Oleh: Alfred Tuname
Pernyataan Jenderal Polisi Tito Karnavian (VoxNtt.com, 12/10/2017) tentang polisi tidak boleh berpolitik praktis menunjukan sikap ksatria putra bhayangkara.
Sikap kesatria itu bermakna sebagai netralitas polisi dalam politik.
Sebagai Kapolri, Jenderal Tito Karnavian memberikan teladan yang baik.
Teladan ‘ing ngarsa sung tuladha” ia tunjukan kepada masyarakat Indonesia.
Tito Karnavian mengedepankan profesionlitas polisi dan kebenaran hukum dalam menyikapi berbagai soal.
Tito Karnavian tidak pernah “berteman” dengan polisi yang politisi.
Ia tidak dekat dengan polisi yang melakukan pungli, pemerasan dan pelaku kekerasan terhadap rakyat. Jika ada polisi “busuk” yang mengaku berteman dan “dekat” dengan Sang Jenderal, maka ia sedang melakukan pembusukan terhadap institusi polisi itu sendiri.
Seperti Sokrates (pada ungkapannya: amicus Plato, sed magis amica veritas), Jenderal Tito Karnavian adalah pemimpin polisi tetapi lebih berteman dengan kebenaran.
Karena itu, setiap polisi yang tidak profesional dan pemeras (peras kontraktor, kepala dinas, pengusaha, pungli) dan pelaku kekerasan pasti mendapat hukum yang setimpal.
Begitu juga “polisi yang politisi” harus “diusir” dari kesatuan kepolisian agar tidak menjadi benalu politik pada tubuh institusi.
Dasarnya, intitusi kepolisian tetap menghargai bakat, kemampuan dan pilihan sesorang anggota polisi.
Tetapi jika itu tidak sesuai dengan undang-undang, maka ia harus keluar dari kesatuan kepolisian.
Briptu Norman Kamaru “Chaiyya-Chaiyya” dipecat dari kesatuan Brimob karena ia lebih memilih jadi celebritas. Begitu juga seharusnya seorang polisi yang berhasrat jadi politisi (“polisi yang politisi”) harus mengundurkan diri, kalau bukan dipecat.
Undang-Undang No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Indonesia menyebutkan “Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis” (pasal 28 ayat 1).
Seorang anggota polisi tidak memiliki hak pilih dan dipilih dalam berpolitik (ayat 2).
Fundamen hukum itulah yang mengatur setiap gelagat dan gerak-gerik polisi dalam kaitannya dengan politik praktis.
Jenderal Tito Karnavian menggunakan dasar Undang-Undang No 2 Tahun 2002 tersebut untuk melarang anggota polisi berpolitik, termasuk dalam ikut berkompetisi dalam Pilkada 2018.
Seorang polisi mesti mengundurkan diri sedini mungkin apabila ingin ikut dalam kontestasi politik Pilkada.
Secara sosiologis, seorang polisi yang hendak jadi kandidat (calon bupati/wakil bupati, gubernur/wakil gubernur) tetapi belum mengundurkan diri jadi jabatan kepolisian di musim tahapan Pilkada, ia dianggap tidak berjiwa kesatria (tidak bermental kraeng, dalam bahasa Mangarai) atau “banci politik”; secara politik, ia telah melanggar hukum dan sumpahnya sendiri (bdk. pasal 23 UU No 2 Tahun 2002).
Seorang polisi melanggar sumpah karena ia lebih menjunjung tinggi ego kekuasaan dan mengutamakan ketamakan politik-nya sendiri.
Secara institusional, polisi yang tidak mengudurkan diri dari keterlibatannya dalam politik praktis Pilkada, cenderung menggunakan segenap perangkat kepolisian demi kepentingan politik.
Abuse of power atau penyalahgunaan wewenang dilakukan secara tersirat, mengingat sentralisasi kebijakan/perintah (sistem komando) pada institusi kepolisian sangat kental.
