Oleh: Rio Nanto
*) Penulis adalah Ketua Kelompok Menulis Koran dan Diskusi Filsafat Ledalero
Kehadiran mahasiswa dalam sejarah telah terbukti membawa perubahan dalam tatanan kehidupan masyarakat. Posisi dan peran serta pelbagai keunggulannya menjadikan mahasiswa sebagai agen perubahan (agent of change).
Pada tahun 1908, misalnya mahasiswa menjadi pelopor kebangkitan nasional. Mahasiswa angkatan 1928 menjadi aktor sumpah pemuda yang menyatukan seluruh etnisitas dan kedaerahan dalam satu tanah air, satu bangsa dan satu bangsa.
Angkatan 1945 mengantar Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan. Pada tahun 1966, mahasiswa yang terorganisir mampu menggulingkan rezim Soekarno. Hal yang sama terulang dalam Orde baru dengan tumbangnya rezim Soeharto yang mampu menghantar Indonesia pada pembabakan politik reformasi.
Pada akhirnya revolusi demokrasi yang dipelopori oleh mahasiswa itu menuntaskan sejarah baru dalam politik Indonesia di mana Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 di hadapan bangsa Indonesia.
Pengalaman sejarah tersebut membuktikan bahwa mahasiwa memiliki urgensi dalam memperjuangan kepentingan politik. Melalui tulisan sederhana ini, Penulis coba menganalisis peran mahasiswa para era kekinian dalam menyibak tirai desakralisasi politik yang telah kehilangan spirit reformasi. Namun, berhadapan dengan mental mahasiwa reformasi yang mengalami paradoks kepentingan, maka Penulis menawarkan pembentukan diri mahasiswa sebagai agen perubahan bangsa.
Desakralisasi Politik
Esensi sakralitas politik mengalami dekadensi masif dalam format politik Indonesia pada era kekinian. Politik tidak lagi menjadi instrumen kesucian untuk mengabdi pada kesejahteraan umum.
Politik diprivatisasi untuk kepentingan parsial, pragmatis dan opurtunis elite kekuasaan. Politik menjadi rahim yang melahirkan ketidakadilan multidimensi kehidupan. Rakyat pada akhirnya menjadi korban kebijakan politik.
Sampai di sini kita mengafirmasi bahwa politik telah didekonstruksi dan direduksi untuk kepentingan elite yang memilki posisi strategis dalam syahwat kekuasaan.
Para politisi tampil di panggung politik dengan mempertontonkan perilaku deviatif dan kontrovesial. Hospitalitas ditunjukkan ketika menjelang perhelatan pemilu. Para politisi ‘merayu’ rakyat dengan janji-janji politik tetapi ketika menduduki jabatan strategis rakyat dieksploitasi untuk kepentingan ekonomi.
Hal ini jamak terjadi dalam realitas politik yang membuat rakyat mengidap “trauma politik”. Sebab politik telah melupakan spirit dasar sebagai empati sosial yang mengabdi pada kesejahteraan umum.
Merujuk pada pemikiran Featherstone, dunia perpolitikan kita menjadi dunia seolah-olah (virtual reality). Dibuat negara demokrasi tetapi nepotisme bertumbuh subur. Fokus pada divestasi, namun kebanyakan memperkaya kantong pribadi. Target pemberantasan korupsi namun selalu ada jalan untuk berkonspirasi dengan koruptor.
Maka benarlah dalam hal ini peringatan Lord Acton bahwa power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely telah menjadi panorama kekuasaan dalam lanskap politik Indonesia. Secara intensif berbagai akrobat politik dipertontonkan tetapi secara substansi menyangkal dan mengingkari realitas.
Kecenderungan politik ini melupakan aspek utama (publik), dengan segala kerumitan problem sosial ekonomi paling konkret. Mencuat suatu infeksi politik – Menurut Max Regus. Politik Indonesia merusak refleks-refleks yang dikondisikan (conditioned reflexes) masyarakat untuk tetap menjadikannya impian bagi Indonesia baru. Kondisi ini membuat rakyat mengidap ‘trauma politik’.
Rakyat menghukum politik dengan apatisme dan anarkisme. Rakyat menaruh skeptisisme pada politik karena politik identik dengan intrik-intrik busuk, kotor dan menjijikan.
