Oleh Lasarus Jehamat
Dosen Sosiologi Fisip Undana Kupang
Politik elektoral selalu memunculkan dua kondisi sekaligus. Kemenangan di satu sisi dan kekalahan pada titik yang lain. Kemenangan berimplikasi pada kebahagiaan bagi pemenang dan kesedihan bagi yang kalah.
Dua kondisi ini merupakan realitas fragmentatif yang terbawa sejak kontestasi dimulai. Berbagai kelompok dan elemen yang bertarung merebut kekuasaan akhirnya harus mengakui kemenangan satu dua orang dan menerima kekalahan dengan lapang dada. Itulah rumus umum demokrasi.
Di ruang fragmentatif itu pula, semua soal diproduksi dan direprodukasi berkali-kali. Yang paling sering ialah konstruksi pola pikir, perilaku serta sifat kelompok lain. Untuk mendukung proses itu, etnis, agama, golongan dan lain sebagainya ditarik masuk ke kanal politik. Di sana, orang dan kelompok lain akan dianggap musuh dan menjadi entitas lain dari kelompok inti. Dikotomi dalam dan luar; kita dan mereka menjadi sangat kental.
Di titik yang lain, saat kontestasi berlangsung, semua janji dan sumpah diobral ke tengah pasar politik. Rakyat dan pemilih ditawari beragam produk dan sejuta impian. Beragam isu dan jargon mulai diciptakan dan disebarkan untuk tujuan kohesivitas internal guna menyerang kelompok eksternal. Sungguh merisaukan hati sebenarnya.
Benar bahwa kalau tidak ada faksi-faksi politik, bukan politik namanya. Sulit ditolak jika liberalisasi politik mengandaikan adanya fragmentasi politik. Sebab, liberalisasi politik mendukung realitas itu. Liberalisasi politik mengandaikan adanya pengakuan akan hak politik individu dan kelompok. Itulah awal mula fragmentasi politik itu. Masalahnya, fragmentasi politik tidak dipahami sebagai sebuah faktisitas sosial tetapi terus didorong hanya untuk mendapatkan kekuasaan politik semata.
Di ruang demokrasi, realitas seperti itu masuk dalam kategori demokrasi prosedural. Dalam ruang demikian, elit kekuasaan yang haus kekuasaan berusaha mendapatkan dukungan politik untuk tujuan politiknya itu.
Dalam perkembangan politik dan demokrasi secara khusus, realitas polarisasi menjadi sebuah faktisitas. Masalahnya, elit politik berusaha meruncing perbedaan itu untuk mencapai tujuan kekuasaan individu. Rakyat adalah kekuatan itu sendiri. Dengan demikian, baik kalau rakyat itu diikat untuk satu dua tujuan sempit itu. Elit tidak pernah mengajarkan penting dan urgennya perbedaan. Watak arogan ‘binatang’ akan nampak jelas dalam politik yang melibatkan manusia.
Di ruang yang lain, partai politik yang bertugas melakukan pendidikan politik enggan menjalankan tugasnya itu dengan baik. Sebab utamanya karena partai menjadikan rakyat sebagai komoditas dan memang komoditas.
Rakyat pemilih benar-benar dibuat hanya sebagai obyek politik semata. Partai politik tidak mengajarkan cara mengadvokasi kepentingan jika dikemudian hari pemimpin politik tidak dapat menjalankan amanah yang telah ditetapkan dan digariskan bersama.
Akibatnya, impian untuk menciptakan kecerdasan politik menjadi amat utopia. Sia-sia belaka.
Masih Transisif
Merujuk Huntington, Almond, dan Lijphart, Warganegara (2011), mengatakan bahwa transisi demokrasi di Indonesia harus dilihat dan diukur dari lima indikator berikut ini.
Kelima indikator itu adalah konsistensi politik dengan pertumbuhan dan pemerataan di bidang ekonomi, liberalisasi politik, bentuk sistem politik, sistem kepartaian, pragmatisme.
Membaca realitas politik Indonesia dalam dua dasawarsa terakhir, sulit untuk tidak mengatakan bahwa aspek pengejaran kekuasaan jauh melampaui esensi politik itu sendiri (kesejahteraan bersama). Semua orang yang ingin terlibat untuk melihat perkembangan politik Indonesia memang akan kagum dan kaget. Negara (orde baru) dengan otoritarianisme paling ditakuti di jagad ini ternyata bisa dihancurkan dalam hitungan bulan.
Problemnya adalah ketidaksiapan sistem dan infrastruktur politik untuk demokrasi sebelum demokrasi itu muncul di Indonesia tahun 1998. Semua orang hanya sibuk menurunkan rezim orde baru dari singga sana kekuasaannya. Sistem politik menjadi terlupakan sama sekali. Akibatnya, kita tidak memiliki cukup landasan untuk menjalankan demokrasi di negara ini. Kenyaataan itu bisa diperiksa dari lima indikator yang disampaikan Warganegara di atas.
