Oleh: Hipatios Wirawan Labut, S.H
Penulis adalah Alumni Kelas Politik Cerdas Berintegritas KPK dan Yayasan Satumama Yogyakarta, Mantan Koordinator Front Mahasiswa Hukum Indonesia (FROMHI) Periode 2015-2016), dan Wakil Ketua Angkatan Muda Anti Korupsi (AMAK) NTT, Alumni Fakultas Hukum Universitas Nasional Jakarta
Jika hukum diibaratkan rel dan politik diibaratkan lokomotif, maka sering terlihat lokomotif itu keluar dari rel yang seharusnya (Sri Soemantri Martosoewignjo)
Hukum adalah produk politik sehingga keadaan politik tertentu akan melahirkan hukum dengan karakter tertentu pula.
Atas pengertian ini, muncul kritik umum yang terlontar atas praktik hukum di Indonesia, terutama oleh kaum deterministik, meletakkan hukum sebagai alat kekuasaan. Fakta ini tentunya bisa dipahami, jikalau kita mengungkapkan sejumlah pelanggaraan dalam penyelenggaraan tata pemerintahan dan aktivitas sosial dengan mengatasnamakan hukum.
Misalnya, sepanjang orde baru perangkat hukum kita memang tercabik-cabik oleh kepentingan politik, yang pada akhirnya melahirkan ketidakpercayaan atas hukum.
Inilah tragedi panjang, yang hingga hari ini masih melanda kehidupan hukum di Indonesia, termasuk kita di Provinsi NTT. Bagaimana gejala ini bisa dijelaskan? Strategi apa yang dapat dilakukan untuk mengembalikan hukum untuk menuju kaadilan?
Terlebih dahulu, harus dipahami bahwa hubungan hukum dan politik tidak bisa dipisahkan. Sebagaimana diketahui bahwa hukum adalah produk politik, maka karakter politik akan menentukan hukum seperti apa yang dihasilkan.
Dalam membentuk cita hukum di masa depan atau produk hukum seperti apa yang dihasilkan maka penting diketahui bagaimana Politik Hukum itu.
Politik Hukum adalah aktivitas untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan dan cara-cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan hukum dalam masyarakat. Politik Hukum berarti menetapkan tujuan dan isi peraturan perundang-undangan.
Asumsi dasar dari pemikiran diatas adalah bahwa hukum merupakan produk politik sehingga karakter setiap produk hukum akan sangat ditentukan atau diwarnai oleh imbangan kekuatan atau konfigurasi politik yang melahirkannya.
Meskipun dari sudut “das sollen” ada pandangan bahwa politik harus tunduk pada ketentuan hukum, namun dari sudut “das sein” bahwa hukumlah yang dalam kenyataannya ditentukan oleh konfigurasi politik yang melahirkannya.
Setiap hari kita melihat, mendengar bahwa sering terjadi pelarangan, pengusiran terhadap masyarakat yang sedang mencari nafkah hanya dengan alasan bahwa mereka telah melanggar Perda.
Satjipto Rahardjo (1985 :71) mengatakan bahwa kalau kita melihat hubungan antara subsistem politik dan subsistem hukum, tampak bahwa politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar sehingga hukum selalu berada pada posisi yang lemah.
Relasi Politik dan Hukum
Berbicara tentang relasi antara hukum dan politik adalah berbicara bagaimana hukum bekerja dalam sebuah situasi politik tertentu. Dalam hal ini yang dimaksud adalah hukum sebagai perwujudan dari nilai-nilai yang berkembang dan nilai-nilai yang dimaksud adalah keadilan.
Dengan demikian idealnya hukum dibuat dengan mempertimbangkan adanya kepentingan untuk mewujudkan nilai-nilai keadilan tersebut. Dengan ciri-ciri mengandung perintah dan larangan, menuntut kepatuhan dan adanya sanksi, maka hukum yang berjalan akan menciptakan ketertiban dan keadilan di masyarakat.
Dengan dasar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keadilan akan dapat terwujud apabila aktivitas politik yang melahirkan produk-produk hukum memang berpihak pada nilai-nilai keadilan itu sendiri.
Terlepas bahwa dalam proses kerjanya lembaga-lembaga hukum harus bekerja secara independen untuk dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum, dasar dari pembentukan hukum itu sendiri yang dilakukan oleh lembaga-lembaga politik juga harus mengandung prinsip-prinsip membangun supremasi hukum yang berkeadilan.
