Kupang,Vox NTT- Konflik di tubuh Universitas PGRI NTT antara kubu Sulaiman Radja dan Samuael Haning tak kunjung usai.
Pasalnya, walaupun kedua kubu yang berseteru merasa tidak ada lagi persoalan karena telah mendirikan lembaga perguruan tingginya masing-masing, namun tidak demikian dengan mahasiswa.
Banyak mahasiswa yang hari ini nasibnya terkatung-katung karena ijazah yang dikantonginya dianggap tidak sah alias palsu.
Koordinator Umum Forum Mahasiswa Universitas (FMU) PGRI NTT Petrus Tansus Dedi saat menghubungi Voxntt.com melalui pesan WhatsApp dari Jakarta, Senin (7/11/2017) kemarin, mengatakan, selama terjadi dualisme, terdapat 4.000 mahasiswa yang diwisudakan.
Empat kali wisuda ini, oleh kubu Sam Haning pada 2 Mei dan 11 September 2015 dan oleh kubu Sulaiman Raja pada 25 September 2015 dan 14 Februari 2016. Namun menurutnya, sampai saat ini keabsahan ijazahnya diragukan.
“Ijazah mereka diragukan keabsahannya akibat diwisudakan pada saat PDPT universitas pembinaan, nonaktif, akreditasi program studi kadaluarsa, dan juga akibat gelar Doktor palsu yang dibubuhkan Samuael Haning pada Ijazah alumni,” ungkap Dedi.
Selain ijazah yang diragukan, perseteruan kedua kubu ini berbuntut pencabutan izin Universitas melalui SK Mendikbud : 89/D/O/1999, tgl 31 Mei 2017, yang tentu saja sangat merugikan seluruh mahasiswa.
Tak hanya mencabut izin PGRI, pada hari dan tanggal yang sama Menristek Dikti mengeluarkan izin baru dengan badan penyelenggara pendidikan yang baru untuk kedua kubu di PGRI.
Kedua Perguruan Tinggi yang didirikan itu yakni, Universitas Persatuan Guru 45 versi kubu Sam Haning dan Universitas Aryasatya Deo Muri versi kubu Sulaiman Raja.
Bunyi SK Multitafsir
Kendati demikian SK yang dikeluarkan itu kata Dedi menimbulkan multitafsir di kalangan mahasiswa dan masyarakat umumnya.
bagaimana tidak, dalam SK pencabutan izin, Diktum kedua huruf d berbunyi “Mengalihkan mahasiswa pada program studi sebagaimana dimaksud dalam Diktum kesatu ke Perguruan Tinggi lain, yang memiliki program studi dalam rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi yang sama, dan melaporkan kepada Mentri melalui koordinasi perguruan Tinggi Swasta di Wilayah setempat”.
Sementara dalam SK pendirian dua Universitas baru khusus Diktum ketujuh hurub b berbunyi “data akademik, mahasiswa, dan lulusan Universitas PGRI NTT sebagaimana dimaksud pada huruf a, dicacatkan pada pangkalan data pendidikan tinggi Aryasatya Deo Muri, setelah memperoleh persetujuan Kementrian Riset, Teknologi dan pendidikan tinggi”.
Menurut Dedi, bunyi SK Menristek Dikti pada SK pencabutan dan mendirikan menimbulkan multitafsir, karena tidak dijelaskan nama pendidikan tinggi yang menjadi lokus peralihan mahasiswa Eks Universitas PGRI NTT, dan hanya menjelaskan dicacatkan pada pangkalan Data Pendidikan Tinggi baru.
“Mentri sangat tidak tegas dalam memberikan keputusan dan membiarkan bola api Universitas PGRI NTT terus bergulir. Keptusan itu juga terkesan hanya mengakomodir kepentingan dua pihak yang bersengketa sementara ribuan mahasiswa menjadi korban,” katanya.
Dia (Dedi) menambahkan, pasca pencabutan izin, kedua belah pihak yang bertikai saling mengklaim asset-aset PGRI NTT, mahasiswa pun diperebutkan, dosen, dan pegawai turut menjadi korban.
Ada yang memilih berhenti berkarir, sehingga ada kekosongan pimpinan di tingkat Fakultas dan program studi pada Universitas baru itu.
sungguh sebuah kecelakaan besar yang menimpa dunia pendidikan di NTT dan juga Indonesia.
“ Kemenristek Dikti terlihat bekerja sama dengan pelaku usaha di lingkup pendidikan Tinggi. Sebab, menteri hanya mengikuti kemauan dua orang yang telah gagal dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi untuk mendirikan pendidikan tinggi baru, tanpa memperhatikan nasib belasan ribu mahasiswa dan alumni Universitas PGRI NTT,” cetusnya.
Lanjut Dedi, Paska dikeluarkannya dua SK Menristek Dikti ini, muncul lagi pihak ketiga yaitu LSM, Lembaga Pemantau Pengawas Triaspolitika (LP2TRI) di bawah pimpinan Hendrikus Djawa yang mengangkat dirinya sendiri sebagai Ketua Yayasan Pembina Lembaga Pendidikan Tinggi PGRI NTT, dan langsung mewisudakan 129 orang mahasiswa Universitas PGRI NTT tanpa ada aturan hukum yang jalas, dengan dalil bahwa Universitas PGRI NTT masih aktif.
“Kami menyanyangkan munculnya Pihak ketiga yaitu LP2TRI yang secara tiba-tiba mendeklarasikan dirinya sebagai Ketua Yayasan Pembina Lembaga Pendidikan Tinggi PGRI NTT, lalu kemudian mewisudakan 129 Mahasiswa tanpa pendasaran Hukum yang jelas. Jujur, Kami Marah dan kecewa dengan kondisi yang semakin ngawur ini,” kesal Dedi.
Dia juga mengecam sikap Gubernur NTT yang tidak peduli dengan kondisi belasan ribu mahasiswa, yang menjadi korban akibat polemik PGRI NTT yang bekepanjangan.
“Tak terbayang rusaknya pelaksanaan pendidikan di NTT. Dan ironisnya Gubernur NTT, Frans Lebu Raya hanya melihat dengan pasif tanpa mampu mengurus wilayahnya sebagai mana fungsinya sebagai Pembina Pendidikan Tinggi Swasta se-NTT,” ungkap Dedi.
Dalam press release yang diterima VoxNtt.com, diceritakan saat ini mereka sedang berada di Jakarta untuk bertemu dengan Presiden guna melaporkan kasus yang menimpa belasan ribu mahasiswa tersebut.
Kepada media ini mereka (FMU) membeberkan beberapa point pernyataan sikap, di antaranya:
- Segera mengalihkan Mahasiswa Universitas PGRI NTT ke Universitas yang sudah ada rekam jejak akademik, bukan universitas yang baru didirikan di tahun 2017.
- Menolak dan tidak mau masuk ke kedua Universitas Baru
- Mengecam Keputusan Menristek Dikti yang memberikan ijin Universitas kepada mantan Doktor palsu dan orang yang telah gagal serta mencederai ranah pendidikan tinggi di NTT.
- Segera mencabut izin kedua Universitas baru itu, sebelum bertambahnya korban pendidikan tinggi di NTT.
Penulis : Tarsi Salmon
Editor : Boni Jehadin