Ruteng, Vox NTT- Pernyataan dua anggota DPRD Manggarai Timur (Matim), masing-masing Aven Peding dan Fill Jiman terkait penutupan lokasi penggalian pasir di kabupaten itu dinilai ketir-ketir dan gugup.
“Aven dan Fill gugup mengakui ada persoalan yang lebih besar dalam persoalan penutupan lokasi penggalian pasir di beberapa tempat di Manggarai Timur,” ujar Marsel Gunas, warga Borong-Matim dalam rilisnya yang diterima Vox Ntt.com, Minggu (3/9/2017).
Marsel mengatakan, dua anggota DPRD Matim itu menyampaikan pernyataan di media Floreseditorial, Jumat 1 September 2017 , yang intinya menyepakati upaya pihak Polres Manggarai dalam penutupan lokasi tambang pasir di Matim.
Menurut dia, seirama dengan polisi merupakan bentuk kekalutan anggota DPRD Matim menyikapi dan mencari solusi jitu atas persoalan publik.
Hal itu juga bentuk kekalutan yang lahir dari ketidakberpihakan mereka terhadap kepentingan warga pemilik pasir di Matim.
“Sebagai anggota DPRD, tak cukup pantas jika Aven dan Fill hanya menyoroti dampak penutupan tempat penggalian pasir terhadap pembangunan fisik di Manggarai Timur dan mengabaikan hal mendasar yang melatarbelakangi penutupan lokasi oleh polisi,” tegas mantan Pengurus Pusat PMKRI itu.
Dia menambahkan, pernyataan itu sekaligus menjelaskan posisi DPRD Matim yang tak berada dalam satu kepentingan yang sama dengan warga pemilik lahan galian pasir.
Sebab, bagaimana mungkin anggota DPRD menyinggung dampak penutupan terhadap proyek pembangunan, sementara fungsinya adalah pengawasan kebijakan eksekutif?
“Kalau kontraktor proyek yang bicara begitu, saya kira relevan,” tukasnya.
Menurut Marsel, sebagai lembaga yang memiliki fungsi pengawasan, DPRD seharusnya lebih galak dan lebih tajam mendorong evaluasi secara tuntas kinerja eksekutif di Matim yang absen dalam mengontrol, mengingatkan dan memfasilitasi perizinan penggalian pasir.
Dia juga menilai pernyataan setuju dengan polisi oleh dua anggota dewan itu merupakan gambaran sikap DPRD Matim yang terindikasi inkonsisten.
Di satu sisi, lanjutnya, DPRD Matim mendukung ada upaya dialog, di sisi lain meyakini apa yang dilakukan pihak kepolisian sebagai hal yang positif.
“Publik bahkan tak menangkap adanya konsistensi sikap yang jelas posisinya dimana. Di satu sisi mendukung polisi, di sisi lain teriak soal dialog. Yang cukup menggelikan juga, DPRD lebih memikirkan dampaknya pada proyek pembangunan fisik dam penyerapan anggaran dari pada manusia yang dikriminalisasi polisi,” ujar Marsel.
Dikatakan, persoalan penutupan lokasi galian pasir di sejumlah lokasi di Manggarai dan Matim oleh pihak kepolisian merupakan tindakan sepihak dan mengabaikan dimensi keadilan.
Tindakan itu mencerminkan betapa Negara, melalui aparat penegak hukum, miskin solusi penyelesaian persoalan yang menomorsatukan keadilan di tengah masyarakat.
Maka, sebagai anggota DPRD Matim, hal yang paling mendesak untuk dilakukan kini adalah mendorong adanya dialog lintas pihak untuk menemukan solusi dari persoalan itu.
Dialog itu adalah dialog partisipatif yang melibatkan masyarakat. Baik pemilik lahan, maupun masyarakat pekerja.
“Selama itu didorong, semua operasi penggalian dihentikan sementara, warga yang ditahan dan ditersangkakan polisi juga dibebaskan,” tutup Marsel.
Sementara itu, hingga berita ini diturunkan Aven dan Fill belum berhasil dikonfirmasi. (Adrianus Aba/VoN)