“Of a truth the gods do not give the same man everything: you know how to gain a victory, Hannibal, but you do not know how to make use of it”.
Itu ucapan Maharbal, seorang komandan kavaleri loyalis Hannibal dalam History of Rome (1880, direvisi oleh C. A. M. Fennell). Sebagai pemimpin, seorang Hannibal (komandan militer Kartago yang melululantahkan Romawi) mudah mencapai kemenangan perang, tetapi gagap menggunakan kekuasaan yang ia miliki.
Dari cerita Hannibal, beradab atau biadab-nya sebuah kota disebabkan oleh satu pemimpin. Kota yang beradab adalah buah kebijaksanaan pemimpin; kota yang biadab adalah buah ketidakbecusan dan korupsi pemimpin.
Kota yang beradab pasti sejahtera. Kota yang biadab pasti berantakan. Masyarakat pun tidak lebih dari korban (victim) atau (juga) buah pengobanan (sacrifice) seorang pemimpin.
Masyarakat akan jaya bila pemimpin bervisi demi kepentingan umum; masyarakat sengsara bila pemimpin berambisi kuasa dan harta pribadi. Di sanalah politik berkerumun di segala lini.
Menghubungkan sepak bola dan politik kekuasaan adalah sesuatu biasa. Sepak bola adalah politik an sich. Sepak bola jelas tak hanya soal olahraga berkelas, tetapi juga soal determinasi dan supremasi. Dari sanalah perjuangan mencapai juara (champion) menjadi perintah kesebelasan. Juara akan ber-upah sejarah, idola dan uang.
Selain itu, sepak bola juga bagian dari tiki-taka politik para elite. Sebab, sepak bola selalu berurusan dengan massa, suporter. Dari situlah politik masuk sepak bola.
Penyelenggaraan liga El Tari Memorial Cup (ETMC) 2017 di Stadion Marilonga, Ende, tidak lepas dari pedasnya bumbu politik Pilkada 2018 Ende. Pasangan petahana (incumbent) memiliki profit politik dengan penyelenggaraan ETMC 2017 di Ende.
Tesisnya politik kecilnya, pertama, apabila penyelenggaraan ETMC 2017 di Ende berjalan baik dan Perse Ende menjadi juara, maka ada nama baik (popularitas dan elektabilitas) bagi bupati dan wakil bupati Ende. Kedua, apabila penyelenggaraan ETMC 2017 berjalan buruk dan tanpa ada yang juara, maka reputasi politik bupati dan wakil bupati Ende (incumbent) akan anjlok.
Persoalan ETMC 2017 berputar di antara dua tesis itu. Pada pembukaan ETMC 2017, gerbang stadion Marilonga, Ende, dihancurkan suporter karena tanpa karcis dan tak diizinkan masuk. Maklum, besar jumlah suporter daripada kapasitas stadion. Robohlah gerbang stadion Marilonga.
Marilonga kian berdarah kala laga final Perse Ende vs PSN Ngada. Soal kian tidak berforma manakala suporter tumpah ruah memadati stadion Marilonga. Tribun stadion tak cukup menampung gelombang massa suporter. Dengan laga final yang sengit plus (katanya) wasit utama tidak sportif, gesekan para suporter kian panas.
Situasi panas menjadi amukan massa yang kemudian rebut lapangan pertandingan. Chaos terjadi di antara suporter. Saling terima pukulan dan batu terbang terjadi.
Kata berita, ada yang meninggal dunia dan banyak jatuh pingsan. Mereka adalah para suporter perempuan dan anak-anak yang merebut jalan lorong pulang. Kepanikan memang membuat orang hilang akal. Tetapi itu sudah terjadi di laga final ETMC 2017 Ende.
Para superter itu adalah korban ketidaktegasan panitia ETMC 2917 sekaligus politik itu sendiri. Panitia tidak tegas membatasi suporter atas dasar kapasitas penonton. Mungkin mereka sedang rakus uang tiket. Atau mungkin “atas perintah penguasa” setempat sehingga para suporter dibiarkan masuk.
Untuk kepentingan Pilkada 2018, para suporter tidak lagi dipandang sebagai kumpulan individu manusia, melainkan sejumlah kertas suara pemilih.
Semuanya, baik panitia ETMC 2017 dan penguasa berkepentingan di stadion Marilonga, Ende. Untuk menang politik, massa suporter dibiarkan masuk (takut dibuat kecewa). Untuk untung, massa supoter juga dibiarkan masuk (takut rugi).
Maka remuklah nama baik penyelenggaraan ETMC 2017 di Ende. Meskipun Perse Ende menang, tetapi para suporter dan penikmat sepak bola (bahkan PSSI) membawa pulang cerita buruk tentang ETMC 2017 Ende dan dunia sepak bola NTT itu sendiri.
Dan bagi masyarakat Ende, ada penilaian buruk bagi penguasa politik Ende. Bupati dan Wakil Bupati Ende akan dianggap tidak becus menangani event olahraga berprestasi sepak bola ETMC 2017.
Kini kebanggaan stadion Mariloga rusak fisik dan remuk oleh kesan buruk ETMC 2017. Tak ada semangat sportivitas di sana.
Hilang dari kesan kota Pancasila yang ramah. Sepak bola hanya merapatkan fanatisme suporter yang primordial, bukan mensyarakatkan nilai “my game is fair play”. Sportivitas cair dalam urusan kepentingan politik, duit dan tekanan massa yang rumit.
Sepak bola kita memang bukan industri bisnis, melainkan sekadar obsesi dan gensi. Tak seberapa “upah” yang diperoleh para pemain sepak bola, selain nama besar dan gengsi sejarah. Pertandingan sepak bola kita masih berkisar itu.
Beruntung bila dilirik oleh klub-klub nasional dan jadi pemain nasional, seperti pemain Timnas Yabes Roni Malaifani (asal Alor). Rusuh final ETMC 2017 melunturkan harapan akan pemain timnas asal NTT.
Setelah ETMC 2017 Ende, masih adakah pertandingan sepakbola yang “fair play” di NTT? Tentu masih ada bila tak ada pragmatisme kepentingan politik elite.
Selebihnya, kita mesti terus bersama kerja demi sepak bola NTT yang lebih baik. “Kalah” dalam manajemen penyelanggaraan pertandingan, tetapi menang dalam semangat memajukan NTT yang lebih baik.
Akhirnya, maju terus sepak bola NTT. Semoga Ende tetap “sare pawe”.
Alfred Tuname
Penulis adalah Penikmat Sepak Bola, asal Manggarai Timur.