Oleh: Wilibaldus Kuntam
Pemilukada serentak untuk memilih gubernur dan wakil gubernur dan bupati dan wakil bupati di sepuluh kabupaten di NTT akan dilaksanakan 27 Juni 2018 mendatang. Itulah sebabnya situasi politik NTT akhir-akhir ini semakin memanas.
Salah satu fenomena yang memicu panasnya suhu politik dalam pemilukada serentak ini adalah munculnya politik citra. Gencarnya pemberitaan media cetak dan elektronik, internet, dan facebook turut memperkuat politik citra ini.
Politik Citra
Politik citra (politics of image) bukan hanya fenomena yang baru muncul pada pemilukada serentak kali ini, pemilukada sebelumnya juga menunjukkan bahwa politik pencitraan lazim digunakan para politisi untuk meraih kemenangan.
Menariknya, kepala daerah yang terpilih karena politik pencitraan tidak mampu membebaskan masyarakat NTT dari masalah kemiskinan, perdagangan manusia, pengangguran, korupsi, dan sebagainya.
Data Badan Statistik tahun 2017 memperlihatkan bahwa provinsi NTT mendapat peringkat ke-3 sebagai provinsi termiskin di Indonesia, setelah Papua dan Papua Barat.
Ini berarti politik pencitraan bukan tanpa masalah. Masalahnya adalah pencitraan yang pada mulanya hanyalah “alat” menyampaikan pesan dalam komunikasi politik, dalam kenyataannya, pencitraan justru menjadi “pesan” itu sendiri. Dengan politik pencitraan, masyarakat akan sulit membedakaan antara kebenaran dan kebohongan, kenyataan yang murni dengan kenyataan sebagai hasil rekayasa.
Politik pencitraan praktis menggiring masyarakat dalam dunia ilusi dan topeng yang menyembunyikan ketiadaan realitas, kata Yasraf Amir Piliang.
Perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat seperti sekarang ini digunakan secara baik oleh para politisi NTT dalam memaksimalkan penggunaan politik pencitraan. Hal ini dapat terbaca dari fenomena yang terjadi selama musim pemilukada ini.
Masyarakat bisa mengamati bagaimana para bakal calon kepala daerah dan barisan pendukungnya melakukan itu demi mendapat dukungan dari mayoritas rakyat. Politik pencitraan nampak jelas dari tulisan, slogan, agitasi, dan propaganda melalui atribut kampanye seperti baliho dan sebagainya.
Kalau sebelum musim pemilukada, para politisi jarang murah senyum, sementara menjelang pemilukada semuanya tersenyum selebar laut atlantik. Manakala pesta pemilukada sudah di ambang pintu, para politisi tampil sebagai seorang dermawan.
Maka, tidak mengherankan kalau bantuan sosial menjamur di berbagai tempat. Sementara itu, masyarakat juga bisa melihat gemerlap citra yang membahana di musim pemilukada terpancar dalam polesan wajah politisi usia lanjut seolah masih berusia muda. Semua politik pencitraan yang dilakukan oleh para bakal calon kepala daerah ini didasarkan pada keyakinan bahwa “politisilah yang menentukan citra, padahal sesungguhnya, “citralah yang menentukan politisi.
Citra Menentukan Politisi
Sesungguhnya menilai kelayakan dan kepantasan seorang politisi menjadi kepala daerah sangatlah sederhana. Seluruh masyarakat cukup mengetahui rekam jejak politisi yang bersangkutan. Politisi yang memiliki sejarah kesuksesan, kemampuan memimpin yang baik, tidak melakukan tindak pidana korupsi dan memiliki kemampuan intelektual yang memadai adalah calon yang layak dan pantas menjadi pemimpin.
Para politisi, terutama bakal calon gubernur dan wakil gubernur NTT, yang maju dalam pemilukada serentak kali ini kebanyakan wajah lama. Mereka semua pernah menjabat sebagai kepala daerah dan wakil rakyat.
