Oleh: Rian Agung*
Tidak bisa dinafikan, pertumbuhan ekonomi nasional kita dari tahun ke tahun cenderung melambat. Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik, pertumbuhan ekonomi kita tahun ini hanya mencapai 5,01 persen dari 4,92 persen pada kuartel 1 2016 dan 4,94 persen pada kuartel 1V 2016 ( CNN, 5/5/2017).
Menurut Kepala BPS, Suhariyanto, kenaikan yang mencapai angka 5,01 persen di tahun ini lebih dipacu oleh kinerja perdagangan ekspor dan impor yang berhasil menorehkan surplus dalam tiga bulan berturut-turut.
Secara keseluruhan, nilai ekspor Indonesia, US$40,61 miliar atau naik 1,33 persen secara tahunan. Sedangkan nilai impor Indonesia, US$36,68 miliar atau menurun 0,75 persen secara kuartalan, namun meningkat 14, 83 persen secara tahunan.
Pencapain ini tentu belum maksimal dan angka 5,01 persen ini belumlah angka yang stabil. Angka ini bisa saja mengalami penurunan di tahun mendatang jika kita tidak sedini mungkin memetakan langkah yang lebih strategis untuk terus memacu pertumbuhan ekonomi nasional kita.
Penciptaan langkah strategis ini tentu berbasiskan pada reformasi agraria sebagai leading sector pembangunan ekonomi kita. Reformasi agraria ini menjadi semakin penting mengingat tata kelola pertanian kita yang selama ini masih amburadul.
Mayoritas masyarakat Indonesia yang bermata pencaharian sebagai petani, mestinya memacu kesadaran semua elemen bangsa untuk bersama-sama memikirkan suatu pengelolaan pertanian yang tepat sasar dan membawa dampak besar bagi kesejahteraan masyarakat.
Sebab Kesejahteraan masyarakat sudah barang tentu menjadi persyarat mutlak bagi peningkatan dan kemajuan ekonomi Indonesia hari ini. Dengan kata lain indeks peningkatan ekonomi kita ditentukan oleh penciptaan ruang yang leluasa bagi rakyat untuk memaksimalkan seluruh potensi pertanian yang ada seperti lahan dan lain-lain sebagainya.
Mengacu pada uu no 41 tahun 2009 huruf b tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan, diterangkan, bahwa Indonesia sebagai Negara agraris perlu menjamin penyedian lahan pertanian pangan secara berkelanjutan sebagai sumber pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dengan mengedepankan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, dan kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan, kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Jika ingin konsisten dengan bunyi uu ini, kita sebenarnya sedang melakukan satu penyimpangan yang luar biasa dan sebagai petani kita sedang ditindas secara masif.
Penguasaan kekayaan alam kita termasuk lahan pertanian lebih didominasi oleh satu kekuatan tertentu dan pemodal asing. Terkait hal ini, peneliti dan pengamat ekonomi dari institute for global justice (IGJ) Samaludin Daeng, mengungkapkan, 93 persen daratan di Indonesia dikuasai oleh asing dan swasta (Harian Terbit, 9/5/2015).
Sementara Sekretaris Jendral Konsorsium pembaruan agraria (KPA), Idham Arsyad, menunjukan data mengenai ketimpangan agraria di Indonesia. Berdasarkan penelitian KPA, sekitar 35 persen daratan Indonesia dikuasai 1.194 pemegang kuasa pertambangan, 341 kontrak karya pertambangan dan 275 kontrak karya batu bara.
Kepemilikan yang tidak merata ini selanjutnya berdampak pada mandeknya konsep pemenuhan pangan lewat produksi lokal ( kedaulatan pangan) dan menimbulkan terjadinya ketimpangan struktur penguasaan tanah yang sangat menonjol.
Masyarakat pedesaan adalah korban utama dari dikartelnya sejumlah kekayaan alam yang tidak merata ini. Kehidupan masyarakat desa yang sangat tergantung pada sektor pertanian menjadi sangat tidak berdaya dan semakin jauh dari kata sejahtera.
