Borong, Vox NTT- Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur (Pemkab Matim) dinilai telah menganaktirikan SMPN 7 Lamba Leda.
Hal tersebut merupakan keluhan siswa yang kemudian disampaikan Kepala SMPN 7 Lamba Leda, Fidelis Fedin.
Menurut dia, para siswanya mengeluh dianaktirikan pemerintah lantaran gedung sekolah yang berlokasi di Wae Rambung, Desa Golo Munga Barat, Kecamatan Lamba Leda itu masih terbatas.
Pihak sekolah terpaksa menggunakan Kapela Stasi Wae Rambung untuk Kegiatan Belajar Mengajar (KBM).
Tak hanya tempat rohani itu dipakai saat KBM, beberapa rombongan belajar juga kerap menggunakan kantor dan perpusatakan sekolah. Kendati memang perpustakaan dan kantor itu dipakai dari ruangan kelas.
“Iya benar. Kami masih menggunakan Kapela Stasi Wae Rambung karena kekurangan ruangan kelas,” ujar Kepsek Fidel kepada wartawan melalui pesan WhatsApp, Kamis (11/01/2018).
Baca Juga: Ada Hasrat di Balik Langkah Kaki Sejauh 6 Kilometer Tiap Hari
Kepsek Fidel mengatakan, siswa kurang berkosentrasi dalam menerima pelajaran di ruangan Kapela. Hal itu disebabkan ruangannya masih sangat luas.
Tak hanya itu masalahnnya. Menurut Fidel, Kapela seharusnya dimanfaatkan sebagai tempat kegiatan rohani, bukan dipaksakan untuk KBM.
Dia mengaku, hingga kini lembaganya mengalami kekurangan sebanyak 3 ruangan kelas.
“Kami sekolah pagi dan sore. Namun setelah dianalisis siswa yang sekolah pagi hasilnya lebih baik dibandingkan sekolah sore. Sehingga kami sekarang minta kepada Ketua Stasi (Wae Rambung) supaya gunakan Kapela agar semuanya sekolah pagi,” Kata Kepsek Fidel.
Menurut dia, SMPN 7 Lamba Leda selayaknya menambah 3 ruangan lagi untuk proses KBM siswa.
Sebab itu, Kepsek Fidel berharap agar Pemkab Matim bisa menambah ruangan kelas dan fasilitas lain di sekolahnya.
“Harapan kami dalam anggaran perubahan yang akan datang Dinas P dan K Matim mengalokasikan dana untuk bangun 3 ruangan kelas di SMPN 7 Lamba Leda. Sehingga siswa yang masih menggunakan Kapela bisa belajar dengan fasilitas yang lebih layak dan nyaman,” tukas dia.
Terpisah, salah satu guru SMPN 7 Lamba Leda, Fransiskus Luda mengaku sejak berdirinya sekolah itu pada tahun 2002 silam, Kapela Stasi Wae Rambung acap kali digunakan untuk KBM.
Sebelumnya, SMPN 7 Lamba Leda milik Yayasan Katolik St. Ludovikus Manggas. Namanya saat itu SMP Katolik St. Ludovikus Manggas.
Namun kata Frans, pada tahun 2011 SMP Katolik milik Sebinus B. Suhardi itu diserahkan tanpa imbalan jasa kepada Pemkab Matim.
Selanjutnya Bupati Matim Yosef Tote mengeluarkan Surat Keputusan (SK) pada tanggal 21 Februari 2011 tentang perubahan nama SMP Katolik St. Ludovikus Manggas menjadi SMPN 7 Lamba Leda.
“Siswa terpaksa belajar di Kapela karena keterbatasan ruangan kelas,” ujarnya kepada wartawan di Ruteng, Kamis.
Menurut Frans, kondisi itu sudah berlansung lama. Pihak SMPN 7 menyiasatinya dengan pola dua shift dalam melaksanakan KBM.
“Untuk mengatasi kekurangan ruangan, kami juga pernah membagi siswa. Ada yang sekolah pagi dan ada sebagian siswa mengikuti pelajaran pada sore hari,” tuturnya.
Frans menilai SMP Negeri 7 Lamba Leda masih belum mendapat perhatian serius dari Pemkab Matim.
“Kami mengingikan pihak pemerintah Manggarai Timur agar ada penambahan ruangan baru,” harapnya.
Untuk diketahui, saat ini sebanyak 5 ruangan yang terpakai di SMPN 7 Lamba Leda. Dari total tersebut sebanyak dua ruang dibangun oleh Pemkab Matim pada 2014 lalu dan tiga lainnya masih peninggalan Yayasan t. Ludovikus Manggas.
Sementara jumlah siswanya sebanyak 180 orang.
Penulis: Adrianus Aba