Mahasiwa dan Politik: Rejuvinasi Sakralitas Politik
Fenomena desakrilitas politik inilah yang mendominasi lanskap politik era reformasi. Berhadapan dengan persoalan ini dibutuhkan sinergisitas setiap komponen bangsa untuk mengusung kembali sakralitas politik. Bahwasanya politik pada galibnya menjadi instrumen pencapaian kesejahteraan umum.
Salah satu komponen penting bangsa dalam menggagas perubahan itu adalah mahasiswa. Peran mahasiswa sangat besar sekali dalam lajur histori sejak kebangkitan Indonesia 1908 hingga sekarang ini. Mahasiswa adalah kaum intelektual yang memiliki wawasan luas serta kecakapan akademis mumpuni. Melalui pelbagai pengetahuan di perguruan tinggi, dia menjadi guardians of values dan agent of change dalam kehidupan berbangsa.
Berhadapan dengan fenomena politik Indonesia yang carut marut, mahasiswa dapat mengusung perubahan dengan memberikan solusi yang tepat. Mahasiswa memang identik dengan pemuda. Namun, tidak semua pemuda berkesempatan mengenyam pendididkan di perguruan tinggi.
Oleh karena itu, mahasiswa sendiri menanggung beban moral yang lebih dalam memajukan bangsa.
Jumlah pemuda yang menyandang status mahasiswa sekitar 23% dari usia 18-23 tahun. Jumlah ini cukup jika seluruh mahasiswa melaksanakan perannya dengan professional di bidangnya masing-masing.
Adapun usaha kritis mahasiswa dapat dilaksanakan melalui seminar, diskusi dan penelitian.
Selain kegiatan ilmiah, gerakan mahasiswa juga dapat dilaksanakan dalam bentuk petisi, pernyataan dan protes. Sejarah mencatat bahwa usaha ini mampu menciptakan perubahan kebijakan politik. Mahasiswa dapat melakukan gerakan untuk mengungkapkan aspirasi dari rakyat.
Gerakan mahasiswa ini merupakan bagian dari partisipasi politik yang bertujuan untuk mempengaruhi atau mengubah kebijakan negara yang tidak berpihak pada rakyat kecil.
Dengan kata lain, gerakan massa mahasiswa adalah suatu aktivitas yang ditujukan untuk merubah tatanan kehidupan masyarakat. Menurut Gabriel Almond unjuk rasa atau gerakan mahasiswa itu merupakan bagian dari partisipasasi politik non-konvensional.
Gerakan mahasiswa yang merupakan bagian dari gerakan sosial yang didefiniskan Nan Lin sebagai upaya kolektif untuk memajukan sebuah masyarakat. Bahkan Erik Hoffler menilai gerakan sosial bertujuan mengadakan perubahan.
Peran mahasiswa sebagai gerakan moral dan gerakan massa untuk mendorong reformasi politik adalah bagian dari tangggung jawab sebagai kaum intelektual. Keberhasilan dan efektifitas gerakan mahasiswa menurut Orum sangat tergantung dari tiga faktor, yaitu: (1) organisasi, (2) doktrin atau ideologi gerakan, dan (3) aksi-aksi demonstrasi terhadap penguasa.
Doktrin atau ideologi dikatakan baik apabila memenuhi kriteria, antara lain: (1) dapat meningkatkan antusiasisme dan komitmen mendukung kegiatan politik; (2) dapat menciptakan kelompok yang lebih terorganisir; (3) dapat mengubah atau menguasai organisasi-organisasi yang ada.
Sementara organisasi mahasiswa dinilai sangat efektif dibanding organisasi lainnya dalam melakukan gerakan karena memiliki empat ciri, yaitu: (1) cenderung tertutup, (2) berbentuk faksi-faksi, (3) sentralisasi kekuasaan, dan (4) aksi-aksi gerakan dan strategi perjuangan yang harus dilakukan.
Akan tetapi faktor lainnya yang juga sangat berpengaruh terhadap keberhasilan gerakan mahasiswa adalah aspek harapan dan ketidakpuasan individu mahasiswa terhadap kelompok yang ditentangnya yang dibangun oleh para politisi partai politik saat konsolidasi politik berlangsung.
Membangun Mahasiwa Baru
Mahasiswa memiliki peran strategis sebagai agen perubahan bangsa. Namun, pada era kekinian banyak mahasiswa yang apatis, individualis dan hedonis. Mereka cenderung akademis dengan kaya kuantitas IPK tapi miskin kualitas sense of crisis.
