Oleh:Efrem Dianto
(Koordinator PKH Manggarai Timur Tinggal di Gololada Borong)
Panggung pesta demokrasi Pemilukada serentak akan kembali digelar pada tahun 2018 untuk 101 daerah terdiri atas 7 Provinsi, 76 Kabupaten dan 18 kota.
Situasi politik tingkat lokal maupun Nasional mulai memanas dengan ‘perang urat saraf’ bakal calon di media cetak, elektronik maupun media sosial oleh para pendukung setianya.
Dalam dinamika tersebut, beragam persoalan mencuat ke permukaan. Salah satu persoalan bahaya politik identitas. Politik identitas telah kehilangan arah, ketika tidak dimaknai dalam horison berpikir demokratis.
Politik identitas yang sejatinya merupakan ajang pengaktualisasian kekayaan keberagaman bangsa, berubah menjadi ajang untuk saling mengunggulkan dominasi kelompok atas kelompok lain.
Kontestasi yang seharusnya saling beradu gagasan dan konsep yang konstruktif, malah saling menjatuhkan lawan dengan isu SARA yang sangat destruktif bagi keharmonisan bangsa.
Ancaman atau Peluang?
Jika ditilik dari sisi sejarah, politik identitas sudah berkembang sejak lama, baik di Indonesia maupu dunia internasional.
Di ranah politik dunia internasional, politik identitas ini lahir pertama kali di Amerika serikat pada tahun 1970-an. Dia lahir ketika masalah gender, etnis, feminisme dan kelompok sosial lainnya merasa terpinggirkan atau terisolasi.
Kelompok marginal dan subordinatif diperalat oleh kepentingan-kepentingan tertentu untuk menggolkan tujuannya.
Dalam perkembagan selanjutnya, politik identitas ini mecakupi masalah agama, kepercayaan dan ikatan-ikatan sosial lainnya.
Sementara itu, dalam konteks Indonesia, politik identitas lebih berhubungan dengan etnisitas, ideologi dan kepentingan-kepentigan lokal.
Agnes Heller mendefinisikan politik identitas sebagai gerakan politik yang fokus perhatiannya lebih kepada perbedaan sebagai suatu kategori politik yang utama.
Lebih lanjut, Kemala Chandakirana (1989) dalam artikelnya Geertz dan Masalah Kesukuan, menyebutkan bahwa: Politik identitas biasanya digunakan oleh para pemimpin sebagai retorika politik dengan sebutan kami bagi “orang asli” yang menghendaki kekuasaan dan mereka bagi “orang pendatang” yang harus melepaskan kekuasaan. Dengan demikian, politik identitas sekedar untuk dijadikan untuk menggalang politik–guna rnemenuhi kepentingan ekonomi dan politiknya.
Dua definisi di atas tentunya menggambarkan situasi politik sekarang ini. Wacana politik identitas digunakan oleh sebagian elit politik untuk menggalang kekuatan massa dan menjatuhkan lawan politik yang berbeda identitasnya. Isu ini disebarkan melalui serangkaian propaganda yang dikemas melalui komunikasi politik nan piawai dan menembus alam bawah sadar pendukungnya. Inilah yang menjadi ancaman nyata bagi keberlangsungan demokrasi di Indonesia.
Dalam konteks kehidupan berdemokrasi, politik identitas akan membawa masalah bagi demokrasi setidaknya dilihat dari dua hal utama.
Pertama, demokrasi lahir dan tumbuh dari prinsip kesetaraan dan rasionalitas publik. Politik identitas, di level ini berusaha menginterupsinya dengan menjadikan pilihan publik berjangkar pada ikatan primordial seperti kesamaan etnisitas, kesukuan dan agama.
Hal tersebut tidak bermasalah sejauh kualitas, kredibilitas dan rekam jejak calon menjadi pertimbangan lain. Namun, politik identitas akan bermasalah ketika ikatan emosional jauh lebih dikedepankan dibanding alasan yang lebih rasional.