Di bidang politik, demokrasi, akan berkembang dengan baik jika diikuti dengan demokrasi dalam ranah ekonomi. Pemerataan kesempatan berusaha dalam bidang ekonomi macet untuk kasus Indonesia. Hampir semua aset ekonomi dikuasai oleh sisa-sisa rezim dan kekuatan di luar rezim yang memang telah mapan.
Rakyat, sebagai pemilik sah, hanya mendapatkan tetesan kecil. Rakyat menjadi tambah miskin. Kelemahan sistem politik menyebabkan arah perkembangan demokrasi tidak ke level yang baik tetapi malah menjurus ke liberalisasi politik.
Liberalisasi politik mengandaikan elemen politik berikut infrastrukturnya telah tersedia dan aktornya sudah memiliki pemahaman yang cukup untuk itu. Elit politik dan kekuasaan ddi Indonesia tidak pernah melakukan hal itu untuk kemaslahatan rakyatnya. Implikasinya, kita tidak memiliki sistem politik yang jelas sebagai landasan gerak dalam berpolitik.
Selain karena ketidakmampuan negara dalam menyiapkan sistem politik, persoalan waktu yang terlalu cepat membuat elemen politik mengambil jalan pintas. Infrastruktur politik semisal partai politik akhirnya menjadi calo dan broker politik. Partai tidak pernah menanamkan ideologi dan nilai politik asali yang menempatkan rakyat sebagai primus.
Kewajiban imperatif
Dua hal yang mesti dilakukan oleh pemenang kontestasi. Pertama, membangun kembali benang kusut relasi sosial masyarakat yang terfragmentasi. Kedua, membuktikan janji di pasar politik saat kampanye ke dalam bentuk kebijakan yang sesuai. Yang pertama berkaitan dengan pembangunan kembali kekuatan sosial yang terpecah dan nyaris hancur karena realitas frgmentatif pilkada dan kedua berhubungan dengan praksis pemerintahan yang dijalankan.
Realitas polarisasi dan fragmentasi jelas memiliki dampak lanjutan. Pertarungan dua dan lebih kelompok berdampak tidak hanya secara politik tetapi juga sosial.
Secara sosial, hukum kekeluargaan nyaris hilang berantakan. Persatuan menjadi harga mahal di sana. Kekuatan sosial melemah karena polarisasi politik. Di titik yang lebih ekstrim, konflik bahkan dilakukan secara terbuka. Peperangan dan pembunuhan fisik dan karakter terjadi di mana-mana.
Di level politik, fragmentasi kemudian berujung pada polarisasi kebijakan yang diambil pihak yang menang dalam kontestasi. Rumus politiknya jelas. Sulit bagi calon yang telah dinyatakan menang untuk tidak memerhatikan kelompok pendukungnya. Sebaliknya, harapan akan munculnya egalitarianisme kebijakan oleh kelompok yang kalah perlu ditahan karena watak egoistik pemimpin dan kelompok. Hal-hal ini menjadi catatan penting bagi setiap pemenang pilkada.
Selanjutnya, Huntington (1991) menyodorkan empat skenario untuk membumikan nilai-nilai demokrasi politik ke dalam bentuk kebijakan. Keempat skenario tersebut adalah transformasi (tranformation), replacement (pergantian), aksi bersama (transplacement) dan intervensi (intervension).
Transformasi mengandaikan adanya perubahan baik dari aspek sistem politik, aktor politik, lembaga politik dan elemen politik lain. Transformasi harus dilakukan dari dalam dan luar kekuasaan. Syaratnya adalah kemauan pemenang kontestasi untuk mengubah dirinya sendiri oleh kekuatan luar. Kekuatan luar yang dimaksud adalah kekuatan masyarakat sipil berbasis nilai-nilai lokal ke-Indonesiaan.
Di titik yang lain, kontestasi politik (Pilkada) merupakan salah satu cara dari upaya pergantian itu. Harapan akan munculnya kekuatan baru dalam perkembangan politik dan demokrasi harus terus diupayakan. Caranya, membumikan nilai-nilai demokrasi secara konsisten dengan kontrol ketat elemen masyarakat sipil.
Di aspek intevensi, gerakannya harus dimulai dari penggalian, penanaman, pelaksanaan dan pelembagaan nilai-nilai politik berbasis nilai lokal kita. Posisi ideologi penjadi penting di sini. Tanpa itu, politik kita hanya berkutat dengan politik kekuasaan dan bukan politik substansial.
Dosa besar rezim yang menjadi pemenang dalam setiap kontestasi ialah ketidakkonsistenan menjaga trusting (kepercayaan). Yang dimaksudkan ialah mengabaikan semua janji politik oleh kilauan kekuasaan.
Di sini, materialisme politik harus disebut. Materialisme politik ialah upaya pembumian janji politik saat kampanye ke dalam berbagai bentuk kebijakan politik prorakyat.