Ende, Vox NTT-Potret kemiskinan kali ini terekam di pusat kota Ende, Kelurahan Mautapaga, Kecamatan Ende Tengah, Kabupaten Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. Kota yang kerap disebut “Kota Pancasila” dan “Kota Pelajar” justru melintas pemandangan yang miris.
Adalah Karantina Nela (52), warga asal Saga-Aesira harus mendekap pada gubuk yang sudah reyot. Berukuran 4×6 meter, dinding pelupuh dan atap seng karat berlubang janda ini berharap.
Sebuah gubuk reyot itu terpampang di balik gedung putih para pejabat. Ia dan anak-anaknya hanya berpasrah dari orang yang memberi sedekah.
Ibu yang sudah berusia setengah abad lebih ini harus menerima penderitaan di persimpangan Jalan Nenas persis di belakang Kantor Bupati Ende. Keadaan rumah sungguh memprihatinkan.
Kondisi ini tak membuat Katarina berhenti mencari nafkah. Selain berkebun di pusat kota, pendapatan yang ia peroleh hanya dengan hasil penjualan bensin.
“Kalau makan, kami sering makan ubi setiap hari. Untuk biaya sekolah saya tabung uang dari hasil minyak (bensin, red),”katanya
Sebagai tulang punggung keluarga Katarina menjalani kurang lebih 10 tahun terakhir. Ia tak putus asa untuk mengais nafkah demi kehidupan ia dan anak-anak.
Ibu yang ditinggalkan suaminya ini tidak berbuat banyak dengan keadaan yang ia alami. Saat ini, ia hanya memelihara anaknya Enjelina Pili (12) yang saat ini sedang duduk di bangku sekolah menengah.
Sementara putra semata wayangnya, Herlisius Minggu sudah berkeluarga dan memilih hidup sendiri.
“Hasil bensin untuk tabung anak sekolah. Ya, saya bisa usaha sampai SMA,”katanya berharap Enjelina mampu memperbaiki kehidupan keluarganya.
Ditemui VoxNtt.com, Katarina menceritakan kehidupan keluarganya sejak tahun 1971. Ia mengaku hanya bertahan hidup di atas tanah milik Haji Nono.
“Dulu bapak saya menjaga kebun kelapa pak Haji Nono. Kami diminta tinggal di sini sampai sekarang,”ujar Katarina hingga lanjut menceritakan riwayat kehidupan keluarganya.
Katarina mengaku tidak berbuat banyak untuk memperbaiki rumahnya. Sebab, ia hanya menumpang di tanah milik orang lain.
Ia mengaku sudah ada sumbangsih dari orang-orang peduli padanya. Selain makan, sumbangan juga berupa seng. Namun, ia meragukan karena belum ada persetujuan dari pemilik tanah untuk membedah rumah.
“Ya, pegawai pernah sumbang. Tapi makanan dan sumbang lain,”kata Katarina menutup perbincangan. (Ian Bala/AA/VoN)