Oleh: Inosentius Mansur *
Dalam demokrasi elektoral, kehadiran lembaga survei amat dibutuhkan. Dengannya, masyarakat bisa mengenal calon pemimpin yang “dikehendaki” secara demokrasi.
Berkaitan dengan itulah, saya mengapresiasi lembaga-lembaga survei yang mempublikasikan beberapa bakal calon pemimpin yang dianggap layak untuk memimpin NTT.
Namun demikian, rakyat mesti selalu kritis dan bila perlu “menantang” hasil survei itu, apakah representatif dan merujuk pada prinsip akademik ataukah tidak.
Tulisan ini sama sekali tidak menolak hasil survei sebagaimana dipublikasikan itu. Saya hanya ingin mengajak pembaca sekalian agar menyadari bahwa akhir-akhir ini lembaga survei kita acapkali menjadi “subordinasi” dari calon pemimpin/partai politik tertentu. Lembaga survei telah menjadi “aktor politik praktis” yang mendukung upaya politisasi ruang publik dan pada akhirnya mengorbankan akal sehat berdemokrasi.
Mencerdaskan
Harus disadari bahwa lembaga survei tidak hanya memiliki andil dalam menjaga martabat demokrasi, tetapi juga bertanggung jawab mencerdaskan rakyat secara politik.
Dikatakan demikian, karena rakyat menjadikan lembaga survei sebagai salah satu rujukan untuk menyelami rekam jejak dan pada akhirnya memberikan pilihan kepada figur tertentu. Tidak terbantahkan lagi bahwa lembaga survei mampu memobilisasi rasionalitas elektoral rakyat.
Karena itu, pegangan utama lembaga survei (mestinya) bukan hanya orientasi untuk mempublikasikan tingkat elektabilitas calon pemimpin, tetapi juga memastikan bahwa rakyat memiliki perspektif baru dan menjadi civil society yang otonom dalam berpolitik.
Konsekuensinya, lembaga survei mesti selalu memperhitungkan efek publik dari paparan survei mereka. Hal ini tidak berarti bahwa lembaga survei sama sekali menyingkirkan panduan dan etika dalam melakukan survei, apalagi mengabaikan rasionalitas dalam melakukan survei. Yang dimaksudkan di sini adalah jangan sampai lembaga survei justru memback-up calon tertentu.
Kita memang tidak bisa membuktikan secara pasti mana lembaga survei yang profesional dan mana yang abal-abal. Namun demikian, kita juga bisa melacak (mungkin juga memastikan) beberapa lembaga survei yang mempolitisasi hasil survei mereka demi memenangkan calon tertentu. Akibatnya, pertarungan menjelang hajataan demokrasi bukan hanya terjadi antara calon pemimpin, tetapi juga antara lembaga survei.
Maka tidak mengherankan jika sebagian publik menilai bahwa ada lembaga survei yang memang terintegrasi secara pragmatis dengan calon tertentu. Lembaga survei tidak lagi menjadi salah satu acuan dalam bernalar secara politik, sebab acapkali mempengaruhi publik agar memilih calon pemimpin tertentu.
Lembaga survei tidak lagi menjadi instrumen yang memungkinkan demokrasi berjalan efektif, tetapi malah menjadi alat politik dari calon/kelompok politik tertentu. Lembaga survei mengabaikan integritas dan terkapitalisasi oleh elemen-elemen parsial.
Aspek keterwakilan (representativeness) dan keilmiahan (scientificness) yang mestinya menjadi pegangan utama lembaga survei malah disusupi oleh elite-elite tertentu yang berusaha mendapatkan dukungan politik dari publik. Nalar ilmiah dan metode-metode argumentatif lembaga survei pun diabaikan.
Alhasil, ruang publik kita diwarnai oleh suguhan variatif (bahhkan amat signifikan) dari berbagai lembaga survei dan pada akhirnya membuat rakyat bingung: mana yang layak untuk menjadi pemimpin dan mana yang sebenarnya tidak layak, tetapi dipaksakan untuk menjadi layak karena diseting untuk mendapatkan dukungan publik.
