Oleh: Aflred Tuname*
Dalam politik ada juga ungkapan, “tak kenal maka tak sayang”. Semua tentang diri dan pandangan politik visioner calon pemimpin mesti diketahui, agar “disayang”: disayang rakyat dan partai politik (parpol). Dalam Pilkada, dukungan parpol adalah conditio sine qua non, syarat mutlak. Itu dimulai dari proses pendaftaran.
Dokumen berkas pendaftaran kandidat merupakan bagian dari “pedekate” politik kandidat untuk mendapatkan restu dukungan parpol. Dokumen itu disusun oleh parpol sebagai format baku pendaftaran kandidat.
Pada umum, berkas pendafataran itu berisi hal-hal biasa seperti formulir lamaran, CV, Visi-Misi, fotopas, surat pernyataan dan fotokopi KTP, NPWP dan Ijazah. Itu biasa dalam lamaran politik.
Sedikit berbeda dan unik dibuat oleh Partai Demokrat. Pada formulir CV kandidat yang dikeluarkan oleh DPC Partai Demokrat Manggarai Timur (Matim) untuk Pilkada Matim 2018, ada kolom keterangan nama keluarga inti (nuclear family)dan keluarga besar (extended family). Ada kolom nama anggota keluarga, saudara/i, mertua, menantu, ipar, paman dan bini. Kolom-kolom ini diisi oleh kandidat pasangan calon.
Parpol membuat kolom seperti itu tentu dengan pertimbangan politik yang matang dan niat politik yang baik. Pertama, parpol hendak memastikan kekuatan basis dukungan keluarga dan jaring-jaring kekerabatan yang tersebar. Kedua, parpol hendak memangkas politik dinasti yang bisa terdeteksi dari relasi keluarga.
“Penelitian” sekilas atas “muatan dasar” dukungan keluarga besar kandidat adalah cara baca politik yang menarik dari DPC Partai Demokrat Matim. Menarik lantaran psiko-sosial masyarakat Matim masih melihat relasi keluarga dalam preferensi pilihan. Relasi kedekatan keluarga menimbulkan keterikatan emosional, dan bahkan rasa bersalah (culpability) jika tidak pilih “keluarga”.
Keluarga dalam konteks orang Manggarai adalah anak wina atau anak rona dan ase-kae (kae-are). Sebagai keluarga, orang Manggarai saling mengisi, memberi dan menerima. Setidaknya mereka selalu “ada bersama” (mit-sein) dalam suka maupun duka (urus adat, kreba di’a,dll). Karena itulah ada bundu orang Manus, “ghau jelong aku, aku jelong ghau” (kau lihat saya, saya lihat kau) (A. J. Verheijen, SVD., terj. Zacharias Angkasa, 2012). Terjemahan bebasnya, politik balas budi.
Akan tetapi, kalau ada ikatan keluarga tetapi tidak pernah ada bersama, “toe jolong tau”, tidak saling berbagi, maka ia tidak dikenal. Dalam politik Pilkada, tingkat preferensi pilihan politik akan lemah pada “kandidat-keluarga” yang tidak dikenal atau baru muncul muka (lawo cai bao, tekur cai retuk).
Memang, Pilkada bukan untuk memilih keluarga. Tetapi pada konteks Manggarai, diri orang Manggarai itu sekaligus berstatus anak rona/anak wina/ase kae (extended family). Oleh karena itu, kecenderungan Pilkada di Matim adalah quasi-primordial.
Selain itu, prefensi pilihan politik sering berisiko pada konflik internal keluarga pasca-Pilkada. Karena itulah “kandidat-keluarga” selalu menjadi preferensi pilihan utama pemilih (voters).
Pertimbangan lain, pengalaman politik dinasti di berbagai daerah tampaknya menjadi perhatian serius DPC Partai Demokrat Matim. Alexander R. Arifianto dan Jonathan Chen dalam penelitiannya di jurnal RSIS (2015), Nangyang Technological University, menulis trend buruk demokrasi Pilkada adalah politik keluarga yang menjurus dinasti (local political dynasties). Catatan buruk demokrasi lokal itu pernah terjadi di Pilkada Pasuruan and Kediri (Jawa Timur), Indramayu (Jawa Barat), and Ogan Ilir (Sumatera Selatan).
