Editorial, Vox NTT- Aksi heroik Yohanes Andikala alias Joni (13), siswa SMP Negeri Silawan, kecamatan Tasifeto Timur, kabupaten Belu, provinsi NTT berhasil menyedot perhatian rakyat seantero negeri.
BACA: Tali Bendera Putus, Pelajar SMP di Mota’ain Nekat Panjat Tiang
Aksi spontan Joni yang memanjat tiang bendera setinggi 9 meter demi membetulkan tali yang putus itu, juga mendapat apresiasi dari pemerintah pusat.
Selain mendapat beasiswa dari PLN hingga jenjang S1, pemerintah melalui Menteri Pemuda dan Olah Raga, juga mengundang Joni beserta kedua orangtuanya ke Jakarta untuk menerima penghargaan.
Seperti mimpi di siang bolong, pukul 08.00 Wita, Sabtu (18/08/2018) pagi, keluarga Joni terbang ke Jakarta dari sebuah kampung kecil di ujung perbatasan RI-Timor Leste. Mereka berangkat menggunakan Pesawat Batik Air dengan nomor penerbangan ID 6541.
Berbagai pihak menyebut aksi heroik Joni sebagai bukti nasionalisme orang perbatasan NTT.
Aksi si Joni kecil mengisyaratkan bahwa bibit nasionalisme di provinsi terluar, terpencil dan tertinggal ini terus bertumbuh subur memperkuat keutuhan NKRI.
Publik Indonesia seakan diajarkan Joni untuk tidak hanya memaknai hari proklamasi sebagai nasionalisme-seremonial belaka, tetapi memaknai nasionalisme dalam tindakan nyata.
Dengan viralnya aksi Joni di sosial media, publik yang sebelumnya berpusat pada perayaan 17 Agustus di Jakarta, beralih menengok ke NTT. Nama NTT pun menjadi buah bibir masyarakat Indonesia.
Bagaimana dengan NTT? Pertanyaan ini tentu layak disambungkan ke daerah asal Joni.
Apakah aksi ini hanya berbuah pujian nasionalisme orang NTT yang memang sudah terbukti sejak awal negara ini lahir?
Terus terang saja, pujian nasionalisme itu sudah biasa disematkan ke NTT. Sejarah tak menyangkal bahwa Pancasila lahir dari provinsi yang terkenal dengan kemiskinan akut ini.
Begitu pula dengan nilai toleransi. Tanpa pujian dan penghargaan sekalipun NTT sudah toleransi sejak zaman nenek moyang. Bahkan walaupun ditempa oleh kemiskinan akut, daerah ini tetap setia merawat nasionalisme.
Bangga dengan predikat ini tentu wajar saja. Namun apakah nasionalisme manusia NTT bisa mengeluarkan mereka dari kemiskinan, kebodohan, perbudakan dan ketertinggalan akses pembangunan? Tentu tidak.
Aksi Joni sebenarnya ingin mengajak pemerintah pusat dan seluruh rakyat Indonesia untuk bertolak lebih dekat melihat NTT.
Persoalan yang terus mendera NTT hingga saat ini adalah kemsikinan, korupsi dan perbudakan manusia.
Angka kemiskinan tidak banyak berubah, korupsi terus melejit, perbudakan dan penjulan orang terus menghimpit orang NTT dalam lubang kematian.
Akibat kemiskinan dan kebijakan yang salah, ribuan orang NTT terpaksa mencari rejeki di luar negeri. Mereka pergi karena daerah ini tak memungkinkan lagi mendapat sepiring nasi.
Alhasil, walaupun ditipu dan menyaksikan langsung saudara mereka yang yang terus pulang dalam peti jenazah, migrasi orang NTT mencari pekerja di luar negeri terus bertambah.
Mereka tetap berharap mendapat berkat di negeri jiran. Mereka pergi membawa harapan, namun tak sedikit yang pulang tanpa nyawa. Tubuh mereka penuh luka, memar, jahitan, bahkan kehilangan organ tubuh. Tercatat, ratusan TKI korban penjulan orang telah pulang tanpa nyawa.
Tahun 2018 saja, meksi belum tutup tahun, sudah tecatat 68 orang pulang dengan peti jenazah. Itu artinya dari Januari-Agustus, setiap bulan NTT dikirim 8-9 peti jenazah.
Apakah ini buah dari nasionalisme orang NTT?
Selama 73 tahun Indonesia merdeka, penghisapan antar sesama manusia nyatanya belum sirna dari provinsi ini. Nilai kemanusiaan orang NTT terus diinjak setara binatang.
Jika sedikit menilik sejarah, sebetulnya, sejarah perbudakan di wilayah NTT sudah dimulai sejak tahun 1518.
Duarte Barbosa, geografer Portugis, mencatat budak sebagai salah satu komoditas perdagangan dan institusionalisasi perbudakan diperkenalkan lewat hadirnya VOC, perusahaan dagang Belanda (Hagerdal, 2010).
Menurut catatan Salomon Muller yang dikutip Elcid Li dalam artikelnya ‘Metamorfosis Perbudakan NTT’ yang dimuat harian IndoProress (26/01/2017), menyebut pada tahun 1829 di Kota Kupang terdapat 1.200 orang budak.
Pasar budak masih ditemukan di Maunura (Ende) hingga tahun 1878, meskipun perbudakan sudah dilarang sejak tahun 1860 (Ormeling 1956).
Dalam sejarahnya para pedagang yang datang ke wilayah NTT membeli tiga komoditas utama: cendana, madu dan budak (Hagerdal 2010; Parimarta 2002; Ormeling 1956).
Sejarah dan realitas NTT masa kini yang masih terjajah oleh sistem perbudakaan, menjadi fakta miris di era 73 tahun Indonesia Merdeka.
Realitas ini sebetulnya yang harus dihayati dari aksi heroik si Joni. Bahwa terkadang nasionalisme hanya menjadi proyek politik yang hanya habis pada narasi dan seremonial tetapi minus aksi.
Nasionalisme pada akhirnya hanya menjadi narkoba yang membuat orang NTT ketagihan dengan pujian.
Hidung boleh saja kembang kempis, namun selama masih ada kemiskinan, ketidakadilan, perbudakan manusia dan korupsi yang merajalela, nasionalisme itu hanyalah ekstasi sosial alias semu.
Jangan sampai pujian nasionalisme hanya sebagai ‘permen’ yang mengiming-imingi rintihan tangis orang NTT dari penderitaan berkepanjangan, namun di baliknya tersimpan duka kemanusiaan yang terus mengendap.
Sebagaimana iman tanpa perbuatan adalah mati, begitu pula nasionalisme tanpa aksi nyata kemanusiaan hanya memperlebar jurang kematian bagi orang NTT. Terima kasih Joni!
Penulis: Irvan K