Hal seperti ini tentu saja menyebabkan kehancuran nalar publik. Sebab wacana politik publik tidak lagi didasarkan pada cara dan tesis-tesis akademik argumentatif serta merujuk pada kecakapan dan integritas calon, tetapi terinstrumentalisasi oleh desain-desain para pelaku politik elektoral yang memburu kekuasaan semata.
Lembaga survei pun menjadi alat politik semata dan tidak berbeda dengan elite-elite politik yang mereduksi pentas elektoral kedalam kalkulasi pragmatis. Efek lanjutnya adalah diskursus politik elektoral publik digiring kepada calon tertentu sebagaimana yang diinginkan oleh lembaga survei dalam kerjasamanya dengan calon tersebut.
Apa yang mereka sampaikan bukan lagi merujuk pada kebenaran, tetapi berdasarkan pada klaim abal-abal yang seakan-akan benar. Hal ini tentu saja membawa dampak publik dimana wacana elektoral tidak lagi merujuk pada apa yang seharusnya dan apa yang benar, tetapi terfragmentasi dalam klaim-klaim yang seolah-olah benar.
Inilah yang oleh Rodgers (2017) dikatakan sebagai fenomena era post-truth dimana diskursus publik dikuasai oleh kontestasi klaim kebenaran dan bukan lagi berdasarkan apa yang oleh nalar publik diakui secara obyektif sebagai kebenaran.
Jika demikian, maka ruang demokrasi kita menjadi sirkus politik dimana para pelaku politik berhasil menjadikan lembaga survei sebagai pelakon utamannya. Diskursus politk elektoral pun tidak lagi berorientasi pada pencapaian kestabilan sosial politik dan pencerdasan publik, tetapi malah melahirkan instabilitas dan “memaksa” rakyat untuk mengikuti selera elite politik. Alih-alih mengarahkan rakyat untuk menjadi elemen otonom dalam berdemokrasi, hal seperti ini justru menyebabkan rakyat menjadi alat untuk mencapai kekuasaan politik semata.
Elemen Restoratif
Harus diakui bahwa kepentingan politik pragmatis telah mendegradasi esensi demokrasi elektoral kita. Dalam realitas seperti inilah, lembaga survei harus menjadi salah satu elemen yang melakukan restorasi terhadap praksis demokrasi elektoral yang telah dihancurkan itu.
Ya, martabat demokrasi kita akhir-akhir ini memang semakin stagnan, yang disebabkan oleh cara-cara apolitik dari elite publik sosial. Pilkada yang seharusnya menjadi momentum sakral karena memberikan otoritas kepada rakyat untuk memilih pemimpin mereka – oleh elite politik – justru dijadikan sebagai momentum untuk (hanya) mendapatkan kekuasaan.
Pilkada direduksi ke dalam paradigma parsial – pragmatis: mendapatkan jabatan semata. Alhasil, para elite politik melakukan berbagai cara “tidak halal” untuk meraih kekuasaan. Mereka berusaha menjebak rakyat agar memberikan legitimasi politik, tetapi tidak mengantisipasi ekses-ekses dekstruktif yang mungkin akan terjadi. Akibatnya, ruang publik kita kehilangan marwahnya dan dikapling-kapling oleh elite politik tertentu. Integritas politik pun hancur lebur.
Karena itu – sekali lagi – lembaga survei mesti mengembalikan harkat politik dan marwah demokrasi elektoral kita. Lembaga survei memang bukanlah elemen absolut dan matra niscaya dalam demokrasi elektoral. Namun, dengan mempresentasikan kepada publik tingkat elektabilitas setiap calon secara jujur dan apa adanya, maka secara tidak langsung lembaga survei membantu publik untuk fokus kepada beberapa calon itu: melihat jejak rekam dan menyelami visi-misi politik.
Lembaga survei tidak boleh terkooptase kepentingan politik dan secara masif memaparkan hasil survei tak rasional. Lembaga survei mesti independen dan berada di luar arena politik praktis. Ia harus membantu pubik agar mengelaborasi lebih jauh siapa calon pemimpin yang layak untuk diberikan kekuasaan.
Rujukan surveinya adalah kecakapan dan integritas. Lembaga survei tidak boleh berbisnis dengan menjadikan survei sebagai lahan mendapatkan keuntungan.
- Pemerhati sosial – politik dari Ritapiret, Maumere