Lewoleba, Vox NTT-Konon, musik tradisonal ini yang menjadi cikal bakal lahirnya nama edang (kemudian Kedang) di Lembata, Flores, NTT.
Edang tatong terdiri dari dua kata. E artinya “kami”, dang artinya “memukul” (memukul musik). Jadi, edang artinya kami memukul musik tatong.
Namun versi lain, Kedang berasal dari nama Edang Eor (istri Uyolewun). Musik tatong diperkirakan lebih tua dari musik sasando. Tatong terbuat dari bambu; dimainkan dengan cara dipetik atau dipukul dan pernah mendapat penghargaan karya budaya bangsa tingkat nasional pada 17 Oktober 2017 lalu.
Alat musik ini pernah pernah dimainkan pada acara peluncuran Festival Tiga Gunung Lembata di Balairung Soesilo Soedirman, Gedung Sapta Pesona Jakarta, Kementrian Pariwisata, Senin (7/5/2018).
Musik tatong dimainkan oleh satu orang tetapi menghasilkan tiga jenis bunyi yang berbeda. Sebenarnya dipetik/dipukul dengan menggunakan tangan tetapi belakangan sudah diganti dengan kayu.
Biasanya, musik tatong diiringi dengan gendang. Pada zaman nenek moyang, musik ini digunakan untuk acara memuji dewa Lia (anak dari dewa matahari/loyo) sehingga dikenal dengan istilah edang tatong lia namang yang artinya “Kami memukul tatong untuk mengiringi namang (sejenis tarian) untuk memuji lia.
Selain itu dipakai juga untuk acara penguburan jenazah, acara adat dan pesta-pesta lainnya ketika nenek moyang masih menetap di gunung Uyelewun.
Namun sebenarnya kata “edang” dalam kalimat edang tatong lia namang juga adalah nama sebuah alat musik. Jadi masyarakat Kedang memiliki beberapa jenis alat musik asli seperti edang, tatong, peku, no’ol dan juga gong yang baru ditemukan pada masa kerajaan Majapahit dan dipakai sebagai belis/mas kawin.
Selain ditampilkan di ibu kota negara, Sanggar Uyelewun dari SMP Lolondolor Leuwayan pernah membawakan tatong di Bali pada 2016 yang lalu. Sanggar Uyelewun dinahkodai oleh bapak Fransiskus Paya, seorang pensiunan guru yang sangat berminat pada kebudayaan dan musik tradisional kedang.
Minat untuk mengembangkan musik tatong termotivasi ketika Frans Paya menemukan bahwa sampai saat ini sebagian kecil orangtua yang tinggal di kampung lama atau kebun-kebun, masih sering membunyikan tatong untuk menghibur diri.
Melalui pengalaman sederhana ini beliau mulai bermimpi untuk membentuk sanggar guna mengembangkan seni tari dan musik tradisional bagi para anak muridnya. Tujuannya sederhana yaitu untuk menjadikan daerah kedang terkenal dengan kesenian tradisional.
Berkat kesungguhan niat untuk melestarikan musik lokal, Pada 17 Oktober 2017, Frans Paya mendapat Piagam penghargaan dari Anugerah Pustaka Nusantara, sebuah penghargaan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya oleh Frans.
Sampai saat ini musik tatong sudah terkenal bukan hanya skala nasional melainkan juga internasional apalagi musik ini diperkirakan lebih tua dari musik khas NTT yaitu sasando.
Bapak Frans Paya mulai berminat musik dan tari sejak sekolah dasar dan potensi ini ia alirkan kepada generasi muda sekarang untuk tetap memelihara musik tatong.
Beliau berharap agar generasi muda tetap menggali kekayaan tradisional dan berusaha sedapat mungkin untuk mengembangkannya.
Pemerintah kabupaten Lembata juga telah memberikan penghargaan khusus bagi musik ini dengan mewajibkan semua sekolah untuk mulai mempraktikan tatong sebagai musik asli Lembata.
Terlihat sangat sederhana tetapi nilainya luar biasa apalagi mengahsilkan bunyi yang variatif dan terdengar indah.
Ketika daerah Kedang menerima kehadiran kerajaan Majapahit, musik tatong mulai diganti dengan musik gong. Alasannya volume bunyi tatong terlalu kecil jika dibandingkan dengan bunyi gong Majapahit.
Walau demikian, nenek moyang orang Kedang bisa menyesuaikan bunyi tatong dengan bunyi gong. Jika kita mendengar secara langsung, bunyi tatong dan gong persis sama hanya berbeda pada volume bunyi.
Kontributor: Rian Odel, Ledalero
Editor: Irvan K