015 menerbitkan Peraturan Nomor 06/M-DAG/PER/1/2015 yang mengubah sejumlah pasal di dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-Dag/PER/4/2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol.
Salah satu perubahan yang terdapat dalam Peraturan tersebut ialah Pasal II yang menyatakan bahwa minuman beralkohol tidak dapat lagi dijual di mini market atau toko pengecer lainnya dan hanya dapat dijual di supermarket dan hypermarket. Alasannya demi perlindungan moral dan budaya masyarakat.
Muncul pertanyaan mengapa di mini market atau toko pengecer lainnya tidak diperbolehkan untuk menjual? Apakah dengan dijualnya minuman beralkohol di supermarket atau hypermarket perlindungan moral dan budaya masyarakat akan terlaksana? Kemudian bagaimanakah dengan kehidupan yang berlangsung di Provinsi NTT?
Pada kesempatan ini terdapat beberapa hal yang ingin penulis kemukakan diantaranya:
Pertama. Berbicara tentang hal ini, persaingan usaha menjadi salah satu instrument ekonomi sejak saat reformasi digulirkan.
Hal ini ditunjukan dengan melalui terbitnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Pelaku usaha yang dalam menjalankan bisnisnya harus berdasarkan demokrasi ekonomi dan wajib menunjung tinggi asas anti monopoli dan persaingan usaha.
Hal mana pelaku usaha dilarang untuk menguasai, memproduksi dan memasarkan barang dan atau jasa oleh satu atau lebih pelaku usaha.
Karena Undang-undang ini adalah tonggak bagi diakuinya persaingan usaha yang sehat sebagai pilar ekonomi dalam sistem ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Pada case ini dengan dikeluarkannya Permendag minol tersebut seolah-olah pemerintahlah dalang utama dari pelanggaran terhadap UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Karena hanya memberikan ijin untuk menjual minol ke hypermarket atau supermarket sedangkan minimarket, toko pengecer lainnya tidak diperbolehkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal II Permendag Nomor 06/M-DAG/PER/1/2015.
Kedua. Berbicara tentang alkohol, sejatinya bagai desahan nafas masyarakat NTT, mulai dari ritual adat, kebiasaan, hingga ekonomi.
Hampir sebagian besar masyarakat NTT membuat dan menjual minuman beralkohol.
Kehidupan perekonomiannya bergantung pada minuman beralkohol, dalam hal ini hidup dan matinya ada pada minuman yang dianggap “haram” oleh pemerintah.
Bisnis minuman beralkohol NTT sangat menjanjikan dan membantu perekonomian masyarakat NTT.
Ditambah lagi, salah satu penghasilan masyarakat NTT adalah dari berjualan minuman beralkohol, dalam bahasa lokal disebut dengan sopi atau moke.
Data residu hasil penelitian Rohi dan Jehamat (2011) tentang perubahan sosial, budaya dan ekonomi di Kel. Oesapa-Kupang sangat signifikan.
Untuk setiap botol sopi dijual dengan harga paling rendah Rp 10.000,-. Untuk setiap minggu, tiap titik penyulingan dapat menghasilkan pemasukan sebesar Rp 3.3 juta dalam sebulan mampu menghasilkan Rp 79 juta dan dalam setahun sekitar Rp 950 juta.
Dengan adanya peraturan Menteri Perdagangan Nomor 06/M-DAG/PER/1/2015 yang melarang dan membatasi pembuatan, peredaran minuman beralkohol (impor maupun lokal), maka dalam kacamata sosiologis bisnis, hemat penulis permendag tersebut sangat merugikan masyarakat NTT.
Secara tidak langsung peraturan ini menimbulkan diskriminasi bisnis karena label tradisional selalu dianggap tidak layak dan haram.
Mungkin diantara kita masih ingat akan pemusnahan minol tradisional (sopi) yang terjadi di wilayah hukum Kefamenanu.
Hal mana, “Polres Timor Tengah Utara yang memusnahkan ribuan botol sopi tradisional dengan dipimpin langsung oleh Kepala Polres TTU Ajun Komisaris Besar I Gede Mega Suparwitha didampingi Wakil Kepala Polres TTU Kepala Bagian Operasional dan sejumlah perwira lainnya (Kompas 19 Oktober 2012)”.
