Borong, Vox NTT- Dua bangunan itu tampak sejajar, berdindingkan anyaman bambu. Walau lantainya semen, namun masih kasar belum halus.
Atapnya dari sink, namun hanya dipaku pada bantal kayu ala kadarnya.
Satu gedung terpaksa dibuatkan satu ruangan kelas. Sementara satu gedungnya lagi disekat ke dalam tiga ruangan kelas. Sekat ruangan berukuran 7×6 meter itu juga dibuat dari anyaman bambu.
Mirisnya, empat ruangan di dua gedung tersebut tak memiliki pintu. Akibatnya, binatang piaran terkadang masuk ruangan kelas. Jendela ruangan pun sudah dibuat, namun tak ada daun.
Kursi dan meja di dalam ruangan kelas terbuat dari kayu. Sedangkan papan tulisnya black board terbuat dari triplek.
Gedung darurat itu dibuat tahun 2016 lalu, hasil swadaya orangtua murid. Kedua gedung itu terpaksa dibangun ala kadarnya. Alasannya gedung permanen terbatas.
Gedung permanen hanya ada tiga ruangan kelas. Sementara terdapat 7 rombongan belajar (rombel). Sehingga disiasati 4 rombel lainnya menggunakan gedung darurat.
Namun kondisi pahit dan getirnya ruang kelas tersebut ternyata tak menyurutkan semangat para siswa SMAN 2 Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur (Matim) untuk belajar.
Di tengah keterbatasan itu, para siswa masih bertahan dan tetap tekun belajar demi masa depan yang cerah.
Para siswa dengan displin datang dan tiba di sekolah pukul 07.00 Wita sebelum guru-guru datang. Sebelum memulai pelajaran, para siswa dibiasakan dengan membaca buku apapun.
Di SMAN 2 Lamba Leda, para siswa diwajibkan membuat karya tulis yang kemudian dijadikan majalah dinding (mading).
Di papan Mading, siswa dengan bebas mengekspresikan potensinya melalui tulisan. Karya itu misalnya, puisi, pantun, opini, karikatur, dan artikel.
Hal itu dibuat agar siswa terbiasa dengan dunia tulisan dan meningkatkan budaya membaca. Para guru mengajarkan siswa bahwa untuk menjadi penulis yang baik dan hebat butuh banyak membaca.
Salah satu siswa bernama Hans, saat diwawancara VoxNtt.com mengaku tetap semangat belajar, meski sekolah di gedung darurat.
Hans mengaku memang sudah tidak ada pilihan lain untuk belajar di gedung permanen selayaknya anak-anak di kota.
Ia hanya pasrah saja dengan keadaan kondisi sekolah yang serba terbatas dan miskin sarana.
“Kami tetap semangat belajar dan mengikuti pelajaran,” sahutnya.
Hans memang sempat bermimpi bisa sekolah seperti anak-anak di sekolah lain yang bisa menikmati berbagai fasilitas pendidikan, termasuk ruangan yang memadai. Buku-buku pelajaran yang lengkap dan media pembelajaran yang memadai.
Tak hanya di sekolah, di rumah pun Hans mengaku terus menelan pil pahit dan getirnya keterbatasan sarana belajar.
Dia hanya belajar menggunakan lampu pelita dari minyak tanah. Di desa Nampar Tabang memang tak ada listrik PLN. Warga hanya menggunakan mesin genset yang tentu saja dengan biaya besar.
Itu pun hanya satu atau dua warga yang memiliki mesin itu. Ada juga yang menggunakan lampu tenaga surya.
Ketua komite SMAN 2 Lamba Leda, Kamelus Sabi mengatakan, sekolah yang beralamat di Weleng, Desa Nampar Tabang itu dibangun tahun 2013 lalu. Usianya sudah empat tahun, tetapi masih minim perhatian.
Ia menjelaskan, ruangan kelas permanen ada tiga. Sementara empat ruangan lainnya masih darurat.
Kata dia, sebelum gedung dibangun, sebagian rombongan belajar dijadwalkan sekolah pada sore hari.
Kamelus mengaku, tak hanya gedung yang terbatas, di SMAN 2 Lamba Leda juga belum memiliki WC permanen.
“Kasihan siswa, mereka terpaksa harus berlari ke hutan jika hendak membuang air. Padahal mereka sudah dewasa. Untuk para gurunya, mereka lari ke toilet milik warga sekitar,”aku Kamelus.
Kepala SMAN 2 Lamba Leda, Vinsensius Ngole saat berdialog dengan anggota DPRD NTT, Inosensius Fredy Mui menyampaikan kondisi real sekolahnya.
“Bapak sudah lihat sendiri kondisi sekolah ini. Sarana dan prasarana serba terbatas. Kami masih butuh ruang kelas, kantor, laboratorium, dan juga WC,” keluh Kepsek Vinsen kepada Fredy saat mengunjungi sekolah tersebut beberapa waktu lalu.
Vinsen sangat berharap agar Pemerintah Provinsi NTT bisa membantu guru-guru komite. Selama ini mereka mendapatkan upah tidak sesuai denga beban kerja.
“Gaji mereka sangat kecil. Mungkin bisa, ke depannya, teman-teman (guru komite) ini bisa dibantu oleh pemerintah agar gaji mereka bisa sesuai UMR. Pengabdian mereka sungguh tulus. Dengan upah begitu kecil, mereka tetap bertahan mengajar demi mencerdaskan anak bangsa,” katanya.
Menanggapi keluhan itu, Fredy Mui meminta agar pihak sekolah membuat proposal permohonan fasilitas pendidikan dan dikirim ke Pemprov dan DPRD NTT.
“Di situ tulis semua apa yang menjadi kebutuhan dasar sekolah yang belum terpenuhi,” pinta Fredy Mui.
Ia berjanji, pada tahun 2019 mendatang APBD 1 Provinsi NTT akan mengintervensi penambahan ruangan kelas di SMAN 2 Lamba Leda.
Selain itu, dana APBD 1 juga akan membantu guru-guru komite yang dibiayai oleh orangtua murid.
Tak hanya itu, dia berjanji siap membantu ruangan perpustakaan dan 1.000 buku yang merupakan donasi dari sebuah yayasan.
Fredy juga berjanji akan membantu membangun WC permanen di SMAN 2 Lamba Leda.
Untuk mendukung pengembangan bakat siswa di bidang olahraga, politisi NasDem itu juga akan menyumbangkan bolak kaki dan bola volley, serta dua pasang kostum olahraga.
Penulis: Nansianus Taris
Editor: Ardy Abba