Judul Buku: Jejak Langkah
Pengarang: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Lantera Dipantara
Tahun Terbit: 2006
Tebal: 724 halaman
Editor: Astuti Ananta Toer
ISBN: 979-97132-5-9
Sinopsis Roman Jejak Langkah Karya Pramoedya Ananta Toer
Oleh: Defri Ngo
(Pegiat pada Komunitas Sastra Kotak Sampah (SKS). Saat ini tinggal di rumah Novisiat SVD St. Yoseph Nenuk)
Jejak Langkah merupakan buku ketiga dari Tetralogi Buru yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer ketika masih mendekam di kamp pengungisan Buru.
Bukunya yang pertama dan kedua berjudul Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa. Sedangkan bukunya yang keempat berjudul Rumah Kaca.
Keseluruhan Tetralogi Buru yang ditulis Pram mengambil latar belakang sejarah kebangunan dan kebangsaan Indonesia pada awal abad ke-20.
Dalam Jejak Langkah, Pram menulis tentang “Si Minke” ( julukan yang diberikan oleh seorang guru berkebangsaan Belanda ) dan mempunyai arti serupa dengan monkey atau monyet (lihat dalam Bumi Manusia).
Minke adalah tokoh utama yang pada Jejak Langkah telah bermanuver ke suatu babak perjuangan yang lebih tinggi untuk mengusir kedudukan kolonial (red: Belanda ) dari bumi Indonesia.
Caranya ini ditempuh dengan menggunakan jalur jurnalisme, yakni menerbitkan sebanyak mungkin surat kabar yang menyuarakan nurani rakyat yang ditindas pemerintah kolonial.
Salah satu surat kabarnya yang terkenal adalah Medan Prijaji. Ia memobilisasi pergerakan ini dengan berseru-seru kepada rakyat perihal tiga misi utama, yakni: meningkatkan boikat, berorganisasi dan menghapuskan kebudayaan feodalistik.
Tak ayal, tindakan Minke ini mendapat banyak teguran, kritikan dan berujung pada penangkapannya oleh pemerintah (gubermen) daerah setempat dan para petinggi yang berkuasa kala itu. Namun demikian, Minke tidak menghentikan kegiatannya.
Malah ia mempunyai keberanian yang semakin besar dengan berbagai pemikiran yang “mengganggu” keberadaan kolonial. Dengan semangat humanis-patriotis yang membara, Minke tetap tegas untuk melanjutkan kegiatannya. Kali ini, ia mulai membentuk berbagai badan organisasi yang dianggapnya mampu bersinergi mengusir kedudukan kolonial.
Baginya, “ organisasi adalah wadah bagi orang-orang yang sama kepentingannya untuk mempersatukan diri dan kepentingan bersama.”( hlm. 546 ) Pada tataran ini, Minke percaya bahwa organisasi sebagai sebuah wadah persatuan (perkumpulan) mempunyai kekuatan yang besar untuk mengusir kedudukan kolonial.
Dua organisasi yang pernah dijalankannya adalah Boedy Oetomo (BO) dan Syarikat Dagang Islam (SDI). Eksistensi BO dan SDI sendiri mendapat banyak dukungan dari rakyat, namun serempak pula timbul kritik dari pemerintah, serta menyulut kegerangan dan emosionalitas kolonial.
BO pernah terancam diberhentikan karena dianggap hanya menguntungkan gologan priyayi. Begitupun dengan SDI yang dipersepsi menghilangkan nasionalisme dan hanya menguntungkan para pedagang Islam. Hal ini seperti dikatakan Douweger, seorang berkebangsaan Belanda yang pada suatu hari datang menemui Minke.
” Tapi, nasionalisme tidak bisa berlandaskan agama. Agama itu universal. Nasionalisme untuk bangsa sendiri, garis terhadap bangsa-bangsa lain,” demikian Douweger mengomentari (hlm.539-540).
Pun demikian, meski dirundung berbagai cobaan dan tantangan, Minke sang mobilisator berjiwa humanis-patriotis tak kehabisan akal. Ia terus berjuang dengan penuh kegigihan untuk mempertahankan berdirinya organisasi-organisasi tersebut.
Melaui jurnalisme, ia berseru-seru, “Didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah pemerintah dengan perlawanan” (hlm. x).
Dengan ini, organisasi-organisasi tersebut berkembang dan berdampak besar bagi tatanan hidup berbangsa. Disana-sini sudah mulai didirikan Sekolah yang berdampak pada kemajuan sumber daya manusia rakyat Indoesia.
Sementara itu, pemerintah kolonial perlahan-lahan takhluk dan meninggalkan Indonesia. Si Minke (monkey) itu berhasil melepaskan bangsa Indonesia dari cangkang penjajahan kolonial.
Kelebihan Roman Jejak Langkah
Jejak Langkah sebagai roman ketiga dari Tetralogi Buru adalah khazanah kesusastraan yang pernah dimiliki oleh Indonesia. Pram dengan begitu lincah menyajikan cerita yang sistematis-koheren. Setiap baris cerita mengalir sedemikian pasti sehingga pembaca seolah-olah dibawah kembali kesuatu zaman-sejarah yang pelik dan menakutkan. Zaman dimana setiap orang dipaksa untuk tunduk dibawah kekuasaan kolonial.
Di samping itu, Jejak Langkah mengandung komprehensifisme dan kepadatan isi cerita. Ini menjadi bobot yang besar dan patut diapresiasi.
Sebagai penulis, Pram tidak membiarkan dirinya berdiri hanya sebagai penutur fiktif belaka seperti kebanyakan novelis zaman ini.
