“Untuk menemukan sesuatu, kamu perlu imajinasi yang baik dari tumpukkan sampah itu” demikian pernah diungkapkan Thomas Alfa Edison, Penemu dan pendiri General Electric dari Amerika Serikat yang hidup pada 1847-1931.
Redaksi, Vox NTT-Sampah dan manusia itu bagaikan dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan. Dimana ada komunitas manusia hampir pasti di situ ada sampah.
Bisa jadi apa yang disampaikan Thomas Alfa Edison itu benar. Untuk menemukan ‘sesuatu’, kita cukup mengecek isi tempat sampahnya.
Tugas mengecek tempat sampah itulah yang menjadi target perburuan wartawan VoxNtt.com hampir kurang lebih 1 bulan terakhir.
Bagi pembaca setia yang terus mengikuti update berita kami, berita tentang sampah dengan tampilan gambar yang cukup menjijikan, mungkin bukan menjadi sajian informasi yang diharapakan.
Sampah memang bukan sajian menarik. Namun menelisik apa di balik sampah itu ternyata cukup menggelitik. Apalagi menyangkut sampah di lingkungan birokrasi.
Sampah yang sering diproduksi oleh seseorang atau komunitas tertentu mengungkapkan seperti apa kebiasaan dan perilaku yang melekat dalam diri seseorang atau komunitas tersebut.
Persoalan sampah kemudian bukan hanya sekadar kebersihan semata. Bagi mereka yang peka, sampah adalah soal peradaban. Soal budaya yang telah lama tertanam dalam sistem birokrasi kita.
Lalu, sampah apakah yang sering diproduksi oleh beberapa birokrasi di NTT?
Penelusuran Vox NTT selama beberapa hari terakhir menemukan gambaran umum jenis sampah yang diproduksi beberapa birokrasi baik di Lingkungan Pemprov NTT, maupun di beberapa kabupaten/kota. Berikut hasilnya.
Dari sekian banyak sampah yang diproduksi, ternyata plastik meraih urutan pertama. Sampah jenis ini hampir ditemukan di semua instansi yang diamati.
Berikut botol minuman, puntung dan dos rokok, kertas, bungkusan makanan dan botol minuman. Selain itu terdapat beberapa temuan lain yang tidak biasa seperti botol bir dan pembalut wanita.
Perilaku birokrasi yang doyan memproduksi sampah ini selain tidak ramah lingkungan, ternyata juga bertentangan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) NTT point kelima yang tertera dalam Perda Nomor 1 tahun 2013.
“Dalam RPJMD NTT point ke 5 dalam Perda Nomor 1 tahun 2013 menekankan bahwa setiap instansi pemerintah wajib menurunkan emisi gas rumah kaca lewat pengurangan produksi sampah” kata staf WALHI NTT, Umbu Tamu saat konfirmasi Vox NTT, Kamis (07/12/2013) melalui pesan WhatsApp.
Menurut Walhi NTT, Pemerintah umumnya di Nusa Tenggara Timur belum sepenuhnya menaruh perhatian atas bahaya sampah terhadap perubahan iklim dan lingkungan umumnya.
“Paparan sampah di atas menunjukan bahwa lemahnya intervensi pimpinan dan tidak adanya standar operasional prosedur belanja birokrasi yang ramah lingkungan” ungkap Umbu.
Mengenai temuan bungkusan makanan, Umbu menuturkan beberapa waktu lalu ada diskusi paska kegiatan sidang AMDAL di dinas Lingkungan Hidup provinsi NTT. Saat itu, kata dia turut hadir beberapa instansi yang terkait di dalamnya.
“Kami sempat membahas sampah di berbagai instansi terutama atas belanja keperluan konsumsi yang doyan makanan dos. Seharusnya hasil pertemuan itu bisa lebih irit sampah semisal dengan cara prasmanan yang biasa dipakai orang saat nikah” ungkapnya.
Fakta ini, demikian Umbu Tamu, menegaskan bahwa komitmen ramah lingkungan pemerintah NTT yang sering terpampang dalam bentuk slogan ternyata hanya sampulnya saja. Ternyata, perilaku dan gaya hidup birokrat tidak menggambarkan komitmen itu.
“Bisa dibuktikan sendiri kalau pertemuan-pertemuan di dinas atau DPRD, pasti diberi makan di dos,” terang Umbu.
Gaya Hidup
Berbicara sampah birokrasi pada akhirnya menyentuh aspek gaya hidup para birokrat. Semua instansi yang menjadi sasaran pantauan kami dipastikan minim dalam hal kesadaran membuang sampah pada tempatnya.
Fakta bahwa sampah berceceran di lingkungan birokrasi menunjukan gaya hidup kaum birokrat yang masih jauh dari kata ‘bersih’.
“Realitas kotor birokrasi kita memang mendapatkan kepenuhan di sini. Secara simbolis, ini menjadi bukti bahwa birokrasi kita memang sulit dibersihkan. Kita memang kotor,” tegas Lasarus Jehamat, pengamat sosial-politik dari Universitas Nusa Cendana, Kupang.
Namun menurut dia, kata kotor yang dimaksud tidak hanya menyangkut kebersihan semata. Realitas minimnya manajemen sampah di lingkungan birokrasi patut dicurigai terkait dengan mentalitas korup para birokrat.
“Kotor berbirokrasi itu bisa dimaknai sebagai mentalitas korup sebab uang untuk kebersihan tidak tepat sasaran” ungkap Jehamat.
Fenomena ini juga mengerucut pada Gaya hidup sublimasif.
“Tahu ini kotor, tahu bahwa kantor dan rumah itu harus bersih tapi perilaku mereka masih saja membuang sampah sembarangan plus salah manfaatkan anggaran. Ini kan sublimatif. Gaya hidup kaum terjajah ini. Dijajah tapi menari-nari di atas keterjajahan itu” demikian Jehamat menambahkan.
Persoalan sampah memang terkesan sepelah. Namun di balik tempat sampah terungkap kebiasaan buruk yang turut berpengaruh dalam kualitas pelayanan birokrasi.
Jika urusan sampah saja kita masih jauh dari kata bersih, bagaimana mungkin bisa terwujud kualitas birokrasi yang bersih dan transparan. Pada titik ini, kaum birokrat perlu refleksi diri. Di balik sampah sampah-sampah itu ada cerminan diri dan kebiasaan buruk yang perlu dibenah.
Penulis: Irvan K