Kedua, politik identitas riskan untuk digiring menjadi praktik yang monolitik. Pemaksaan kehendak sebagai perwujudan truth claim dikhawatirkan akan menambah segresasi sosial di tengah masyarakat. Rajutan persatuan dan kesatuan bangsa pada titik ini tentu akan akan mendapati tantangan yang amat serius.
Sementara, dalam konteks konsolidasi demokrasi untuk sebuah negara-bangsa yang plural seperti Indonesia, kohesivitas sosial adalah salah satu syarat demokrasi substansial dapat tumbuh subur dan berkembang.
Jika kedua masalah ini dibiarkan berkembang di ranah publik, demokratisasi akan kehilangan taji. Pesta demokrasi lima tahunan tidak lagi menjadi tontonan menarik, namun akan menjadi pertarungan kelompok sosial yang satu dengan yang lainnya.
Politik identitas pada hakikatnya baik sejauh dimaknai dalam bingkai kebhinekaan. Namun menjadi soal, ketika diejawantahkan secara tidak benar. Dia akan menjadi bumerang bagi proses demokrasi.
Konstelasi Politik Menjelang Pilkada
Sampai pada titik ini, apakah politik identitas berbahaya bagi demokrasi? Ataukah dia justru dipandang sebagai perekat dalam berdemokrasi?
Untuk menjawabi pertanyaan ini, pada bagian awal tulisan ini telah dipaparkan definisi yang diutarakan oleh Kemala Chandakirana, dimana identitas dalam prakteknya dijadikan oleh bakal calon dan pendukung tertentu untuk menjatuhkan bakal calon lainnya.
Inilah yang mejadi bahaya dari politik identitas. Eksploitasi identitas yang berlebihan bahkan bisa berujungnya pada fasisme dan separatisme.
Politik identitas yang dijalankan oleh kelompok tertentu, berupaya memunculkan negara yang mono-identitas. Masyarakat Indonesia seakan dibuat hilang ingatan akan sejarah keragaman yang dimilikinya.
Di tengah kesiapan Pilkada serentak pertengahn 2018, politik identitas tentunya menjadi salah satu senjata untuk melemahkan dan menjatuhkan lawan politik. Isu suku, agama, ras dan golongan menjadi isu strategis untuk dilempar ke ruang pemilih.
Oleh karena itu, politik identitas itu perlu dikelola dan dikonstruksi dalam suatu bingkai yang melahirkan proses berdemokrasi yang aman dan damai.
Pertama, setiap elite politik hendaknya memiliki tingkat kecerdasan, sensitivitas, dan sensibilitas budaya terhadap berbagai isu sosial-politik yang melingkupinya.
Sensitivitas dan sensibilitas budaya dimaksud termanifestasi dalam bentuk tutur kata untuk menghindari pilihan kata, diksi, atau kalimat yang dapat melukai perasaan sekelompok orang.
Seorang pemimpin yang bijak semestinya dapat mendayagunakan kecerdasannya dalam memfilter, memilih dan memilah ujaran-ujaran yang dapat mengayomi seluruh warganya.
Kedua, di tingkat masyarakat pemilih, masyarakat kita harus diedukasi secara terus-menerus dalam rangka memperkuat rasionalitas publik mereka. Termasuk dalam konteks ini adalah mengedukasi agar mereka tidak terprovokasi setiap isu sensitif (SARA) di ruang publik.
Memilih seorang pemimpin, bukan karena alasan ke-suku-an, ke-wilayah-an dan ke-agama-an, akan tetapi memilih pemimpin dipandang dari segi kualitas seseorang. Edukasi-edukasi seperti ini akan membantu meredam berbagai macam persoalan yang mengancam keutuhan.
Politik identitas akan menjadi ‘fenomena gunung es’, jika tidak dikelola dengan baik oleh Bakal calon, elite politik, penyelenggara Pemilu dan masyarakat pemilih.***