Selain itu, mahasiswa telah terlibat dalam aksi kekerasan yang berujung pada tawuran antara kampus, maraknya perilaku seks bebas yang membuat mahasiswa hamil di luar nikah, aborsi dan mengidap HIV/AIDS.
Menurut data yang dihimpun oleh BKKN terdapat 2, 3 juta kasus aborsi setiap tahun. Dari jumlah itu 30% adalah remaja yang berumur 19-25 tahun.
Hal yang tak kalah parahnya adalah mahasiswa cenderung mengkultuskan budaya kekerasan dalam berdemonstrasi. Mereka mengidentikan demonstrasi dengan membakar ban, memukul petugas dan melempari suatu institusi bila negosiasi tidak mencapai titik kulminasi.
Situasi ini sungguh berbeda dengan mahasiswa era reformasi yang berjuang membela kebenaran, menjunjung tinggi persatuan dan memperjuangkan kebebasan walaupun nyawa menjadi taruhannya.
Oleh karena itu, Menurut M. Hatta tugas perguruan tinggi adalah membentuk insan akademis yang sense of crisis dan selalu mengembangkan dirinya.
Insan akademis yang sense of crisis akan sangat peka dan peduli terhadap kondisi bangsanya sehingga mereka mempunyai solusi-solusi untuk masalah tersebut. Insan akademis selalu mengembangkan dirinya yakni mengembangkan hard skill dan soft skill agar tercipta penerus bangsa yang berkualitas dan mampu membawa kemajuan untuk bangsanya.
Pertama, pendidikan agama. Menurut Radcliffle Brown, agama adalah salah satu bentuk ekspresi ketergantungan pada kekuatan di luar diri sendiri yakni kekuatan yang dapat dikatakan sebagai kekuatan spiritual atau kekuatan moral. Melalui pendidikan agama, moralitas mahasiswa bisa terbentuk sehingga mampu membedakan hal yang baik dan buruk.
Kedua, pendidikan Pancasila. Pancasila adalah pandangan hidup bangsa Indonesia sejak beratus-ratus tahun sekaligus merupakan rumusan filsafat politik. Sebagai pandangan hidup yang berakar dalam kebudayaan Indonesia, Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa yang selalu merupakan suatu keseluruhan, suatu kontinuum nilai-nilai dan cita-cita. Dalam pancasila terdapat nilai-nilai yang melandasi kehidupan seperti toleransi, pluralisme, ketuhanan, demokrasi dan keadilan.
Ketiga, pendidikan kewarganegaraan. Pemahaman tentang kewarganegaraan akan menjadi lebih sempurna bila dilandaskan pada pendidikan yang baik. Perguruan tinggi sebagai rahim pembentukan mahasiswa perlu menyiapkan atmosfir pendidikan yang baik. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang menyiapkan pandangan hidup yang baik tentang politik, kewarganegaraan dan demokrasi.
Dalam konteks kekinian, ketika atmosfir politik terasa begitu gerah, mahasiswa dipanggil untuk berjuang bersama rakyat. Mahasiswa tampil untuk mengkritisi pelbagai kebijakan dan perilaku korup aparatur negara. Mahasiswa menjadi garda terdepan dalam mengusung transformasi kebijakan publik.
Selain dengan analisis kritis melalui tulisan di media, diplomasi serta dikusi ilmiah, mahasiswa dapat melakukan gerakan masif untuk mempengaruhi kebijakan publik.
Hal ini terbukti ampuh dalam menciptakan perubahan dalam kehidupan berbangsa. Idealisme mulia ini mampu terealisasi mengandaikan eksistensi mahasiswa Indonesia cerdas dan bijaksana. Dalam artian bahwa mahasiswa harus kritis dan menujukkan citra diri sebagai mahasiswa bermartabat.
Sebelum mahasiswa menyuarakan kepentingan rakyat, mereka harus terbebas dari patologi sosial seperti penyakit HIV/AIDS, kehamilan dan perselingkuhan kepentingan parsial yang tersembunyi di balik gerakan massa. Sebab ini menjadi scandalum besar dalam diri mahasiswa reformasi yang mengakibatkan gerakan massa berakhir ricuh dan anarkis.