Kupang, Vox NTT-Pastor Vinsensius Darmin Mbula OFM, Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK) mengatakan, pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy terkait pendidikan di NTT sebaiknya direspon dengan kepala dingian, sambil berupaya mengambil hikmah di baliknya.
Pernyataan Menteri Muhadjir yang dipublikasi harian Jawa Pos baru-baru ini, di mana ia disebut mengatakan, ”Saya kuatir yang dijadikan sampel Indonesia adalah siswa-siswa dari NTT semua,” menulai beragam kecaman.
Pernyataan itu merupakan kritiknya terhadap hasil kajian Program for International Students Assessment (PISA), yang menempatkan kualitas pendidikan Indonesia di posisi bawah dari hampir 70 negara di dunia.
Di Bali, warga NTT meresponnya dengan aksi unjuk rasa, sementara di media sosial berkembang tuntutan untuk memecat menteri itu.
“Ketimbang menanggapinya dengan hati yang panas, menurut saya, penting untuk mencermati pernyataan itu dengan kepala dingin,” kata Pastor Darmin, Jumat, 8 Desember 2017.
Ia menjelaskan, pernyataan Mendikbud itu mesti ditempatkan dalam konteks kritiknya terhadap PISA, sebuah program yang digagas oleh the Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
Program itu, jelas dia, bertujuan melakukan evaluasi berupa tes dan kuisoner kepada siswa-siswi yang berumur 15 tahun atau kalau di Indonesia sekitar kelas IX atau X.
PISA dilakukan tiap tiga tahun sekali dan dimulai dari tahun 2000, di mana materi yang dievaluasi adalah sains, membaca, dan matematika.
“Program ini memang sudah banyak dikritik, yang selain dianggap membawa agenda terselubung negara-negara anggota OECD, juga hal lain adalah terkait metode penentuan atau pemilihan sampel dan bagaimana cara mereka menganalisis datanya,” katanya.
Dalam pernyataannya, kata Pastor Darmin, Mendikbud persis mengkritik yang sama.
Dalam PISA terakhir tahun 2015, berturut-turut rata-rata skor pencapaian siswa-siswi Indonesia untuk sains, membaca dan matematika berada di peringkat 62, 61, dan 63 dari 69 negara yang dievaluasi. Peringkat pertama PISA adalah Singapura.
“Dalam pernyataannya, Mendikbud sedang berupaya meragukan hasil kajian itu. Lantas, ia menyebut, jangan-jangan samplenya adalah dari NTT,” katanya.
Memilih menyebut NTT, menurut dia, tentu bisa dipahami, jika itu dibaca dalam kaitannya dengan data statistik tentang kualitas pendidikan di Indonesia.
Merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS), Indeks Pembangunan Manusia (IPM) untuk NTT, yang antara lain salah satu indikatornya terkait pendidikan, berada di urutan ke-32 dari total 34 provinsi atau hanya bisa mengungguli Provinsi Papua dan Papua Barat. Dengan angka 63,13, IPM NTT terpaut cukup jauh di bawah angka rata-rata nasional 70,18.
“Mengikuti alur pendapat Mendikbud dalam kritiknya terhadap PISA itu, kira-kira bisa disimpulkan demikian: skor PISA untuk Indonesia menjadi rendah, karena pemilihan sampel dari provinsi yang kualitas pendidikannya masih tergolong rendah, seperti NTT,” katanya.
Ia menyebut, kritik terhadap PISA itu juga pernah diungkapkan oleh banyak akademisi lain di dunia.
Profesor Joerg Blasius (2013) dari University of Bonn, Jerman, kata dia, misalnya pernah mengkritik cara pengambilan sample kajian itu, di mana PISA sendiri yang menentukan sekolah yang akan dijadikan sampel.
Namun, menurut temuan Joerg, pihak sekolah boleh mengajukan anak-anak yang sekiranya pintar dan tidak memilih anak-anak yang dianggap tidak akan bisa menjawab tes dengan baik dan benar.
“Kesimpulan Joerg, mudah untuk menaikkan rangking PISA, tak ada yang mengeceknya, tak ada yang melihatnya,” kata Pater Darmin.
