Kupang, Vox NTT-Dalam rangka memperingati Hari Tani Nasional yang jatuh pada 24 September 2018, DPRD Provinsi NTT mendapat hadiah unik dari sejumlah masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Solidaritas Untuk Marosi (Lamboya).
Mereka membawa hasil pertanian berupa sayur mayur, pisang, kelapa, bawang merah, tomat, daun bawang dan beberapa buah pepaya sebagai ‘oleh-oleh’ untuk DPRD NTT.
Persembahan hasil tani ini merupakan bentuk aksi protes 60-an masa aksi yang mewakili kaum tani di NTT.
Salah satu poin yang disampaikan terkait kriminalisasi petani yang belakangan marak terjadi di NTT.
Aksi dimulai sejak pukul 09.45 sampai dengan pukul 11.50. Masa aksi terlebih dahulu melakukan orasi di badan jalan depan gedung DPRD NTT yang dikawal oleh Sat Pol PP dan anggota kepolisian.
Setelah itu, mereka bergerak masuk ke dalam gedung DPRD NTT dan mendapat kesempatan untuk berdialog langsung dengan Wakil Ketua DPRD NTT, Yunus Takandewa di Aula Kelimutu Gedung DPRD NTT.
“Kami yang tergabung dalam Aliansi Solidaritas Untuk Marosi (Lamboya) hadir ke sini kesekian kalinya untuk menyampaikan masalah pertanian yang kami hadapi,” kata koordinator lapangan, Mathias Kayun.
Kesempatan itu kemudian diberikan kepada setiap perwakilan komunitas untuk menyampaikan permasalahannya masing-masing.
Adapun beberapa masalah yang dibahas terkait persoalan agraria di Nusa Tenggara Timur yang belum diselesaikan oleh pemerintah. Itu diantaranya terjadi di Enolanan, Desa Oemofa Kecamatan Amabi Oefeto Timur, Kabupaten Kupang.
Konflik ini bermula ketika Pemerintah Kabupaten Kupang merampas tanah masyarakat seluas 4 hektar. Untuk memuluskan niatnya, pemerintah disebut menggunakan jalur kekerasan bahkan kriminalisasi kepada masayarakat yang memperjuangkan hak mereka.
Kasus ini menimpa Imanuel Beti dan Sofia Beti dimana pada 12 Juli 2018 dinyatakan bersalah karena melanggar pasal 6 ayat (1) huruf A peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 51 Tahun 1990 pada putusan Pengadilan Oelamasi.
Bapak Imanuel Beti dan Mama Sofia Beti dihukum 1 bulan dengan masa percobaan 2 bulan penjara.
Selain itu, aliansi menyebut ada kriminalisasi yang menimpa 16 masyarakat yang mendiami hutan Pubabu, Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Para petani dituduh melakukan penyerobotan oleh Dinas Peternakan dan Dinas Kehutanan Provinsi ini. Akibatnya, 15 masyarakat yang terdiri dari anak-anak dan orang dewasa mendekam di dalam bui selama 6 bulan. Sedangkan 1 orang lainnya tidak terbukti bersalah.
Konflik ini juga bermula dari sengketa agraria yang sampai saat ini belum diselesaikan oleh pemerintah, padahal sangat jelas pemerintah telah melakukan perpanjangan kontrak tanpa persetujuan masyarakat di tahun 2013 sedangkan masyarakat telah membatalkan perpanjangan kontrak pada tahun 2010.
Ada juga upaya petani mempertahankan hak atas tanah yang terjadi di Pulau Sumba.
Di tengah lajunya investasi pariwisata di Pulau Sandelwood, PT. Sutra Marosi Kharisma bersama petugas Kantor Pertanahan BPN/ ATR Kabupaten Sumba Barat, datang ke lokasi tanah Marosi, Desa Patiala Bawa, Kecamatan Lamboya.
Kehadiran pihak PT dikawal oleh Polres Sumba barat, Anggota TNI Kodim Sumba Barat, Anggota Polsek Lamboya, Satuan Brimob Polres Sumba Barat dan anggota Satuan Polisi Pamong Praja kecamatan Lamboya.
Rombongan yang berjumlah sekitar 100 lebih personil, langsung melakukan pengukuran tanah dan pengecekan batas tanpa ada pemberitahuan kepada masyarakat.
Peristiwa ini memuncak ketika pengukuran sampai di bidang 5. Masyarakat melakukan klarifikasi karena petugas mengukur jalan ritual agama Marapu yang disucikan oleh penganut Marapu setempat.
Namun aksi protes warga, dibalas dengan peluru yang menyasar ke dada Almarhum Poroduka.
Upaya keluarga korban bersama kuasa hukum untuk mencari keadilan terhitung sejak tanggal 25 April. Namun sampai detik ini belum juga mendapatkan titik terang siapa pelaku pembunuh Poroduka.
Tuntutan
Setelah beberapa perwakilan menyuarakan masalah di atas, Yunus Takandewa, Wakil ketua DPRD dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menerima beberapa tuntutan dari masa aksi yang dijabarkan dalam beberapa point berikut:
- Hentikan Perampasan Tanah masyrakat Adat dan kembalikan tanah pada petani bukan kepada Investor.
- Hentikan Segala diskriminasi dan intimidasi dan kriminalisasi terhadap Petani.
- Usut tuntas kasus Poroduka yang ditembak karena mempertahankan haknya.
- Menuntut pelepasan kawasan terhadap pemukiman masyarakat Desa Neolmina kecamatan Takari.
- Menuntut Gubernur Nusa Tenggara Timur untuk menyelesaikan kasus ekspansi PT.Djarum Grup yang telah merusak hutan, memonopoli sumber air dan merampas tanah petani Umalulu di Sumba Timur.
- Menuntut DPRD untuk melakukan RDP terhadap kasus kematian Alm. Poro Duka
- Mengembalikan tanah petani Desa Patiala Bawa, Kecamatan Lamboya Kabupaten Sumba Barat.
- Menuntut Gubernur dan DPRD NTT untuk memberikan pengakuan terhadap kepemilikan lahan dan hutan masyarakat Pubabu Besipae TTS.
- Menuntut pengakuan kepemilikan lahan masyarakat Enolanan Kecamatan Amabi Oefeto Timur Kabupaten Kupang.
Kepada masa aksi, Yunus menyampaikan, dirinya akan menerima semua laporan itu dan akan menindaklanjuti dalam agenda kerja ke depan.
Pertemuan yang terjadi hampir satu jam itu ditutup dengan pemberian hasil tani oleh masa aksi. Penyerahan hasil tani ini diwakili oleh seorang Ibu dari masyarakat Desa Enolanan Kabupaten Kupang kepada Wakil Ketua DPRD NTT.
Adapun elemen masyarakat yang tergabung dalam aliansi terdiri dari Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Front Mahasiswa Nasional (FMN), Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI), Serikat Tani, Ikatan Tokoh Adat Pencari Kebenaran dan Keadilan (ITA PKK), Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa Lamboya (IPMALAYA), perwakilan masyarakat Desa Enolalan Kabupaten Kupang dan simpatisan.
Penulis: Grace Gracella
Editor: Irvan K