Oleh : Yohanes Jehadur
Setiap era memiliki gagasan sendiri, konsep dan istilah dan setiap zaman sejarah manusia pasti memiliki persoalan dengan segala dampaknya. Manusia selalu memiliki pemikiran yang dinamis dan selalu berkembang seirima dengan ritme logika kepentingannya. Peradaban antarperdaban silih berganti dibangunsebagai bukti nyata sebuah dinamika pemikiran manusia yang tidak lagi rigid apalagi stagnan. Dengan demikian, ide-ide baru yang munculkemudian diuraikan ke dalam sebuah konsep dan teori dalam rangka menuju“arah yang baru” atau membentuk ”bentuk-bentuk baru” yang menyesuaikan diri dengan era kontemporer yang dianggap sebagai sebuah keniscayaan dalam mencerminkan sifat dan mengatasi persoalan kontemporer yang semakin kompleks dan sangat variatif.
Di antara konsep-konsep baru yang muncul khususnya di era perubahan ini, ada konsep globalisasi. Konsep globalisasi telah bercampur dengan begitu banyak ilusi dan menjadi masalah yang kompleks dan kadang-kadang ambigu yang selalu menimbulkan kontroversi. Oleh karena itu, globalisasi adalah sebuah fenomena yang terdiri dari banyak ragamnya. Fakta yang paling mengkhawatirkan dalam hal ini adalah bahwa semua globalisasi ini saling bergantung antara satu dengan yang lain. Dapat dibayangkan bahwa kuatnya tali-temali antara globalisasi telah berhasil menerobos tiang pengkotakan. Sebut saja, misalnya, tidak ada globalisasi budaya tanpa adanya globalisasi teknologi. Semua berjalan berbarengan.
Perkembangan media dan teknologi komunikasi juga menjadi salah satu faktor yang mengakselerasi berkembangnya globalisasi. Integrasin terkoneksi dan bahkan interdependensi tidak dapat dilepaspisahkan dari keberadaan media dan teknologi komunikasi yang beroperasi pada lintas batas negara dan bangsa.
Dalam bingkai globalisasi, kita sepakat dengan Payung Bangun (2002) yang menyadari bahwa era kita dewasa ini dikenal sebagai era serba ketergantungan (interdependency) yang menggambarkan bahwa suatu negara atau bangsa tidak akan mungkin menghindari hubungan dengan negara-negara atau bangsa lain demi mempertahankan eksistensinya.
Tatakala era serba ketergantungan, maka perubahan terus bergulir dan makin maju seirama dengan pola pikir, penemuan dan kreativitas manusia. Kecenderungan perubahan adalah suatu kondisi yang makin memperlihatkan sifat ketelanjangan yang dikendalikan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedudukan budaya dalam kecenderungan ini sangat penting terutama untuk mengangkat harkat dan martabat manusia dalam gejala yang selalu berubah. Hal itu penting dilakukan mengingat perubahan selalu membawa dua konsekuensi berbarengan, yaitu positif maupun negatif. Karenanya, jati diri budaya perlu dikembang dan diperdayakan agar dapat menyesuaikan diri dengan kecepatan perubahan tersebut.
Masih dengan Payung Bangun menjelaskan bahwa budaya adalah kerangka rujukan dari tindakan dan membentuk pandangan, sikap dan perilaku. Oleh karenanya, pemahaman tentang defenisi dan fungsi budaya sangat penting. Rumusan yang berbicara tentang pemahaman arti pentingnya budaya yang berkembang dan tujuannya pun mengabdi kepada kemanusiaan merupakan usaha kebudayaan menuju ke arah kemajuan adap, budaya persatuan yang dapat memperkembangkan dan memperkaya kebudayaan sendiri, serta mempertinggi drajat kemanusiaan bangsa. Hal itu, tidak dapat dimungkiri bahwa rumusan tersebut harus berangkat dari budaya lokal keindonesiaan guna menggambarkan visi budaya bangsa yang jauh kedepan. Budaya songke orang Manggarai pun tak terpeleset dalam konteks ini.
Budaya Songke dan Persoalannya
Budaya Songke yang merupakan tradisi dalam kebudayaan lokal Indonesia yang dalam konteks ini adalah kebudayaan orang Manggarai dalam rangka mengangkat harkat dan martabat budaya bangasa semakin menimbulkan tanda tanya besar. Ia berada pada sikap dilematis ketika diletakkan kepada kaum muda. Ia harus bersaing dengan Televisi, Film, Facebook, Black Berry Mesanger (BBM), Instagram, WhatsApp, Twitter, Email dan Youtube. Selengkapnya adalah teknologi sebagai budaya trend anak muda Manggarai. Mereka semua bertengger di papan atas lini budaya trend anak muda Manggarai. Akhirnya, tradisi budaya pribumi semakin terkikis dan terdesak yang menempatkanposisi strategis budaya songke semakin teralienasi secaradramatis.