Terkait reaksi keras sebagian warga NTT terhadap Mendikbud, kata dia, memang bisa dipahami, karena meski mengacu pada data-data statistik, kualitas pendidikan NTT menjadi salah satu yang terburuk secara nasional, namun, mesti diakui pula, bahwa dari NTT tidak sedikit orang-orang yang kemudian mengukir prestasi.
“Kita bisa menyebut banyak nama dari NTT yang justru berkibar di level nasional, bahkan dunia,” katanya.
Ia menambahkan, Persolan ini sebenarnya makin liar karena terjadi proses pemelintiran.
“Di media sosial bahkan berkembang informasi bahwa Mendikbud menyebut semua orang NTT itu bodoh. Padahal, faktanya, tidak ada pernyataan demikian,” katanya.
Berikutnya, kata dia, momen ini memang menjadi kesempatan yang baik untuk mendesak pemerintah agar lebih serius lagi memberi perhatian ke NTT.
“Dukungan pemerintah pusat, terutama Kemendikbud tentu sangatlah vital. Ini bukan berarti bahwa Kemendikbud tidak mengambil langkah serius untuk memperhatikan NTT,” katanya.
“Pengalaman kami di MNPK misalnya, ada komitmen nyata Kemendikbud untuk mendukung kegiatan-kegiatan pendampingan dan penguatan kapasitas guru-guru dan sekolah-sekolah di NTT,” lanjut dosen Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta ini.
Hal yang menurut dia juga jauh lebih penting adalah mengambil hikmah dari polemik ini untuk bersama-sama mengevaluasi diri.
“Meski ada semacam resistensi kolektif terhadap cap bahwa kualitas pendidikan NTT rendah, namun, kita mesti realistis juga untuk mengakui hal itu,” katanya.
Cap rendah kualitas, jelasnya, mesti dibaca sebagai pemacu semangat untuk mau berbenah, bahwa masih banyak persoalan yang butuh solusi bersama.
“Tentu saja, ini bukan hanya tugas Kemendikbud, tapi juga tugas pemerintah daerah, terutama di dinas-dinas pendidikan dan di level operasional adalah tugas kepala sekolah dan guru,” ungkpanya.
Pastor Darmin pun menyembut beberapa soal konkret.
“Yang pertama adalah soal terkait penunjukkan kepala sekolah, yang lebih banyak karena petimbangan menjadi tim sukses bupati saat Pilkada,” katanya.
Proses yang buruk itu bertambah parah, menurut dia, karena kemudian tidak ada perhatian serius terhadap upaya meningkatkan kompetensi mereka.
“Mendorong peningkatan kompetensi ini sejatinya tugas dinas pendidikan. Namun, menurut saya, mereka kerap gagap menjalankannya,” katanya.
Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan (Diklat) pun, katanya lebih banyak hanya untuk menghabiskan anggaran, tanpa kemudian berdampak langsung pada pembentukan mentalitas kepala sekolah dan guru agar memiliki jiwa melayani, yang matang secara intelektual, moral, sosial dan spiritual.
Belum lagi, menurut dia, para kepala sekolah lebih banyak sibuk urus rapat dan urus proyek.
Soal lain adalah terjadinya praktek-praktek penyalahgunaan dana Bantuan Operasiona Sekolah (BOS).
Ia juga menyoroti lemahnya kompetensi kepribadian, yakni tidak bisa mengendalikan diri demi sebuah nilai yang lebih tinggi.
“Saya menyebut salah satu ontoh konkret saja yang kerap saya jumpai. Banyak sekali guru-guru kita yang menggunakan uang gaji dan sertifikasi untuk menutupi bon rokok di toko atau kios. Mereka tidak berpikir untuk membeli buku-buku penunjang kompetensi pedagogik,” katanya.
Ia menjelaskan, ini hanya beberapa catatan agar kita semua, pihak yang bersentuhan dengan dunia pendidikan lebih mawas diri.
“Saya berprinsip, pernyataan Mendikbud itu mesti disikapi dengan kesadaran sebagai orang-orang terdidik, yang meninggalkan pilihan untuk lebih banyak menyerangnya, tetapi berupaya mengambil hikmah, mengevaluasi diri, demi bersama-sama mendorong perubahan wajah pendidikan NTT,” tegas imam Fransiskan asal Benteng Jawa, Manggarai Timur ini.
Penulis: Tarsi Salmon