Masyarakat tak perlu terpengaruh dengan pencitraan yang selalu dilakukan oleh para bakal calon gubernur dan wakil gubernur tersebut. Mengapa demikian? Sebab pencitraan merupakan sindrom ketidakpercayaan diri, ketakutan, dan kecemasan. Itu berarti semakin sering para politisi mencitrakan dirinya, semakin besar tingkat ketidakpercayaan diri, ketakutan, dan kecemasannya.
Kelayakan dan kepantasan seorang bakal calon menjadi gubernur dan wakil gubernur atau bupati dan wakil bupati tidak ditentukan oleh seberapa jauh ia mencitrakan dirinya sebagai bakal calon kepala daerah yang baik, tetapi kemampuan, kapabilitas, dan intergitas moral bakal calon kepala daerah itulah yang menentukan apakah ia pantas dan layak memimpin.
Rehabilitasi Citra Parpol
Parpol menjadikan pemilukada serentak sebagai kesempatan mengembalikan citra baik yang sudah semakin menipis. Karena itu, parpol berharap dengan mengusung bakal calon dari partai, maka masyarakat kembali percaya terhadap institusi parpol.
Sebagai sebuah harapan, ini bisa menjadi kenyataan tetapi juga bisa khayalan semata. Harapan parpol ini akan menjadi kenyataan mengandaikan parpol sendiri merubah pola pikir dan perilakunya. Namun, setelah mencermati dinamika internal partai politik pengusung yang terjadi belakangan ini, rupanya harapan itu bagai membangun rumah di angin persis karena pengusungan bakal calon oleh parpol seolah mengabaikan aspek mendasar yang seharusnya dilakukan parpol.
Karena situasi seperti ini, banyak masyarakat yang pesimis, heran, kecewa, dan kaget dengan bakal calon yang muncul. Sayangnya, dalam situasi seperti ini, masyarakat selalu berada pada posisi yang lemah lantaran secara regulasi tidak memiliki kewenangan untuk menolak calon yang diusung parpol.
Situasi ini layaknya sebuah pesta, semuanya sudah dihidangkan, tanpa peduli apakah yang dihidangkan itu layak atau tidak layak untuk dihidangkan. Demikian pula halnya dengan bakal calon yang diusung parpol. Parpol sudah mengusung bakal calon tanpa peduli apakah rakyat menerima atau menolaknya, masyarakat hanya bertugas untuk memilihnya.Tentu di titik ini, kita mengakui hal ini sebagai sisi lemah dari sistem demokrasi pemilukada langsung.
Kecerdasan Rakyat
Politik citra telah menggoda dan meneror kesadaran pemilih. Hal ini menyebabkan kekuasaan bukan lagi berada di tangan rakyat tetapi berada di tangan citra. Meminjam Yasraf Amir Piliang, inilah yang disebut dengan imagokrasi (imagocracy).
Dalam situasi seperti ini, rakyat dituntut berpikir cerdas bahwa pemilukada adalah peluang emas bagi rakyat untuk memilih pemimpin yang mampu menyelesaikan berbagai persoalan daerah selama lima tahun ke depan. Ini berarti memilih bakal calon kepala daerah yang baik sama dengan memperbaiki nasib rakyat.
Sebaliknya, memilih yang tidak baik, sama dengan mencemburkan diri dalam kubangan persoalan sosial. Lantas, adakah bakal calon pemimpin yang ideal di tengah gemerlap pencitraan politik seperti sekarang ini? Tentu mencari pemimpin yang sangat baik sulit ditemukan.
Mungkin masyarakat menemukan pemimpin yang sangat baik di planet lain, bukan di bumi ini. Dalam pemilukada serentak, masyarakat hanya dapat menemukan pemimpin yang kurang buruknya di antara yang buruk. Memilih pemimpin yang kurang buruknya (minus malum) dalam situasi daerah yang kian memburuk memang menyakitkan tetapi terpaksa harus dilakukan.***
*Penulis adalah tenaga ahli DPR-RI