Terlepas dari pemikiran tersebut, fakta mengatakan kepada kita bahwa telah sekian lama pemuda Manggarai mengalami degradasi pemahaman mengapa budaya songke harus dipertahankan. Pemuda Manggaraisebagai yang terspesial dalam mengukir sejarah masa depan, kehilangan pemahaman kebudayaan budaya songke dan kemampuan untuk mengendalikannya. Ketika kebudayaan global hampa spiritualitas dan makna berkontestasi membongsai globalisasi, ketahanaan diri sirna dan senjata intelektualitas seakan merosot. Hanya sedikit saja pemuda yang memakai lebel intelektualitas. Ini adalah biang tragedi kebudayaan. Tatkala biang tragedi kebudayaan, ia akan membias menjadi tragedi songke sebuah perilaku budaya yang mestinya diterushidupkan. Namun, paradoks dan tragisnya tragedi, individu (pemuda) tidak memiliki alternatif lain kecuali terus menciptakan produk budaya yang dalam konteks ini adalah meneruskan budaya songke ata ledong dise empo agu mbate dise ame.
Pemuda dan Perannya
Pemuda Manggarai adalah harapan dan penerus budaya songke. Oleh karena itu, di pundak generasi mudalah nasib budaya songke itu dipertaruhkan.
Belajar dari perayaan serenade 2017 kabupaten manggarai sangat memikat hati. Saya terusik dengan keseragaman songke yang digunakan dari 1. 200 peserta serenade yang terdiri dari siswa SD-SMA dan mahasiswa perguruan tinggi semua menggunakan songke. Tak salah ketika bupati dna wakil bupati Manggarai larut dalam keheboan budaya songke generasi masa depan Manggarai. Dalam keheboan itu, tesirat dari ekspresi bahagia kedua pemimpin daerah itu, bahwa Sesungguhnya pemuda Manggarai memiliki peran sangat penting dalam melestarikan budaya songke sebagai budaya orang Manggarai.
Adapun beberapa perannyaadalah sebagai berikut; pertama, memperkuat fondasi. Fondasi adalah dasar yang harus dimiliki para pemuda untuk menjaga nilai budaya luhur yang telah diwariskan nenek moyang dahulu. Fondasi tersebut berupa penghargaan dan kecintaan pada budaya sendiri. Bila pemuda Manggarai memiliki fondasi yang kuat maka akan sulit budaya asing untuk bisa masuk, apalagi memudarkan budaya daerah Manggarai. Maka dari itu pemuda Manggarai harus menguatkan jati diri dan kecintaannya pada budaya Manggarai yang adalah budaya daerah sendiri sehingga apa yang menjadi tradisi dan kekhasan budaya daerah yang telah diwariskan akan tetap utuh. Dalam konteks keberlangsungan budaya, apabila pemuda sudah tidak lagi peduli terhadap budaya daerahnya maka daerah tersebut akan mati. Sedangkan jika pemudanya memiliki kecintaan dan ikut serta dalam melestarikan budaya daerahnya, budaya daerah tersebut akan tetap ada dan selalu kokoh walaupun digoncang oleh globalisasi atau keberadaan budaya lain yang masuk. Pemuda Manggarai harus menjadi aktor terdepan dalam memajukan budaya daerah Manggarai, sehingga budaya asing yang masuk tidak mengikis, merusak atau mematikan budaya daerah Manggarai.
Kedua, kesadaran melestarikan budaya. Dalam hal ini, peran penting pemuda untuk menyelamatkan serta melestarikan budaya daerah yang sedikt demi sedikit mulai ditinggalkan.Dalam bahasa yang lain, pentingnya pemuda mempelajari budaya yang tak lain adalah milik kita sendiri.Ketiga, meningkatkan intelektualitas. Intelektualitas menjadi suatu yang dianggap penting karena dengan intelektualitas ini pemuda dapat menyelamatkan dan memajukan budaya daerah. Melalui intelektualitas juga akan terbentuk moral dan etika menjujung tinggi nilai-nilai budaya daerah dan dapat mengfilter budaya asing yang masuk. Perlu dicatat bahwa suatu daerah apabila generasi mudanya memiliki kualitas itelektualitas yang unggul dalam bida maka daerah itu akan menjadi besar. Keempat, sebagai aset atau kekayaan masa depan. Sudah selayaknya dan sudah menjadi kewajiban para pemuda untuk terus berusaha dan berupaya melestrikan peninggalan sejarah nenek moyang yang telah lama ditinggalkan dal bentuk adat istiadat maupun dalam bentuk bangunan bersejarah. Sebagai generasi penerus sudah seharusnya, jika para pemuda menggali potensi dirinya dan berupaya untuk mengaktifkan lagi kebudayaan yang sebagian sudah tergeser oleh budaya asing yang secara nyata bertentangan dengan budaya daerah Manggarai. Pemuda sebagai penerus eksisitensi budaya daerah sudah menjadi kewajiban baginya untuk berusaha dan berupaya melestarikan kebudayaaan daerah yang hampir punah sehingga kebudayaan yang hampir punah itu bisa ditingkatkan lagi.
Budaya Manggarai dengan beragam tradisi, adat istiadat memang perlu dilestarikan. Dalam pribahasa orang manggarai “neka oke kuni agu kalo” yang dalam terjemahan bebas berarti jangan lupa tanah kelahiran/tanah leluhur/tanah tumpah darah. Itu artinya sebagai pemuda Manggarai jangan pernah lupa dengan kebudayaan Manggarai. ***
Penulis adalah anggota PMKRI Cabang Ruteng Santu Agustinus