Oleh: Hancel Goru Dolu
Duel alot kuncinya terletak pada mental bertarung. Laga Liverpool vs Chelsea pagi dini hari tadi adalah salah satu buktinya. Kedua tim menampilkan permainan terbuka yang atraktif dan menghibur. Satu dua kali bola-bola pendek dipadu gaya khas Liga Inggris, dengan bola-bola panjang yang mengandalkan kecepatan para pemain. Kick n’ Rush!
Liverpool selaku tuan rumah tampak lebih percaya diri, terutama di babak pertama. Turun dengan formasi 4-3-3, skuad asuhan Jurgen Klopp itu tetap mengandalkan Mignolet di bawah mistar gawang. Di depannya ada kuartet Gomez, Matip, Klavan, dan Moreno. Di lini tengah Milner, Henderson, dan Coutinho bahu-membahu mengkreasi berbagai serangan. Menyokong trio cepat di lini depan: Salah, Sturridge, dan Oxlade-Chamberlain.
Penguasaan bola di babak pertama menjadi milik Liverpool. Salah, yang kini menjadi buah bibir karena permainan dan produktifitas golnya itu, seolah ingin membuktikan diri di hadapan klub yang pernah membuangnya. Ancaman-ancaman dari Liverpool hampir selalu bersumber dari kaki kirinya.
Meskipun begitu, Chelsea lebih efektif. Tim biru London itu kalah dalam ball-possesion, tapi lebih banyak memiliki peluang berbahaya. Morata yang dibiarkan sendirian di depan, sering membuat kombinasi apik dengan Hazard yang menyokong di belakangnya.
Pertarungan di lini tengah pun jadi milik London Biru. Sebab, sang arsitek tim, Antonio Conte, menempatkan lima pemain bertahan di situ: Zappacosta, Drinkwater, Kante, Bakayoko, dan Alonso. Membiarkan Cahill, Christensen, dan Azpilicueta di belakang menemani Courtois di bawah mistar gawang.
Skor 0-0 yang menutup babak pertama akhirnya pecah di menit ke-65. Salah berhasil menaklukkan Courtois, saat kemelut di muka gawang Chelsea. Gerakannya yang seolah tak ingin melakukan selebrasi, jadi sensasi tersendiri. Banyak orang mengira itu dilakukannya sebagai bentuk hormat pada bekas klubnya. Yang sebenarnya terjadi adalah, Salah turut berbela rasa dengan para korban teror bom di negerinya, Mesir.
Selepas gol dari top scorer sementara Liga Inggris musim ini, Liverpool makin percaya diri. Tepat setelah gol, Sturidge ditarik. Wijnaldum masuk. Pemain depan keluar, diganti pemain dengan tipe bertahan. Tuan rumah ingin lekas mengamankan kemenangan. Sekaligus ingin mengimbangi pertarungan di lini tengah.
Namun, di situlah titik pembedanya. Di tengah tekanan saat tertinggal, bermain di kandang lawan, dan tempo tinggi pertarungan; sebuah keputusan berani dibuat oleh Conte. Tiga pemain dengan tipe bertahan dikeluarkan, digantikan dengan tiga gelandang serang. Drinkwater, Bakayoko, dan Zappacosta digantikan Fabregas, Pedro Rodriguez, dan Willian. Butuh intuisi dan mental ekstra untuk melakukan ini.
Itulah yang terjadi pagi tadi. Waktu tersisa lima menit, sebuah tendangan chip pelan dari Willian mengecoh Mignolet. Skor pun imbang 1-1. Upaya Klopp memasukkan Lallana dan Mane untuk menggantikan Coutinho dan Oxlade-Chamberlain di ujung pertandingan pun tak lagi berarti. Willian, yang datang dari bangku cadangan itu, seolah ingin pula mengatakan bahwa keputusan Chelsea untuk mempertahankannya sembari melepas Salah dulu, bukanlah sebuah kesalahan.
Mungkin ada yang sepakat dengan Pangeran Siahaan, sang pemandu acara tayangan bola pagi tadi, yang mengatakan bahwa gol tersebut ada faktor lucky atau keberuntungan. Tapi, bukankah keberuntungan hanya menghampiri siapapun yang punya mental bertanding dan berani berjudi dengan intuisinya?!
*Penggemar sepakbola, tinggal di Turekisa.