Borong, Vox NTT- Mama Sebina (39), begitu warga sering memanggilnya. Ia telah lama hidup tanpa suami. Hanya ditemani dua anaknya, satu di kelas IV SD dan satu masih berumur 11 tahun.
Sudah belasan tahun suaminya merantau ke Kalimantan. Sejak pergi, suaminya hilang tanpa kabar, apalagi mengirim uang untuk mereka.
Kendati tanpa suami, pemilik nama lengkap Sebina Lamus itu tidak putus asa menafkahi keluarganya. Meskipun tak jarang ia meratap masa depan yang sungguh malang.
Mama Sebina meratap di tengah kemiskinan yang terus membelenggunya. Penghasilannya pas-pasan dan diperoleh dari upah harian bekerja di kebun tetangga. Perhari ia diberi upah Rp 25.000. Itu pun tidak setiap hari.
Uang hasil bekerja sebagai buruh tani ia gunakan untuk membeli beras, sabun mandi dan cuci, minyak tanah untuk bahan bakar lampu pelita, dan lain-lain.
Mirisnya lagi, janda miskin asal Kembur, Kelurahan Satar Peot, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur (Matim) itu hanya tinggal di sebuah gubuk berukuran 3×4 meter.
Gubuk mereka berdindingkan anyaman bambu, plastik, dan dedauanan. Lantainya tanah.
Meski tempat mereka tak jauh dari pusat pemerintahan Kabupaten Matim di Lehong, rumah Mama Sebina tak kunjung diperhatikan.
Saat VoxNtt.com mengunjungi kediamannya, Rabu (20/12/2017), Mama Sebina sempat menolak untuk memasuki gubuknya.
Menurut dia, gubuknya tidak layak dikunjungi orang-orang yang bernampilan resmi. Mungkin karena malu.
Setelah mengetahui yang mengunjunginya adalah jurnalis, Mama Sebina kemudian mengizinkan masuk ke dalam gubuknya.
Mama Sebina adalah janda miskin yang sangat santun menerima tamu. Sebagaimana layaknya adat Manggarai, setelah menyapa, selanjutnya mempersilakan duduk dan kemudian menyuguhi kopi.
Sambil menikmati secangkir kopi, Mama Sebina menceritakan perjuangan hidupnya tanpa suami.
“Dia (suami) sudah lama pergi merantau. Katanya dulu untuk perbaik ekonomi. Tetapi sampai sekarang dia tidak ada kabar. Tidak pernah kirim uang untuk kami,” katanya.
Mama Sebina mengaku, gubuk yang ia dan kedua anaknya tempati sekarang itu adalah hasil usahanya sendiri. Dana untuk mendirikannya diperoleh dari hasil menjual kayu.
Selanjutnya, ia juga menceritakan kehidupan yang serba berkecukupan. Setiap kali kerja, dalam benaknya hanya berpikir untuk menghidupi kedua anaknya setiap hari, bukan untuk masa depan.
“Itu kadang tidak cukup,” tuturnya.
“Kami tetap bersyukur karena diberi kesehatan. Biar makan nasi dan sayur saja. Kami menikmati anugerah Tuhan yang ada. Kami yakin suatu saat nanti akan ada keajaiban dari Tuhan untuk mengubah hidup keluarga kami,” ungkap Mama Sebina.
Tidak Dapat Bantuan Pemerintah
Dia menambahkan, meski anaknya duduk di kelas 4 SD, namun tidak pernah mendapat bantuan dari pemerintah. Padahal ada banyak beasiswa, program indonesia pintar (PIP), dan lain-lain.
Mama Sebina juga menceritakan bahwa di tahun 2017, keluarganya tidak mendapatkan bantuan beras sejahtera (Rastra), program keluarga harapan (PKH), bantuan lainnya dari pemerintah.
Padahal kata dia, dia memiliki kartu perlindungan sosial (KPS) dan kartu keluaga sejahtera (KKS).
“Yang lain dapat. Sementara kami tidak. Ada juga yang dapat bantuan tanpa ada kartu. Padahal sebelumnya kami dapat. Lalu, untuk apa kartu ini ada kalau tidak dapat bantuan,” katanya.
Ia dan kedua anaknya memang sempat bernafas lega, sebab bakal mendapat bantuan rumah murah.
Tetapi menurut pemerintah setempat, kata dia, dirinya tidak mampu untuk membangun rumah. Karena syarat mendapatkan bantuan rumah itu harus sudah siap dan mampu. Artinya, mesti ada dasar rumah sebelum akhirnya bantuan itu disalurkan.
“Mereka paksa untuk buat rumah tembok seluruh. Sementara bantun itu hanya sebagai perangsang. Katanya harus buat tembok seluruh. Makanya saya bingung,” ungkapnya.
Tahun ini juga ia dapat bantuan MCK. Tetapi pekerjaanya terbengkelai.
“Sudah tidak lanjut. Itu karena saya tidak mampu kasih makan dan sewa tukang. Closet dan lubangnya sudah buat. Tetapi sudah tidak bisa lanjut lagi,” kata Sebina.
Saat ini, Mama Sebina sangat berharap kepada Pemkab Matim atau pun pihak lain agar memperhatikan kondisi keluarganya.
Penulis: Nansianus Taris
Editor: Adrianus Aba