Oleh: Eras San
Kembali kita menyaksikan kejamnya aksi terorisme di Indonesia. Ledakan bom di beberapa tempat di Surabaya menandakan bahwa kaum ekstrimis masih berada di tengah-tengah kita. Kemunculan kaum ekstrimis atau radikalis di ruang publik melalui aksi teror membuat masyarakat hidup dalam bayang-bayang teror.
Kaum radikalis ini tidak segan dalam melancarkan serangannya, membunuh pun dilegalkan selama itu benar menurut pemahaman mereka. Pemahaman ini tentu tidak terlepas dari Indoktrinasi yang sesat.
Pasca aksi teror di Surabaya, kecaman muncul dari berbagai kalangan. Persepsi masyarakat pun terpecah. Satu sisi banyak orang beranggapan bahwa Badan Intelejen Negara (BIN) kita lemah dalam mencegah aksi teror tersebut.
Di sisi lain, stigma negatif terhadap agama tertentu kembali mencuat. Bahwasannya ajaran agama tertentu tidak manusiawi.
Pada dasarnya, pasca serangan tersebut masyarakat cenderung menyalahkan pihak tertentu. Anggapan terakhir ini sangat berbahaya karena itu berpotensi kepada keterpecahan. Dan hal itu tidak dianjurkan dalam kehidupan bernegara.
Namun dibalik semua anggapan itu, muncul tanya bagaimana cara radikal untuk melawan gerakan radikalisme, ekstrimis atau terorisme.
Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis mencoba menelaah persoalan maraknya aksi teror dengan menganjurkan satu gerakan bersama yakni deradikalisasi.
Terorisme
Ditilik dari sisi bahasa, kata “terorisme” berasal dari kata “to terror” dalam bahasa Inggris. Dalam bahasa Latin kata ini disebut Terrere, yang berarti “gemetar” atau “menggetarkan”. Kata terrere adalah bentuk kata kerja dari kata terrorem yang berarti rasa takut yang luar biasa.
Sehingga secara kasar dapat dikatakan bahwa terorisme adalah segala sesuatu yang bertujuan menimbulkan ketakutan yang luar biasa pada masyarakat. (Bakti, 2016: 28).
Kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan teror sebagai usaha untuk menciptakan ketakutan, kengerian dan kekejaman oleh seseorang atau golongan tertentu.
Pada dasarnya tujuan teror adalah tindakan yang membuat pihak lain terancam. Dalam konteks Indonesia terorisme selalu diafiliasikan dengan serang bom bunuh diri.
Namun, jika kita memahaminya dari arti katanya, paham terorisme di Indonesia sebenarnya terlalu sempit. Teror semestinya adalah semua tindakan yang membuat pihak lain terancam.
Membuat pihak lain terncam tentu tidak melulu hanya soal bom tetapi bisa berupa aksi lain misalnya persekusi dan tindakan lainnya bertujuan mengancam.
Islam Radikal
Motif dasar aksi terorisme di Indonesia sendiri tidak jelas. Walau dalam diskusi publik, aksi terorisme di Indonesia selalu diafiliasikan dengan gerakan Islam radikal yang ingin menegakkan Syariat Islam.
Bahwasannya aksi teror di beberapa tempat di Indonesia beberapa hari belakangan dipelopori oleh Islam garis keras atau Islam radikal. Kelompok ini tidak segan membunuh sesama manusia demi menegakkan ideologinya.
Namun, ajaran Islam sendiri tidaklah demikian. Ajaran Al-Qura’an tentang toleransi, antara lain dapat ditelusuri dari penjelasannya tentang keadilan, kebajikan, perdamaian dan lain sebagainya.
Bahkan, penamaan agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW “al-Islam” sebenarnya telah cukup menjadi bukti bahwa kedatangan Islam adalah untuk menghadirkan rahmat dan kedamaian bagi alam semesta.
Sementara itu, kedamaian tidak akan terwujud tanpa adanya suasana toleransi di tengah realitas kemajemukan yang tak terhindarkan.
Di atas telah dijelaskan bahwa toleransi merupakan sikap terbuka menghadapi perbedaan. Di dalamnya terkandung sikap saling menghargai dan menghormati eksistensi masing-masing pihak.
Dalam kehidupan yang toleran, keseimbangan dalam hidup mendapatkan prioritasnya. Keanekaragaman tidak diposisikan sebagai ancaman, namun justru peluang untuk saling bersinergi secara positif. (Bolong, 2013: 30-31)
Hemat penulis, Islam itu cinta damai dan tidak ada satu pun agama yang melegalkan aksi pembunuhan di dunia. Oleh karena itu, anggapan berupa stigma negatif terhadap agama Islam harus disingkirkan dalam diskursus terorisme di Indonesia. Kaum radikalis hanya memakai jubah agama untuk melancarkan aksi terornya. Dan itu menimbulkan perpecahan di antara kita.
Deradikalisasi
KBBI mengartikan deradikalisasi sebagai praktik mendorong penganut ideologi agama atau politik yang radikal untuk mengadopsi pandangan yang lebih moderat. Intinya deradikalisasi adalah lawan dari radikalisasi.
Dalam KBBI radikal sendiri diartikan sebagai mendasar (sampai pada hal yang prinsip), sikap politik amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan), maju dalam berpikir dan bertindak.
Dari pengertian ini, dapat disimpulkan bahwa radikalisme adalah suatu paham yang dibuat-buat oleh sekelompok orang yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan.
Dalam gerakan deradikalisasi tujuan pertama dan utama adalah agar individu lebih moderat dalam kehidupan bernegara. Moderat itu terejahwantah dalam praktek toleransi, pancasilais, damai dalam kehidupan bersama dan anti kekerasan.