Daya beli masyarakat pedesaan menjadi melemah sehingga pada roda perekonomian lebih menyerupai fenomena shisipu. Bergerak dari nol dan kembali ke nol. Tidak sebatas itu ketidakadialan semacam ini juga menjadi pemicu konflik berkepanjangan di tengah-tengah masyarakat.
Menjadi semakin miris tatkala pemerintah belum menunjukan komitmen yang kuat untuk segera mengurai persoalan pelik ini. Ketidakseriusan pemerintah ini tampak dari lemahnya kontrol dan kordinasi antar pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam mengontrol setiap kebijakan daerah yang seringkali mengutungkan pemilik modal, ketimbang berpihak pada kebutuhan rakyat banyak.
Kebijakan-kebijakan daerah pada faktanya seringkali melibatkan kong kalikong antar elite lokal dengan pemodal. Operasionalisasi pertambangan di beberapa daerah yang lebih banyak mendatangkan mudarat adalah secuil fakta yang memeperlihatkan ke publik lemahnya kontrol dan kerja sama antar pusat dan daerah.
Melihat sejumlah fakta miris ini, maka reformasi agria sebagai penguatan terhadap ekonomi nasional adalah satu hal yang tidak bisa di tawar-tawar lagi. Di tengah melemahya ekonomi nasional reformasi agraria harus menjadi prioritas pemerintah dalam menguraikan ketimpangan yang terjadi. Reformasi agraria ini mesti terealisaai dan terinstrumenlalisasi pada beberapa hal berikut.
Pertama, penguatan dan kontroling yang intesif terhadap uu agraria, dalam hal ini UUD 1945 Pasal 33 sebagai basic legitimate bagi uu no 41 tahun 2009 dan uu terkait lainnya. Penguatan ini harus diupayakan bagi terciptanya peluang yang leluasa bagi segenap warga Negara Indonesia untuk mengakses kekayaan alam yang ada.
Segala upaya yang hanya menghambat realisasi uu ini mesti menjadi catatn kritis bagi pemerintah untuk selanjunya melakukan kontrol yang lebih intensif. Kerja sama dengan pemerintah daerah untuk mendesain kebijakan yang prorakyat terkait pengaturan pertanian kita harus ditingkatkan.
Pengaturan ini dimaksud supaya setiap orang mencapai skala usaha yang cukup dalam produksi pertanian, sehingga ketimpangan yang lebar mampu diretas. Pada medio Juni 2016 lalu Menteri Dalam Negeri, Thajo Komolo mempblulasikan 3.143 perda yang di cabut kareana produktif. Ini adalah langkah yang baik, dan tentu kita berharap kebijakan ini juga turut mengakomodir setiap kebijakan daerah yang selama ini seringkali menindas rakyat.
Kedua, reformasi agraria ini harus disertai dengan perencanaan tata kelola pertanian baik. Perencanaan tata kelola pertanian ini harus dilaksanakan secar terpadu dan melibatakan partisipasi masyarakat. Masyarkat harus terus diberi ruang dan didampingi untuk mampu menjadi pelaku pertanian yang produktif.
Karena itu usaha industri kreatif yang ada di tengah-tengah masyarakat selama ini harus terus difasilitasi oleh pemerintah. Pemerintah harus mengedepankan perangkat hukum yang mengatur kepemilikan lahan/tanah secara demokratis. uu no 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar-dasar pokok Agraria atau UUAP mengatur pembatasan penggunaan lahan harus betul-betul dikawal proses pengimplementasianya.
Dengan reformasi agraria seperti ini, perekonomian masyarakat kita diharapakan bisa bisa mengalami kemajuan dari apa yang terjadi hari ini. Penguasaan aset yang terlampau didominasi oleh pemodal dan korporasi asing segera diakhiri dengan betul – betul menyatukan tekad dan komitmen bersama; memerangi setiap penindasan yang mengakuisi seluruh kekayaan alam kita.
Dengan ketersedian ruang berupa lahan yang terjangkau oleh masyarakat sembari terus mengoptimal latihan dan bimbingan tehnis terhadap petani-petanj kita, kesenjangan ekonomi yang selama ini menjajah sebagian masyarakat kita segera diakhiri.***
*Penulis adalah Mahasiswa Hukum Universitas Esa Unggul