Oleh: Servas Jemorang*
Akhir-akhir ini, Kepolisian Resort (Polres) Manggarai dipopulerkan dengan semangat penghentian aktivitas galian pasir di beberapa tempat di kabupaten Manggarai dan Manggarai Timur.
Pada 18 Agustus lalu, lokasi penggalian pasir di Wae Reno, Kecamatan Wae Rii Kabupaten Manggarai dan di Weol Kecamatan Ruteng dihentikan disusul penahanan beberapa orang warga. Tak hanya itu, penghentian susulan terjadi di lokasi galian pasir Wae Lengkas dan dua tempat lainnya di Manggarai Timur.
Alasannya kepolisian sederhana, masyarakat telah mengangkangi undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba dan undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Menurut UU, pekerjaan mereka dikatakan ilegal dan sudah lama menabrak hukum, karenanya pantas menikmati akibat. Alhasil, sekitar 7 orang warga pemilik lahan galian pasir akhirnya ditangkap dan ditersangkakan.
Tak bisa dibendung, tindakan kepolisian telah menjadi diskursus hangat yang enak diperbincangkan di kalangan publik. Polres Manggarai telah mengirimkan bola panas di tengah kebanjiran ruang ekspresi sosial yang membuat mulut banyak orang enggan untuk diam. Media online dan media sosial pun disesaki oleh pendapat dan tanggapan yang sarat pro dan kontra.
Sepintas, tindakan polres Manggarai berdampak ekses berwajah ganda. Pemilik lahan, pekerja, kontraktor, pemerintah dan beberapa pihak yang tengah membutuhkan pasir, melihat peristiwa ini sebagai bencana. Mereka kehilangan fundasi ekonomi yang telah lama diandalkan sebagai tonggak kesejahteraan.
Bagaimana nasib anak-anak dan keluarga mereka? Sungguh bukan peristiwa yang gampang diikhlaskan. Apalagi alasan pemberhentiannya masih tanda tanya karena pemahaman hukum yang minim.
Mereka kalang kabut saat melihat tempat kerja disegel dan bos mereka ditangkap dan ditahan oleh polisi. Lantas mereka harus mencari uang ke mana? Sementara desakan kebutuhan ekonomi, kesehatan, pendidikan dan lain-lain masih butuh penuntasan.
Di sisi lain, bagi pecinta lingkungan hidup dan perindu kelurusan hukum, peristiwa ini dimaknai secara positif. Tindakan kepolisian dilihat sebagai penyelamatan gemilang di tengah nafsu ekonomi yang mengabaikan lingkungan. Secara ekologis, penggalian pasir semakin mengancam kenyamanan. Kerusakan ekologis yang hebat kini terjadi di depan mata.
Hukum yang Menindas
Sementara untuk pelurusan hukum, kita semua perlu berpikir kritis. Banyak pertanyaan yang sulit dijawab secara jujur oleh pemerintah dan kepolisian.
Pemerintah provinsi dan kepolisian mengklaim masyarakat telah melanggar prosedur pengelolaan tambang galian C, sehingga layak diberhentikan.
Sementara di posisi masyarakat, undang-undang yang menjerat adalah barang baru. Mereka tak pernah mengenalnya karena tak ada sosialisasi.
Mereka juga mengaku prosedur kepolisian melakukan penangkapan sungguh tidak manusiawi dan menggunakan pendekatan yang tak elok. Setidaknya ada peringatan terlebi dahulu, itu yang benar menurut mereka. Namun ketika prosedurnya tergesa-gesa, masyarakat hanya bisa pasrah. Melawan hukum tidak mungkin.
Pilihan terakhirnya adalah pasrah pada permainan kepolisian. Mereka bungkam di bawah undang-undang. Sedih. Kini hanya air mata kekecewaan yang menjadi sahabat hari-hari. Bukan lagi pasir, bukan lagi semangat mencari nafkah.
Sehingga untuk sementara, masyarakat adalah pihak yang kalah dalam kejadian ini. Sebaliknya, pemenangnya adalah pemerintah dan kepolisian.
Cacat Prosedur dan Pungutan Liar
Tidak sedang mengklarifikasi kebenaran kasus, saya melihat duduk soalnya dari kacamata masyarakat.Ketergesaan kepolisian menetapkan tersangka adalah sebuah tindakan prematur.