Abuse of power itu sangat terasa manakala kekuataan insititusi dimanfaatkan untuk mendapatkan pengaruh, popularitas dan dana politik. “Polisi yang politisi” itu bisa saja menggunakan aparat dari tingkat Polda (provinsi) atau Polres (kabupaten) sampai ke Polisi Desa sebagai “tim kampanye” politik.
Mereka (Polantas, Brimob, Polisi Reserse, Intel, dll) dimanfaatkan untuk menyebarkan kekuataan politik dan memasang alat peraga kampanye “polisi yang politisi” tersebut.
Selain itu, berbagai persoalan hukum yang pernah dilupakan sengaja diangkat kembali, tentu pertimbangannya ada nilai uang pada setiap kasus.
Maka tidaklah heran, banyak persoalan akan muncul di suatu daerah apabila kepala polisinya terlibat dalam urusan politik praktis.
Dalam keterlibatannya dengan politik praktis, tak ada seorang polisi kaya yang mamiliki dana politik.
Yang ada hanyalah polisi rekening gendut yang memanfaatkan segenap kekuatan, cara dan wewenang untuk mengumpulkan dana politik. Praktik korupsi itu akan muncul bila polisi yang politisi itu tidak mengundurkan diri.
Seperti tesis klasik Lord Acton, “…absolute power tends to corrupt absolutely”.
Sentralisme komando kepolisian akan cenderung melahirkan tindakan koruptif bila polisi yang ikut berkompetisi dalam Pilkada tidak mengundurkan diri.
Karena itulah Jenderal Tito Karnavian memerintah agar polisi yang ikut berkompetisi dalam Pilkada 2018 mesti mengundurkan diri.
Selain karena perintah undang-undang, instruksi pengunduran diri itu bertujuan untuk menyelamatkan Institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia dari citra buruk atau dalam bahasa sastrawan Ingris Clive Staples Lewis, “simbol for hell”.
Tito Karnavian sedang berusaha membangun citra Kepolisian Negara Republik Indonesia yang besih, profesional dan netral.
Oleh karena itu, citra yang sedang dibangun itu tidak boleh dirubuhkan oleh sikap arogansi dan egoisme politik para “polisi yang politisi”.
Dalam kehidupan politik tanah air, polisi bertugas menjaga keamanan dan ketertiban serta menegakkan hukum.
Tujuannya agar setiap warga negara dapat melaksanakan hak politiknya secara baik dan benar.
Tidak dibenarkan apabila polisi justru terlibat dalam membuat onar dan menyebarkan isu-isu politik yang menguntungkan pihak-pihak tertentu atau sang polisi yang politisi tersebut.
Oleh karena itu, publik berharap Kapolri Jenderal Tito Karnavian konsisten dengan penyataannya dan undang-undang. Harapan publik tersebut merupakan, mengutip Steven Magee, “…the common peoples duty to police the police”.
Artinya, ia mesti memastikan bahwa dalam tahapan Pilkada saat ini tidak ada kandidat yang masih berstatus polisi, tidak ada polisi yang politisi.
Mengutip Kabareskrim Komjen Ari Dono Sukmato, “kalau mau maju (mencalonkan diri) harus mundur” (jawapos.com, 14/10/2017).
Netralitas polisi dalam politik tidak hanya berhenti pada perintah, tetapi buatlah perintah itu jadi nyata.
Apabila ada polisi yang membangkang, ia harus ditendang. Satu lagi, polisi aktif yang sudah mengikuti tahapan Pilkada (pendafataran calon, kampanye politik, dll) harus mendaparkan sanksi hukum yang tegas.
Mari kita ingat kata Malcom X, “you’re not to be so blind with patriotism that you can’t face reality. Wrong is wrong, no matter who does it or says it”.
Polisi Negara Republik Indonesia tentu memiliki loyalitas pada kesatuan (:union fait la force), tetapi semangat korps itu mesti berlandaskan pada kebenaran, undangan-undang dan kepentingan bangsa.
Siapa pun yang salah mesti ditindak tegas, apalagi bila itu berasal dari tubuh Polri itu sendiri.
Alfred Tuname adalah Penulis dan Esais