Oleh: Alfred Tuname
Pada Pilkada 2018, terdapat sejumlah anggota aktif TNI/Polri yang ikut maju. Mereka ikut ambil bagian dalam panggung politik untuk perebutan kekuasaan.
Anggota TNI/Polri yang terlibat dalam politik Pilkada bisa disebut sebagai political army (istilah Suraj Kumar Thube). Sebagai political army, anggota TNI/Polri tidak saja cenderung berpengaruh dan mempengaruhi putusan-putusan dan kebijakan politik, tetapi juga terlibat dalam perebutan kekuasaan.
Keikutsertaan sejumlah anggota TNI/Polri menaikan vitalitas politik di daerah. Tetapi untuk ikut kontestasi Pilkada, anggota aktif TNI/Polri harus mengundurkan diri ingin terlibat dalam politik praktis. Setelahnya, mereka boleh memiliki kesempatan yang sama dengan kaum sipil dalam meraih kekuasaan politik. Dasarnya, setiap warga negara memiliki hak pilih dan dipilih.
Manakala anggota TNI/Polri terlibat dalam urusan politik praktis, wajah Orde Baru tidak terhindarkan dari memori kolektif publik. “Dirty work” Orde Baru yang mengaktifkan dominasi militer atas politik di-restore kembali dalam memori kolektif publik.
Orde Baru merupakan pandemik politik tanah air. Dari situ, trauma politik kembali terasa. Rasa-rasanya, hantu ketakutan akan kekerasan, interogasi dan intimidasi selalu bergentayang dan menyertai gerak-gerik ekspresi kebebasan publik. Memang rezim Orde Baru tidak akan pernah kembali, tetapi trauma politik militeristik tersebut masih belum tenggelam.
Karena itu, perjuangan para kandidat yang berasal dari TNI/Polri adalah berjuang melepaskan dirinya dari stigmatisasi politik antara militer dan sejarah kelam Orde Baru. Sejauh para calon menunjukan track record yang baik dan menonjolkan tabiat politik yang santun, perlahan-lahan stigmatisasi politik militeristik terhadap sang kandidat akan surut.
Tetapi, melepas sejarah kelam Orde Baru yang militeristik itu tidaklah mudah. Ingatan kolektif masyarakat tidak pendek. Masyarakat selalu takut pada gaya kepemimpinan militeristik yang seringkali otoritarian dan anti kritik.
Di tengah demokrasi politik yang memajakan kebebasan publik, gaya kepemimpinan militeristik TNI/Polri masih dianggap “taboo” dalam politik. Kepemimpinan politik militeristik berdekatan dengan “culture of fear”, jauh dari “ethics of care”.
Memang, pasca runtuhnya Orde Baru, instusi TNI/Polri sudah mengalami perubahan. Modernisasi intitusi dan birokrasi TNI/Polri dilakukan bersamaan dengan “depolitisasai” TNI/Polri. Telaknya, TNI/Polri adalah sebuah profesi.
Samuel Huntington (1957) menulis, “the modern officer corps is a professional body and the modern military officer a professional man”. Sebagai seorang profesional, menjadi anggota TNI/Polri adalah sebuah “higher calling” untuk melindungi dan menjaga keamanan negara dengan perangkat dan peralatan perang. Karena itu, tentara/polisi disebut sebagai “alat kekerasan” negara demi keamanan negara an sich.
Ketakutan lain manakala anggota TNI/Polri ikut berpolitik adalah berkenaan dengan loyalitas para anggota tentara/polisi yang masih kuat terhadap para jenderal TNI/perwira polisi. Sebagai tentara/polisi, para loyalis tersebut, mengutip Ismael Kadare dalam Three Elegies of Kosovo (1998), bekerja dengan “obedient, sober, mute, and nameless like mud”. Para loyalis itu bisa dimanfaatkan untuk kepentingan politik pemenangan Pilkada.
Perangkat-perangkat seperti intel, babinsa, polsek, kapospol et cetera akan dimanfaatkan untuk kepentingan politik sang jenderal/perwira. Mereka adalah “prajurit infrantri” politik yang bisa diperintah dan dimobilisasi untuk memenangkan jenderal/perwira yang beralih jadi politisi.
Itulah residu kekusaan yang masih dimiliki oleh para kandidat dari “bekas” TNI/Polri yang ikut dalam kontestasi Pilkada 2018. Residu kekuasaan itu bisa berpengaruh signifikan pada proses demokrasi politik Pilkada. Berbagai “strategi negatif” operasi perang bisa digunakan dalam keadaban demokrasi politik.
Bisa saja stretegi hit and run atau “Blitzkieg” politik dipakai untuk memenangkan politik Pilkada. Selain itu cara intimidasi, interogasi, pemaksaan, ancaman, sabotase politik dan black campaign bisa saja digunakan untuk mempengaruhi masyarakat pemilih (voters). Semua kebiasaan militerisitik itu bisa saja dipakai untuk memenangkan pertarungan politik perebutan kekuasaan.
Dengan bahasa lain, ketidaknetralan institusi TNI/Polri bisa terjadi ketika sentimen dan indoktrinasi akut “union fait la force” dikumandangkan menjadi “spirit politik” pemanangan calon yang berasal dari anggota TNI/Polri dalam Pilkada. Ketidaknetralan tersebut biasanya diikuti dengan proliferasi pelanggaran Pilkada dan chaos sosial-politik di masyarakat.
Oleh karena, kesiapan dan kesigapan penyelenggara Pemilu (Bawaslu/Panwaslu dan KPU/KPUD) mesti dioptimalkan. Pencegahan dan penindakan terhadap berbagai pelanggaran Pilkada harus dilakukan secara saksama dan taat asas. Sikap tegas penyelenggara adalah harapan untuk demokrasi politik yang lebih baik dan beradab.
Undang-undang dan aturan adalah “pedang” politik demokrasi. Mengutip Helmuth von Moltke, pemimpin tentara Angkatan Darat Jerman pada Perang Dunia I, “It is only the sword that keeps the sword within its sheath“. Sebab, berbagai pelanggaran dan kekerasan Pemilu seringkali menjadi “senjata” bagi mereka yang haus akan kekuasaan dan lapar akan jabatan politik.
Selebihnya, masyarakat pemilih mesti bijak memilih pemimpin. Setiap kandidat dalam Pilkada, apa pun rekam jejak dan profesi asalnya, tentu merupakan calon pemimpin yang baik. Yang terbaik adalah pilihan masyarakat. Memilih pun harus didasarkan keputusan yang bijak dan rasional, bukan dengan “rasionalisasi” atas kepentingan-kepetingan jangka pendek dan oportunistik.
Militer atau sipil, silahkan dipilih!
Alfred Tuname
Penulis dan Esais