Masyarakat mengaku belum mendapatkan sosialisasi berkaitan dengan undang-undang perizinan. Dari mana mereka tahu? Hal tersebut diungkapkan masyarakat dalam kesempatan audiensi dengan polres bersama aktivis PMKRI Ruteng.
Proses penetapan tersangka tidak didahului dengan peringatan dari pihak kepolisian agar penggalian pasir dihentikan. Menurut masyarakat, pendekatannya sangat tidak manusiawi.
Polres juga menurut saya sangat tidak peka dan lamban dalam menegakkan hukum. Penggalian tambang sudah dimulai sejak 1948, kenapa hari ini baru ditegakkan? Atau memang sengaja tunggu pembangunan gedung kepolisian dari pasir-pasir yang salah itu selesai. Dimana kepolisian sejak dulu?
Mencari kejanggalan hukum dalam pesoalan ini tidak harus dimulai dari masyarakat. Alasan mereka jelas, tak mengenal undang-undang pembuatan izin penggalian pasir. Ini memang kelalaiam pemerintah dalam mensosialisasikan undang-undang terkait, bahwa surat izinan adalah keharusan hukum. Alangkah lebih bijak ketika misalnya dimulai dari koordinasi bersama pemerintah perihal sosialisasi undang-undang terkait baru menjalankan langkah hukum.
Masyarakat hanya bisa berkomentar dengan air mata. Mereka memohon pembebasan bagi warga yang ditahan, tetapi sia-sia. Pelanggarannya terlalu fatal menurut pak Polisi.
Untuk Pemerintah
Teruntuk pemerintah provinsi, yang sejak diterbitkannya undang-undang nomor 23 tahun 2014, mengantongi wewenang perizinan tambang, dimana pajak-pajak yang secara rutin dibayar oleh pemilik tambang galian C yang kini tengah bermasalah ini ?
Di dalam undang-undang sudah jelas mengatur. Persyaratan teknis, administratif, lingkungan dan finansial merupakan kewenangan pemerintah daerah dalam proses memberikan izinan (UU No.4 tahun 2009 pasal 65).
Termasuk juga urusan keselamatan pekerja di lokasi pertambangan akan dibahas dalam pembuatan izinan pertambangan. Artinya bahwa pembayaran pajak mengandaikan adanya izinan usaha pertambangan (IUP). Sebab undang-undang mengatur bahwa pajak boleh dilakukam apabila ada izinan, karena itu kewajiban pelaku tambang.
Tetapi yang terjadi adalah pemerintah dengan tanpa beban menerima pajak galian C tanpa mengecek kepastian hukum dari pada tambang terkait. Ini kan bentuk keteledoran pemerintah. Kalau ini dilakukan dengan sengaja, maka pemerintah perlu jujur.
Dengan alasan apapun, pemerintah yang mengenal prosedur hukum perizinan perlu bertanggung jawab. Sebab logika hukumnya bahwa pemerintah telah dengan sengaja melakukan pembiaran pengangkangan hukum oleh masyarakat.
Bagaimanapun, pemerintah provinsi punya andil besar dalam soal ini. Rakyat telah menganggap bahwa pembayaran pajak adalah tanda kelegalan pertambangan.
Kemudian berkaitan dengan operasi tambang yang menurut polisi mengangkangi undang nomor 32 tahun 2009 tentang lingkungan hidup, ini juga tetap kembali pada kesalahan pemerintah yang memahami undang-undang.
Masih di pasal 65 undang-undang nomor 4 tahun 2009, penyepakatan tentang batas-batas wilayah pengoperasian tambang, diatur dalam peraturan daerah.
Itu semua dilaksanakan sebelum penagihan pajak. Bukan hanya enak menagih pajak, tanpa pengecekan status hukum setiap galian pasir. Akhirnya rakyat kalah menghadapi masyarakat. Tak diberi kesempataan untuk berkotek.
Hukum bukan hadir untuk melindungi masyarakat, tetapi justru sebagai pembunuh kehidupan masyarakat. Pemerintah dan Polres Manggarai tidak mau mengakui kelalaian dan kesalahanya. Rakyat yang jujur terpaksa tekuk.
Di sinilah kadang kejujuran dan kepolosan sebagai rakyat menjadi bumerang. Somoga pemerintah tidak cuci tangan terus menerus.***
Penulis adalah Presidium Gerakan Kemasyarakatan PMKRI Ruteng