Ia justru memilih masuk ke dalam suatu ruangan sejarah yang miris dan membangkitkan daya refleksi pembaca untuk terlibat dalam pergulatan emosionalitas yang humanis-patriotis sebagaimana yang diperjuangkan oleh si Minke.
Karena itu, roman ini tidak sekedar sebuah bacaan sejarah belaka, tetapi menjadi sebuah refleksi dan refrensi untuk para pembaca agar terlibat dalam pergerakan ‘ mengusir keberadaan kolonial.’
Komprehensifisme dan kepadatan isi cerita dalam Jejak Langkah menjadi senjata dan kekuatan utama roman ini. Tidak cukup sampai disitu, Pram mempunyai gagasan dan ide cemerlang yang membangun dalam romannya. Gagasan dan ide ini dipadukan dengan ketelitian dan usaha pram menjaga kohesi setiap baris cerita.
Pram juga mempunyai trik yang lincah dalam menarik pembaca untuk tetap berkonsentrasi pada ceritanya yang beralur induktif itu. Trik ini antara lain dengan memasukan humoraria dan romantika muda “si Minke” yang mampu menghilangkan kejenuhan pembaca karena cerita yang dipenuhi dengan catatan sejarah dari kerajaan-kerajaan tertentu beserta waktu terjadinya peristiwa.
Sampai disini, maka dapat dikatakan bahwa Jejak Langkah adalah “ apa yang saat ini menjadi pembelajaran yang patut digeluti dan dihidupi oleh para penulis Indonesia. ”
Kekurangan Roman Jejak Langkah
Sebuah karya sastra ( puisi, roman, novel,dsb ) yang ditulis dan diterbitkan adalah suatu oalah cipta yang tidak terlepas dari kritik. Kritik sastra termasuk disiplin sastra (multi disiplin ), yakni proses menilai sebuah karya sastra ( puisi, roman novel,dsb ) dari berbagai sisi, seperti unsur instrinsik dan ekstrinsik cerita.
Dalam kaitannya dengan ini, beberapa hal utama yang menjadi ‘ luka ’ dalam roman Jejak Langkah antara lain,
Pertama, roman ini penuh dengan catatan sejarah dari kerajaan-kerajaan tertentu. Penyebutan waktu dengan kebanyakan tokoh yang terlibat dalam cerita dapat menciptakan kejenuhan tersendiri bagi para pembaca. Ini juga yang membuat roman ini menjadi sangat tebal dan menyulitkan para pembaca (pemula) dalam memahami isi cerita.
Kedua, Pram banyak kali menyebut istilah-istilah asing ( Belanda ) dan istilah-istilah lain dalam bahasa Jawa yang menimbulkan hilangnya pemahaman pembaca tentang maksud cerita. Mungkin, Pram bermaksud untuk membagikan pengetahuannya kepada pembaca, namun toh ini lebih menimbulkan terganggunya daya paham pembaca, khususnya bagi mereka yang tidak menguasai kedua jenis bahasa itu.
Ketiga, terdapat semacam suatu “disparitas” dalam roman Jejak Langkah. Ini disebabkan karena adanya pemojokan terhadap kekatholikan sebagai sebuah ajaran iman. Pram rupanya masih begitu kuat terpengaruh dengan asumsi bahwa catholics is europe.
Karena itu, sifat Katholik sebagai sebuah agama dipandang dan dipercayai sebagai manifestasi wajah eropa yang feodalistik-imperialistik, juga despotis-tirani. “Apakah ini benar? atau hanya sekedar luapan emosionalitas penulis terhadap bangsa Eropa?”
Saya berpikir, hal-hal semacam ini harus diperhatikan secara serius dalam sebuah cerita sastra agar tidak menimbulkan “disparitas” cerita, terlebih kenyamanan pembaca dalam mebaca dan memahami isi cerita.
Rekomendasi Cerita: “ Si Monkey,” Jurnalisme dan Organisasi yang Memerdekakan
Sebagaimana diungkapkan sebelumnya, Jejak Langkah adalah khazanah dalam kesusastraan Indonesia. Kehadiran Jejak Langkah menjadi ‘angin segar’ di tengah situasi persalinan sastra yang pelik dalam menggarap cerita-cerita sejarah. Pram, sebagai salah seorang penulis terkenal, tidak membiarkan penanya mengalir begitu saja.
Dengan sejumlah gagasan cemerlang ditambah sistematika yang sesuai dan komprehensifisme cerita membuat roman ini mempunyai kekuatan yang sanggup membungkam pembaca, sejenak berdecak kagum lalu mengacungkan jempol terhadapnya.
Pembaca akan terhenyak dengan perilaku “si Minke “ atau “si Monkey” ( julukan yang diberikan gurunya ), seorang pribumi yang dianggap rendah oleh kolonial, namun akhirnya mampu memulangkan anggapan itu dengan menunjukan diri sebagai pribadi yang berani dalam menyuarakan kebenaran. Ia menempuh jalan itu bukan dengan perlawanan bersenjata, tetapi menggunakan wadah jurnalisme. Hasilnya, terbentuk organisasi-organisasi yang sanggup memerdekakan rakyat dari cangkang kolonial.
Meski terdapat beberapa ‘luka’ dalam roman ini, sebagaimana disebutkan tadi, namun Jejak Langkah tetap kaya dalam gagasan dan kesatuan cerita serta sistematika yang rapi terjaga.
Karena itu, roman ini selayaknya dimiliki dan dibaca oleh semua orang yang berbangsa, terkhusus untuk orang Indonesia agar mengetahui situasi pergerakan awal kemerdekaan dan mengambil suatu langkah praktis seperti mempelajari jurnalisme secara benar dan membentuk oraganisasi-organisasi yang mampu mendukung kebaikan hidup bersama sebagai suatu bangsa.*