Dalam konteks Indonesia, khusus di Nusa Tenggara Timur (NTT), cita dan fakta yang berkaitan dengan penegakan keadilan masih belum dapat bertemu. Harapan akan adanya instrumen dan pengadilan yang fair dan berkadilan sangat bertentangan dengan maraknya mafia-mafia peradilan dan praktek-praktek hukum yang menyimpang.
Pada tingkatan tertentu bahkan dapat dikatakan bahwa NTT berada pada situasi lawlessness, misalnya, sekelompok orang kuat dapat bergerak bebas dan melakukan pelanggaran atau tindakan untuk kepentingannya tanpa mendapat tindakan apa pun dari aparat kepolisian. Situasi hukum di NTT berada dalam kuasa “demoralisasi, disorientasi, dehumanisasi dan dekadensi”.
Hukum yang Lumpuh dan Dilumpuhkan
Dalam pandangan Lord Acton, upaya perbaikan hukum secara menyeluruh menyangkut perubahan pada the content of the law, the structure of the law, dan the culture of the law. Persoalannya, di NTT empat aspek itu belum diperhatikan. Bahkan, pada the content of the Law saja belum sepenuhnya berpihak pada keadilan, kepentingan masyarakat kelas bawah dan kepastian hukum.
Banyak peraturan yang dibuat justru belum mengatasi persoalan di masyarakat. Artinya produk hukum tersebut seringkali tidak didasarkan pada pembacaan yang sungguh-sungguh atas kebutuhan masyarakat serta.
Kalau aspek content saja belum menjawab kebutuhan masyarakat apalagi tiga aspek lain. The structure of the law-nya masih dihuni oleh pejabat-pejabat yang bermasalah dan berperan aktif dalam rangkaian keputusan atau praktek hukum yang menyimpang. Sebut saja berbagai kasus yang menjerat pejabat kepolisian baik di tingkat Polres maupun Polda di NTT belum memuaskan masyarakat. Bahkan, banyak kasus yang lenyap begitu saja.
Apalagi the culture of the law-nya, budaya sogok dan suap jauh lebih menonjol ketimbang profesionalisme sebagai aparatur penegak hukum.
Kondisi hukum yang lumpuh ini semakin diperparah dengan ketiadaan keseriusan penguasa (Gubernur, Bupati dll) untuk mengedepankan agenda law erforcement dan hambatan-hambatan politis lainnya.
Artinya, dalam kondisi dimana proses pemulihan hukum dari kelumpuhan tengah berlangsung, upaya-upaya untuk mempertahankan kelumpuhannya juga gencar dilakukan berbagai pihak.
Dalam konteks transisional, semua upaya tersebut dilakukan tidak lain untuk mempertahankan ketidakpastian hukum demi membebaskan pihak-pihak yang bermasalah sekaligus tetap mempertahankan previledge yang hanya dapat dipetik dalam situasi ketidakpastian (pengadilan mantan presiden Soeharto misalnya.
Benny K.Harman dan Mimpi Mewujudkan Keadilan di NTT
Pesimisme penulis terkait penegakan hukum di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) perlahan-lahan hilang ketika ada salah satu calon Gubernur NTT yang dikenal sebagai salah satu tokoh yang diteladani dalam dunia hukum Indonesia.
Dia adalah Benny K Harman, Anggota DPR RI tiga periode. Dia pernah menjadi Ketua Komisi III DPR RI. Sekarang dia tetap berada di Komisi yang sama dengan jabatan Wakil Ketua Komisi.
Benny K.Harman juga dikenal sebagai salah satu tokoh penting dalam dunia hukum Indonesia. Berbagai karyanya di bidang hukum dan karirnya selama di DPR telah membuktikan bahwa dia sangat berpihak pada nilai-nilai keadilan dan hak asasi manusia (kemanusiaan). Ia adalah intelektual di bidang hukum yang mampu membawa nilai-nilai keadilan dan cita-cita negara hukum dalam proses pembaharuan hukum di Indonesia.
Sebagai salah satu bentuk apresiasi terhadap kiprahnya, Penerbit Biografi Indonesia pada tahun 2017 memilih Benny K Harman sebagai figur yang tepat untuk dijadikan inspirasi dan teladan dalam dunia penegakan hukum Indonesia. Pilihan penerbit biografi Indonesia berdasarkan pada sepak terjang Benny K Harman dalam bidang hukum dan keadilan. Selain itu, berdasarkan pada latar belakang pendidikan serta kepribadiannya yang dinilai Berintegritas.