Yang fenomenal adalah politik dinasti di Provinsi Banten. Pada tahun 2007, Ratu Atut Chosiyah yang terpilih jadi Gubernur Banten. Tahun 2010, adiknya, Ratu Tatu Chasanah terpilih jadi Wakil Bupati Serang. Tahun 2011, ibu tiri Atut, Heryani jadi Wakil Bupati Pandegelang, dan iparnya, Airin Rachmi Diany jadi Wakil Walikota Tangerang Selatan. Hikmat Tomer (alm), suami Atut, terpilih jadi anggota Komisi V DPR periode 2009-2014. Putra Atut, Andika Hazrumy, jadi anggota DPD RI, sedangnkan istri Andika, Ade Rossi Kharunnisa jadi Wakil Ketua DPRD Serang. Disebutkan, dinasti politik Ratu Atut Chosiyah goyah setelah jadi tersangka korupsi dan divonis 5,5 tahun penjara (Kompas.com, 20/7/2017).
Dinasti politik Ratu Atut Chosiyah merupakan preseden buruk bagi demokrasi lokal di Indonesia. Partai Demokrat (dan semua parpol) tentu berjuang menangkal politik dinasti itu. Borok demokrasi itu mesti dicegah sedini dan secepat mungkin agar masyarakat tidak selamanya dikuasai oleh satu jaringan keluarga penguasa. Sebab itu, temali relasi sang kandidat perlu dilihat dan diteliti secara saksama.
DPC Partai Demokrat Matim meneliti bibit dinasti politik dengan mencantumkan kolom “nuclaer and extended family” dalam formulir pendaftaran. Tentu tujuannya untuk sesegera mungkin mengeliminasi simptom-simptom dinasti politik dalam Pilkada Matim 2018.
Simptom dinasti politik terdeteksi dari status keluarga dekat (anak kandung, saudara, sepupu, ipar, paman, bibi) dengan pemimpin daerah (bupati/wakil bupati). Realitas politik Manggarai Timur mesti bersih dari dinasti politik.
Bahaya politik dinasti adalah “budaya” patronase, yakni penguasaan, akumulasi dan alokasi sumber daya hanya untuk dan dari jejaring keluarga patron (pengusa). Masyarakat (bukan keluarga) hanya bisa menikmati remah-remah pembangunan.
Kebijakan pembangunan harus ada restu dan cantelan nama sang patron. Ini pintu masuk korupsi. Selebihnya, demokrasi lokal akan minus kritik dan pemerintahannya menjadi anti-kritik, sebab jejaring keluarga (klien) akan melindungi sang patron dengan segala cara (Machiavellian way).
Sebagai parpol yang “high representative” di Matim, Partai Demokrat juga bertanggung jawab untuk kelangsungan demokrasi lokal tanpa dinasti. Demikian pun juga dengan parpol-parpol lain di Matim. Itu fungsi parti politik.
Herbert Kitschelt (2004) melalui karya Parties and Political Intemerdiation, dalam Airlangga Pribadi (Kompas, 22/5/2010), menulis, “fungsi parpol sebagai rumah bagi proses konsolidasi bersama untuk menyelesaikan persoalan yang terkait dengan tindakan kolektif dan pilihan-pilihan sosial (politik)…” Unisono dengan itu, parpol berfungsi menyelesaikan persoalan yang mengarah pada aksi-aksi politik dinasti dalam Pilkada.
Tidak dapat disangkat, kegagalan politik demokrasi lokal juga merupakan bagian kegagalan parpol. Parpol dianggap tidak mampu atau bahkan membiar proses pembusukan demokrasi itu berlangsung. Artinya, meloloskan geliat politik dinasti sejatinya crime by commision parpol.
Oleh karena itu, parpol harus berjuang untuk mewujudkan demokrasi politik yang bersih. Respek publik ada untuk elite-elite parpol yang berjuang demi keadaban politik. Jika tidak sesui nalar politik publik itu, maka parpol sedang berjalan di atas tali bunuh diri politik (political suicide). Mengutip Colin Hay (2007) dalam Why We Hate Politics, dikatakan bahwa “ketika arena politik bekerja hanya untuk melayani rasionalitas kepentingan pragmatis personal elite- elite politik, proses tersebut akan berbuah irasionalitas kolektif” (ibid). Itu bunuh diri politik.
Sebagai parpol yang mapan, Partai Demorkrat (juga parpol lain) tentu tidak ingin melakukan bunuh diri politik. Bersekutu dengan etika politik adalah keutamaan politik parpol. Berkolega dengan kepentingan rakyat akan berbuah berkah politik di masa datang.
Seakan di gurun, rakyat Matim sedang berteriak soal seorang pemimpin yang bersih, berintegritas dan berkapasitas. Parpol punya kans untuk menyiapkan jalan bagi kerinduan rakyat Matim itu.***
Alfred Tuname
Direktur Lembaga Neralino (Network On Reform Action For The Well-being Of Indonesia)