Gerakan deradikalisasi di dalam masyarakat dapat dilaksanakan melalui beberapa instrumen berikut:
Pertama, Lembaga Pendidikan; Peran lembaga pendidikan sangat krusial dalam mencegah paham radikalisme. Jalur pendidikan dinilai efektif untuk mencegah menyebarnya aliran radikalisme. Pelajar diberikan gambaran mengenai radikalisme. Kemudian mengampanyekan bahaya radikalisme kepada masyarakat luas dan menganjurkan gerakan deradikalisasi.
Dalam hubungnnya dengan gerakan ini, Wakapolri Komjen Syafruddin mengatakan, program deradikalisasi melalui pendidikan terus berjalan. Program ini dikelola Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Polri, Kemendikbud, dan sejumlah kementerian serta lembaga negara juga terlibat aktif.
Program deradikalisasi ini masuk ke perguruan tinggi, SMP, dan SMA sederajat. Pemahaman mengenai deradikalisasi juga masuk ke dalam kurikulum, sehingga siswa mudah memahami program ini. (RepublikaOnline, 28/12/16).
Keterlibatan lembaga pendidikan dalam mensosialisasikan gerakan deradikalisasi adalah suatu keharusan. Mengutip pernyataan Malala Yousafzai, peraih Nobel perdamaian,” Senjata mampu menewasakan teroris, tetapi pendidikan mampu menghilangkan paham terorisme (radikalisme)”. Oleh karena itu, lembaga pendidikan memiliki peran penting dalam melawan gerakan radikalisme.
Kedua, Keluarga; sebagai lembaga sosialisasi pertama dalam masyrakat, keluarga memiliki peran penting dalam melawan paham radikalisme. Peran keluarga dalam upaya penyelesaian terorisme sangat penting.
Mengapa remaja rentan terjebak dan terpengaruh oleh doktrin-doktrin radikalisme? Salah satu penyebab terjerumusnya remaja pada aksi-aksi terorisme adalah kurangnya perhatian keluarga.
Seringkali para remaja kurang mendapat perhatian khusus dari keluarganya, baik karena factor ekonomi, kesibukan orangtua atau setidaknya tidak ada pendidikan yang tepat dalam keluarga. (Bakti, 2016: 183)
Akibat kurang perhatian keluarga, seorang remaja pun mencari perhatian sendiri di luar keluarganya. Dalam proses pencarian jati diri ini kemudian ia bertemu dengan orang lain yang membawa ideologi keliru seperti radikalisme atau terorisme. Akibat keseringan bertemu ia pun menjadi anggota kelompok aliran radikal tersebut.
Persoalan di atas dapat diatasi jika orang tua menjalin komunikasi yang baik dengan anaknya. Pendidikan toleransi dalam keluarga sangat berguna bagi seorang anak mana kala kelak ia bersosialisasi dengan orang lain.
Anak harus diajarkan pendidikan Pancasila, agar ia menjadi seorang pancasilais. Pendidikan Pancasila ini pada tempat pertama adalah agar anak menghargai dan menghormati sesama manusia.
Melalui gerakan pendidikan deradikalisasi dalam keluarga diharapkan paham radikalisme dengan sendirinya akan hilang.
Ketiga, Lembaga Agama: Terlepas dari indahnya ajaran agama, memang harus diakui, bahwa salah satu faktor terorisme adalah karena motivasi agama, yaitu karena proses radikalisasi agama dan interpretasi serta pemahaman keagamaan yang kurang tepat dan keras yang pada gilirannya melahirkan sosok fundamentalis yang cenderung ekstrem terhadap kelompok lain dan menganggap orang lain yang berbeda sebagai musuh sekalipun satu agama, apalagi berbeda agama.
Teks-teks agama ditafsirkan secara sempit. Kebenaran agama menjadi barang komoditi yang dapat dimonopoli. Ayat-ayat suci dijadikan justifikasi untuk melakukan tindakan radikal dan kekerasan dengan alasan untuk menegakkan kalimat Tuhan di muka bumi ini. Aksi radikalisme inilah yang sering mengarah ke arah aksi teror. (Qodir, Jurnal Pendidikan Islam, No. 1, Vol. 2, Juni 2013: 87-88 )
Menimbang kenyataaan yang digambarkan di atas, maka peran agama dalam rangka melawan radikalisme perlu digalakkan. Lembaga agama melalui tokoh agamanya masing-masing harus memberikan pendidikan agama yang moderat.
Pendidikan yang mana di dalamnya diajarkan tentang toleransi dan menghargai perbedaan pandangan atau keyakinan dalam realitas plural di Indonesia.
Dengannya seorang penganut agama akan memiliki pandangan hidup seturut ajaran agamanya. Lebih lanjut, dalam relasinya di tengah masyarakat ia tidak akan merugikan pihak lain sekalipun keyakinannya berbeda.
Penulis kemudian menyimpulkan, terorisme dan gerakan deradikalisasi adalah dua gerakan yang memiliki hubungan. Paham Radikalisme yang menjurus kepada aksi teror pada dasarnya adalah terjadi karena nilai yang diajarkan itu anti toleransi, anti HAM dan anti Pancasila.
Namun dengan gerakan deradikalisasi kita optimis bahwa kaum ekstrimis, radikalis dan fundamentalis tidak mendapat tempat di NKRI. Karena dalam gerakan deradikalisasi nilai yang diajarkan sangat moderat dan pro Pancasila. Oleh karena itu, gerakan deradikalisasi ini harus didukung oleh semua pihak agar kehidupan kita aman.
Penulis adalah Mahasiswa STFK Ledalero