Benny K.Harman adalah pribadi berani berbeda karena idealismenya masih kuat. Meskipun sudah menjadi politisi, Benny K Harman tidak larut dalam gaya politisi kebanyakan. Watak aktivisnya masih sangat kuat. Benny dikenal sebagai tokoh yang berintegritas, intelektual, dan matang. Kiprahnya dalam memperjuangkan keadilan dan hak asasi manusia tidak diragukan lagi.
Komitmennya dalam memperjuangkan keadilan dan hak asasi manusia tidak terlepas dari pribadinya yang religius. Karena itu, salah satu rohaniwan Indonesia, Romo Benny Susetyo mengatakan bahwa Benny K Harman telah mampu menjadi garam dan membuat dunia terang. Menurut Romo Benny Susetyo, Benny K Harman menjalankan politik keadaban, karena iman diaktualisasikan dalam berpolitik yang memiliki keadaban. Ia berpolitik melayani kepentingan publik, bukan menjadi benalu negara. (No Justice No Peace. 2017 : XVII).
Atas berbagai prestasi dan pencapaian itu, maka tidak heran jika banyak orang menyebut Benny K Harman sebagai harta karun untuk NTT.
Pada tahun ini, Benny K Harman menjadi salah satu Calon Gubernur NTT periode 2018-2023. Bagi penulis, Pilihan Benny K Harman ini tentu dengan sejumlah alasan dan mimpinya untuk mewujudkan daerah asalnya NTT menjadi lebih bermartabat.
Kita tahu, NTT adalah salah satu Propinsi dengan tingkat keadilan sosial yang sangat memprihatinkan dengan kesejahteraan hidup masyarakatnya yang masih jauh dari harapan. NTT adalah propinsi termiskin ketiga di Indonesia dan menjadi provinsi terbesar kasus human trafficking-nya.
Menurut penulis, situasi yang terjadi di NTT dengan berbagai prestasi buruknya membutuhkan pemimpin yang tidak sekadar populer, merakyat (secara fisik) tetapi lebih dari itu.
NTT membutuhkan pemimpin (Gubernur) yang memahami persoalan, bebas dari kepentingan pemodal dan cerdas membuat kebijakan (hukum) yang mencerminkan keadilan dan penghargaan terhadap hak asasi manusia. Selama ini, kita dininabobokan oleh gaya kepemimpinan politisi yang tidak mempunyai karakter yang kuat, permisif terhadap praktik kejahatan, korupsi dan human trafficking. Berbagai pelanggaran hukum tidak ditangani serius bahkan dibiarkan. Penulis meyakini, sosok Benny K Harman akan mengubah kultur hukum demikian.
Benny K.Harman adalah Solusi
Tak berlebihan jika Benny K Harman diperhitungkan sebagai salah satu kandidat yang mampu memimpin NTT. Selain karena ia ingin mengabdi kepada daerahnya, Benny K Harman tentu datang dengan berbagai tawaran program untuk membawa NTT keluar dari Kemiskinan.
Pertama, membekali masyarakat dengan pendidikan sebagai kunci. Menurutnya, pendidikan merupakan komponen penting, karena dengan pendidikan pola pikir masyarakat akan menjadi lebih terbuka.
Kedua, meminjami modal. Kata meminjami modal ini sengaja dipakai oleh Benny K Harman, bukan istilah memberi. Menurutnya, ketika pemerintah memberikan bantuan cuma-cuma, masyarakat akan menjadi malas untuk bekerja.
Ketiga, memberikan pengarahan dan pendampingan sekaligus keteladanan. Menurut Benny K Harman, pemerintah pusat ataupun daerah, bertanggung jawab untuk menciptakan keteladanan moral positif, karena masyarakat sangat terpengaruh oleh perilaku pejabatnya. Jika pejabat korup, maka masyarakat mudah meniru dia menjadikannya sebagai legitimasi (Rif’an dan Heryadi, 2013: 438).
Di tengah belantara politik nasional yang pekat dengan aroma pragmatisme serta gejala amnesia Pancasila, Benny K Harman justru sering berteriak lantang demi menjaga marwah hukum serta menegakkan nilai kemanusiaan dan keadilan. Benny K Harman pun meleburkan nilai – nilai Pancasila dalam nama paketnya dengan nama “Paket Kebhinekaan” serta tagline Kita Bhineka, Kita HARMONI.***