Penulis teringat akan kata-kata Alim Markus pemilik PT Maspion“Cintailah Ploduk-Ploduk Indonesia”.
Sangat miris ketika minuman tradisional yang merupakan buatan anak bangsa tidak dianggap bahkan dimusnahkan oleh Negara dan yang berlabel (minol impor) karena dikemas dalam bentuk yang indah dibiarkan beredar luas begitu saja.
Jika merujuk sejarah revolusi industri minuman keras yang tumbuh besar di eropa, sejatinya berawal dari minuman yang diproduksi oleh rakyat jelata di eropa.
Berangkat dari hal ini, penulis berpendapat, alangkah lebih indah dan elegan ketika Negara (pemerintah) mendorong dan memfasilitasi masyarakat NTT untuk masuk dalam industrialisasi sopi atau dengan kata lain memodernisasikan pembuatan sopi di NTT.
Ketiga. MemangLarangan Minuman Beralkohol sudah masuk Prolegnas 2016 yang pada prinsipnya melarang untuk memproduksi, memasukan, menyimpan, mengedarkan dan/atau menjual minuman beralkohol tradisional dan minuman beralkohol lainnya di Indonesia, dengan pengecualian seperti untuk keperluan ritual agama, dijual di hotel bintang 5, bar, pub, klub malam, atau tempat yang mempunyai izin resmi.
Dalam kasus ini, penulis melihatnya terdapat inkonsistensi pemerintah dalam konteks larangan minol.
Hal ini karena orang dilarang mengkonsumsi minuman beralkohol akan tetapi di sisi lain terdapat beberapa tempat tertentu yang diperbolehkan untuk menjual minuman beralkohol.
Mari kita cermati poin menimbang RUU Minol. Pada poin b dikatakan “bahwa salah satu upaya untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta melindungi masyarakat dari dampak negatif minol perlu dilakukan larangan…”.
Penulis melihatnya bahwa penyelenggara Negara menganggap bahwa kesehatan hanya semata-mata tentang minol, padahal ketika berbicara mengenai kesehatan maka konteksnya tidak boleh dipahami secara sempit sebagai sebuah hak untuk sehat semata.
Karena hak atas kesehatan juga meliputi kebebasan untuk mengendalikan kesehatan dan tubuh sendiri.
Artinya disini setiap orang berhak untuk mengontrol tubuh dan kesehatannya sendiri. Kehadiran Negara hanya sebatas menyediakan akses dan fasilitas kesehatan bukan mencampuri ranah privat seseorang.
Selama ini pemerintah selalu berdalih bahwa minollah penyebab dari kematian dan meningkatnya kriminalitas.
Padahal hasil penelitian Rohi & Jehamat (2011) menunjukkan angka kriminalitas yang berkaitan dengan keberadaan minuman beralkohol hanya sebesar 18,8%.
Tak hanya itu, mari kita tengok Negara-negara yang masyarakatnya mengkonsumsi alkohol tinggi seperti: “Inggris, Prancis, Jerman, Ceko, walaupun demikian tingkat kriminalitas di Negara-negara tersebut rendah adanya (dilansir dari Tirto.id)”.
Pemerintah yang menganggap minuman beralkohol sebagai penyebab dari kematian dan kejahatan, hemat penulis, sangat tidak tepat.
Karena, bila ditelisik lebih jauh minuman beralkohol sudah ada sebelum Indonesia merdeka dan telah menjadi bagian dari budaya, ritual adat istiadat masyarakat khususnya masyarakat NTT.
Seharusnya pemerintah disini mempunyai tugas untuk memfasilitasi dan mengakomodir masyarakat NTT pembuat, penjual dan pengedar minuman beralkohol (tradisional) dalam bentuk home industry bukannya membuat aturan yang menguntungkan kaum kapitalis (bermodal) dan merugikan masyarakat kecil dalam hal ini RUU Larangan Minol. ***
Penulis adalah Mahasiswa S2 Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Diponegoro