Oleh: Alfred Tuname*
Menjadi warga negara yang baik adalah menjadi pemilih atau dipilih dalam proses demokrasi Pemilu. Syaratnya sudah berusia 17 tahun atau telah menikah. Dengan syarat itu, semua warga negara diperoleh memilih dan dipilih.
Dengan bekal KTP/e-KTP, setiap warga negara berhak memilih calon pemimpin yang diidamkan. Dengan persyaratan yang rumit, sosiologis, ekonomi, psikologis dan politis, seseorang boleh mencalonkan diri. Seseorang bisa mencalonkan diri sebagai calon pemimpin, jika sudah siap memenuhi semua persyaratan itu. Niat saja tidak cukup.
Lebih penting lagi, seorang calon pemimpin harus sudah “selesai” dengan dirinya sendiri. Artinya, ambisi kekayaan dan kegranjingan berkuasa harus absen dalam diri seorang calon. Jika tidak, persoalan-persoalan politik akan selalu muncul bersamaan kerakusan. Di sini, tak ada lagi pemimpin, kecuali penguasa.
Masyarakat selalu tak sudi memilih penguasa. Yang dicari adalah pemimpin. Oleh sebab itu, pemilih selalu ingin mengetahui profil sang calon pemimpin. Pemilih selalu gemar mengetahui hal-hal privat sang calon pemimpin. Garis genealogis dan jejak pengalaman sang calon pemimpin berpengaruh signifikan pada perilaku pemilih.
Dalam banyak hal, perilaku pemilih sering juga pengaruhi oleh karakter sosial masyarakat dan budaya setempat. Perilaku pemilih masyarakat gemeinschaften berbeda dengan gesselschaften (istilah sosiolog Jerman, Ferdinand Tönnies). Ada perbedaan perilaku pemilih antara masyarakat agraris dan metropolis. Masyarakat agraris cenderung emosional dan sentimental. Sedangan masyarakat metropolis cenderung rasional.
Sejauh belum terjadi perubahan dalam proses pembangunan, karakter sosi0-politis terus terbelah secara dikotomis seperti itu: Gemeishaften dan Gesselschaften, agraris dan metropolis. Tipikal dan perilaku pemilih pun demikian. Agak susah membayangkan orang-orang desa memilih calon pemimpin yang mereka tidak kenal. Mereka lebih memilih orang yang mereka kenal atau berada dalam satu turunan genealogis.
Selain itu, sentimen daerah dan agama juga masuk dalam kalkulasi politik pada masyarakat Gemeinschaften. Tidaklah heran, isu-isu primordial menjadi bumbu politik yang paling manjur dalam racikan strategi kampanye. Jika racikannya pas, kemenangan bisa diraih. Jika terlampau pedas dan asin, maka gontokan sosial pasti terjadi.
Persisnya, hal-hal seperti itu tampak wajar-wajar saja. semua punya cara tersendiri untuk meraih kemenangan politik. Nyaris tak ada yang taboo dalam politik. Titik keseimbangan politik akan kembali ke posisi awal jika proses demokrasi elektoral selesai. Seperti rumus klasik politik, tak ada kawan dan lawan yang abadi dalam politik, kecuali kepentingan. Kepentingan dimaksudnya biasa saja demi banyak orang atau segelentir orang.
Pemilih pun selalu berhadapan dengan kepentingannya masing-masing dalam proses demokrasi elektoral tersebut. Ada yang sadar secara politik, ada pula yang sekadar ikut-ikutan. Ada yang bermotivasi rasional ekonomi, ada pula yang berambisi primordial dan sentimental. Semuanya mengapung dalam kubangan hak pilih dan dipilih.
Seorang teman Pemimpin Redaksi media online pernah berujar, “pemilih kita terlalu sok rasional”. Tesis itu muncul atas dasar observasi bahwa mayoritas perilaku pemilih di Indonesia, NTT khsusnya, adalah emosional, primordial dan sentimental. Garis genealogis yang rapat dan ikatan budaya yang kental membuat preferensi pemilih jatuh pada figur yang dekat dan akrab dengan pemilih itu sendiri. Sentimen agama dan daerah asal pun menjahit ikatan imajinasi kesamaan politik pilihan.
Sebab itulah, kotak-kotak pilihan pun selalu didasarkan atas pertimbangan yang tampak “irasional” tersebut. Tetapi, pilihan yang “irasional” tersebut selalu punya “rasionalitasnya” sendiri sehingga narasi besar teori-teori politik pun tidak mampu memahaminya. Masyarakat menjadi “teoritikus” bagi dirinya sendiri dengan dalil-dalil yang mereka punya.
Intervensi politik rasional nyaris tidak mampu membuat distraksi atas preferensi pilihan masyarakat yang Gemeishaften. Isi visi-misi dan konten bonum commune hanya tinggal sebagai slogan politik yang tak dekat dengan pemilih sentimental dan primordial.
Peringat survei popularitas figur tak mesti berarti pemimpin itu populis. Populis hanya berarti ketika sang figur dekat dan akrab dengan masyarakat pemilih. Ia bukan pilihan media, tetap ia dekat dengan nurani, suku, agama, daerah, darah dan budaya masyarakat (Gemeinschaft of mind).
Lantas bagaimana mungkin orang akan memilih yang di luar dasar sentimental, emosional dan primordial, sementara kebijakan publik dan pembangunan selalu berurusan dengan perihal sentimental, emosional dan primordial? Sebab itulah orang-orang akan cenderung menjagokan dan memilih orang-orangnya sendiri
Orang Manggarai akan memilih figur pemimpin yang berasal dan berdarah Manggarai, manakala masing-masing daerah menjagokan figur pemimpin dari daerahnya sendiri. Persis seperti itulah orang Soe, Semau, Sumba, Ngada dan lain sebagainya. Setiap masyarakat akan mempertahankan figurnya masing-masing.
Jika demikian, mengapa kita sok rasional? Tak perlu publik diperdaya. Tak boleh masyarakat diperalat. Sejuah itu berjalan demokratis, biarkan warga memilih dengan pertimbangannya sendiri. Menjadi pemilih itu warga negara, berpreferensi primordial, sentimental dan emosional itu pilihan.
Alfred Tuname
Esais