Oleh: Ryan Agung*
Pada tanggal 9 Oktober 2017 kemarin, Presiden Jokowi meminta jajaran Kepolisian memetakan potensi kerawanan konflik menjelang pemilihan kepala daerah 2018. Menurut Jokowi, pemetaan kerawanan konflik ini sebagai bentuk kesiapan dalam menjaga stabilitas politik pada pilkada 2018 dan pemilihan umum 2019 ( Tempo, 9/10/2017).
Awasan Presiden Jokowi ini tentu berlandaskan kenyataan politik akhir-akhir ini yang semakin memprihatinkan. Salah satu kenyataan politik “pahit” yang paling santer sekarang adalah penyebaran berita bohong ( hoax) yang meresahkan dan memicu konflik di tengah-tengah masyarkat.
Pengungkapan kelompok Saracen oleh Tim Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskim beberapa waktu lalu telah membenarkan bagaimana hoax diproduksi secara sistematis untuk kepentingan yang parsial dan pragmatis.
Kelompok Saracen ini diduga mempunyai ratusan akun di media sosial facebook. Cara kerja sindikat ini adalah memproduksi konten-konten hoax dan narasi kebencian lalu disebarkan di media sosial. Saracean juga mengajukan proposal kepada pihak-pihak tertentu sebagai imbalan atas produksi dan penyebaran konten hoax dan narasi kebencian tersebut (Jurnalintelijen.net).
Mejelang pilkada, hoax bukan tidak mungkin digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan politik. Teror dan fitnah akan diproduksi sedemikian rupa untuk menimbulkan ketakutan pada lawan politk.
Kisah politisi migran dari partai Hijau di Jerman, Ozcan Multu, yang sering mendapat kebencian dan teror dari kelompok Neonasi dan kelompok nasionalis Turki yang secara vulgar disampaikan lewat akun media sosialnya menjadi awasan bagi kita bagaimana hoax diproduksi oleh kekuatan politik tertentu secara terang-terangan untuk melanggengkan kekuasaan kolega dan kelompok dengan menyingkirkan orang lain yang berbeda aliran politik ras suku dan agama .
Hoax adalah bentuk antiapti terhadap lawan politik yang berujung pada Chararter Assassination. Kenyataan ini pula yang akan menghancurkan proyek demokrasi yang mengusung ide-ide jaminan kebebasan, toleransi dan akal budi.
Pesta pilkada sebagai bagian penting demokrasi yang didominasi oleh mutan politis akan mengalami kegagalan total jika politisi kita membuka ruang dan turut menjadi pelaku dari penyebaran hoaks ini. Pilkada bukanya menjadi roh pembebas yang mendatangkan kesejahteraan di tengah-tengah masyarakat, melainkan justru menjadi api penyulut yang menciptakan konflik antara kelompok, aliran politik, suku agama dan ras.
Pilkada tidak lagi menjadi pertarungan ide dan gagasan untuk pembangunan yang utuh dan berkemanusiaan, pilkada sebaliknya menjadi pertarungan amarah, kebencian dan teror yang berujung pada perpecahan.
Pada bagian lain, fenomena hoax dalam pilkada akan menjadi kekuatan tunggal yang menghilangkan nalar kritis konstituen berhadapan dengan sejumlah pilihan politik yang ditawarkan sejumlah kandidat. Dengan masifnya memproduksi informasi-informasi yang tidak akurat ke ruang publik, hoax seketika mengubah persepsi masyarakat untuk menerima suatu kebenaran yang palsu.
Di tengah melemahnya daya kritis masyarakat, kebenaran palsu ini diterima begitu saja dan selanjutnya dijadikan sumber rujukan untuk menentukan pilihan politik. Bergerak dari proses kegamangan ini proses penyebaran hoax terus digalangkan. Di dalam proses itu, tak jarang proses perekrutan penyebar hoax yang baru pun dilakukan.
Perekrutan tersebut terfokus pada beberapa kelompok orang mulai dari menawarkan diri secara sukarela sampai pada proses pemaksaan. Perekrutan yang dilakukan secara paksa lebih sering difokuskan kepada kelompok masyarkat yang paling rentan seperti kaum muda.
Orang yang tidak memiliki basis dukungan kuat di tengah-tengah masyarakat untuk meraih tampuk kekuasaan lewat pilkada rentan menjadikan hoax sebagai alternatif strategis guna mendulang suara pemilih di saat metode dan mekanisme lain tidak berterima di ruang publik.
Hoax bisa menyulap track record seseorang dari yang dari semula berkarakter diktator, fanatik dan eklusif menjadi toleran, pencinta damai dan inklusif. Di hadapan kandidat yang gencar melakukan politik pencitraan hoax menjadi sarana yang murah dan terjangkau sebagai medium kampanye.
Independensi Media
Reformasi tahun 1998 merupakan awal kebangkitan media massa di tanah air. Sebelumnya, media sangat terbatas dan dikendalikan sepenuhya oleh rezim kekuasaan. Di alam reformasi hingga sekarang media mengalami perkembangan yang sangat luar biasa dan setiap orang bebas untuk mengakses media- media tersebut.
Namun satu pertanyaan tetap muncul apakah media sekarang tetap konsisten dan fokus menyuplai berita ke publik sesuai fakta atau hanya melayani kepentingan politik pihak-pihak tertentu? Pertanyaan ini penting mengingat hoax sebagai pesanan politik seringkali menjadikan media masa, baik cetak maupun media online sebagai satu-satunya sarana yang terjangkau dan strategis untuk mempublikasi kebohongan-kebohongan tersebut.
Menjawab pertanyaan tersebut maka penting untuk media tetap berpegang teguh pada etika jurnalisme yang menekankan independensi dan proposionalitas dalam setiap pemberitaan.
Media harus bisa mengambil jarak untuk tidak berafiliasi dan bersengkongkol dengan satu kekuatan tertentu seperti partai politik. Sebab pada saat media menjadi bagian dari satu kekuatan tertentu baik partai politik maupun agama, suku dan ras maka dengan sendirinya media akan menyimpang dari tugas pokoknya sebagai pengontrol proses perjalanan demokrasi dalam satu Negara dan pada saat bersamaan media menjadi pembunuh yang menghancurkan kelompok lain.
Karena itu, perkembangan media yang semakin pesat hari ini harus disertai dengan tata kelola yang profesioanal sehingga tidak menjadi sarang dari berbagai jenis dan bentuk hoax.
Di hadapan pilkada mendatang, media massa harus tetap menjadi pengawal yang memastikan seluruh proses pelaksanaan pilkada berjalan dengan lancar. Media massa harus fokus pada upaya mencerdaskan masyarakat dengan isi pemberitaan yang edukatif dan inspiratif.
Melalui media pula Pendidikan politik dan demokrasi yang berperikemanusiaan harus terus dipublikasikan ke ruang publik, sehingga masyarakat memiliki kesadaran kritis dalam menagkal fenomena hoax menjelang pilkada.
*Penulis adalah Mahasiswa Hukum di Universitas Esa Unggul