Oleh: Aprianus Hale
Petani Belu, Mantan Ketua LMND Kota Kupang
Indonesia terkenal dengan Negara Agraris. Provinsi NTT yang merupakan bagian dari Indonesia juga turut menyandang predikat tersebut.
Namun realitas berbicara lain, kekayaan agraria ini belum mampu menjamin kehidupan yang layak bagi para petani. Petani lebih banyak menyandang predikit miskin, gizi buruk dan buta huruf.
Tulisan ini adalah secercah pengalaman pribadi saya ketika memulai pekerjaan sebagai petani di daerah asal saya di kabupaten Belu.
Awalnya, banyak orang yang tidak percaya ketika bertanya tentang pekerjaan saya dan mendapatkan jawaban bahwa Saya Adalah Petani.
Mulai dari waktu pembuatan KTP, bertemu kawan-kawan, hingga sampai pada berkenalan dengan cewek ketika PeDeKaTe, pertanyaannya soal pekerjaan ini selalu mendapat keraguan.
“Ah masa Petani ,” demikian reaksi spontan mereka penuh tanda tanya.
Reaksi tersebut seolah memunculkan sebuah anggapan bahwa pekerjaan sebagai Petani adalah pekerjaan rendahan yang kerap tidak mendapatkan tempat dalam status sosial.
Atas dasar itulah maka pada kesempatan ini saya mau sampaikan bahwa bertani adalah pekerjaan yang paling “Mulia”. Sebagai petani, kita turut menyelamatkan jutaan manusia di Bumi ini melalui hasil pertanian. Kebutuhan makanan seperti nasi, jagung, ubi, gandum, roti dan lain sebagainya adalah produk olahan dari hasil pertanian.
Dengan demikian jika tidak ada petani maka tidak akan ada manusia yang mampu bertahan hidup.
Namun patut diakui bahwa reaksi keraguan menjadi petani dari kawan-kawan atau kaum hawa di atas memang sesuai dengan realita di Indonesia, khususnya di NTT. Petani memang identik dengan kemiskinan, gizi buruk dan Buta Huruf.
BACA: Menengok Ternak Babi Kades Lewoawang
Pertanyaannya, apa yang salah dengan sistem pertanian di Indonesia dan NTT khususnya sehingga selalu menempatkan petani dalam kelas bawah dalam ranah sosial?
Realitas ini berbanding terbalik dengan pengalaman saya selama setahun di Israel. Di sana, petani adalah pekerjaan yang membanggakan dan semua orang berlomba-lomba untuk menjadi petani dari pada menjasi ASN. Malah di Israel menjadi ASN atau PNS itu dianggap sebagai pekerjaan yang hina.
Masalah Pertanian NTT
Di NTT khususnya di daerah asal saya, Belu, kesejahtraan petani memang masih jauh panggang dari api. Pasalnya masih banyak manajemen pengembangan pertanian yang tumpang tindih. Selain itu masih banyak masalah seperti:
1. SDM atau skill para Petani yang masih rendah yang berakibat pada produktivitas hasil pertanian yang rendah dan tidak ada kontinuitas produksi;
2. Minimnya fasilitas pendukung usaha pertanian seperti air embung, sumur bor, dll;
3. Minimnya modal usaha untuk bertani;
4. Akses pasar bagi petani yang rendah karena selalu terjadi fluktuasi harga di pasaran;
5. Tidak adanya peran aktif pemerintah (Perangkat Dinas Pertanian, perangkat Dinas Perindustrian dan Perdagangan serta kebijakan dari eksekutif dan legislatif yang tidak pro pada pertanian).
Fakta ini makin miris jika melihat potensi lahan pertanian dan jumlah Petani di NTT yang hampir di atas 50%. Ini artinya jika pemerintah fokus saja untuk menggerakan Pertanian maka akan turut mendukung pertumbuhan ekonomi masyarakat dan pendapatan daerah.
Jadi menurut saya, untuk mengembalikan harkat dan martabat para petani sekaligus meningkatkan animo masyarakat khususnya kaum muda untuk bertani, pemerintah dan semua pihak yang terkait harus berani menciptakan Sistem Manejemen Pertanian Yang Produktif yaitu:
Pertama, melakukan pendataan ulang semua masyarakat yang ber-KTP Petani dan pastikan bahwa setiap warga negara yang ber-KTP Petani memiliki kebun. Soalnya, banyak orang yang bekerja sebagai petani namun tidak memiliki kebun.
Kedua, data ulang setiap kebun petani tersebut dari segi luas lahan dan jenis tanamnya. Berikut data mengenai kondisi tanah, air dan iklim (cuaca) untuk mengetahui masalah pertanian pada regional wilayah tertentu.
Ketiga, pembagian wilayah komoditi untuk setiap wilayah sesuai kondisi wilayahM. isalnya di Belu, wilayah Lamaknen fokus untuk tanam bawang, kopi wortel dan kentang, sedangkan kecamatan Raimanuk bagian atas fokus untuk tanam ubi kayu dan kacang hijau. Sementara bagian Raimanuk bagian bawah fokus pada tanaman tomat, lombok, dan kangkung. Begitu juga di kecamatan lain di Belu dan NTT pada umumnya.
Keempat, memberikan modal usaha serta mengefektifkan peran PPL (Pegawai Pendamping Lapangan) untuk pendampingan petani melalui pembentukan kalender tanam pada setiap komoditi tersebut guna menjaga kontinuitas produksi dan menjaga tidak adanya over produksi yang berakibat pada rendahnya harga jual.
Kelima, mengaktifkan BUMDES guna menjadi pasar bagi para petani dengan harga jual yang diatur sesuai dengan standarisai harga per komoditi untuk memperpendek jalur pemasaran hasil pertanian. Kemudian bekerja sama dengan BUMD melalui dinas perindustrian dan perdagangan untuk tahap eksport produk pertanian atau tahap home industri dan seterusnya.
Jikalau demikian maka Petani dan juga luas lahan pertanian yang ada akan turut mengubah derajat petani yang tadinya dinilai sebagai pekerjaan rendahan menjadi pekerjaan yang membanggakan serta mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat NTT.
Dengan sistem pertanian seperti ini dapat dipastikan tidak ada lagi skill rendah dan produksi rendah karena PPL telah bekerja efektif. Tidak ada lagi yang mengeluhkan modal usaha karena negara menyediakan modal usaha.
Tidak ada lagi fluktuasi harga jual karena ada jaminan pasar bagi setiap komoditi pertanian. Serta tidak ada lagi human trafficking karena ada pekerjaan yang bisa menghidupkan setiap orang di daerahnya sendiri tanpa harus merantau ke luar negeri.
Setiap orang akan giat bekerja karena ada kepastian untuk mendapatkan keuntungan demi meningkatkan ekonomi petani dan pendapatan daerah.
Dengan demikian petani menjadi kaya, PAD daerah meningkat dan rakyat menjadi sejahtera. Semoga di momentum pemilihan gubernur dan wakil gubernur NTT tahun ini rakyat NTT khususnya Petani dapat jeli memilih pemimpin yang bisa menjawab kebutuhannya melalui pencanangan program di atas.***