Oleh: Rudi Haryatno
Tinggal di Seminari Petrus van Diepen, Aimas, Sorong-Papua Barat
Di tengah hiruk pikuk menangani korban gempa dan tsunami di Palu, Gili dan Donggala, sebuah berita hoaks terbaru mempublik.
Ratna Sarumpaet (selanjutnya RS) dengan berberapa tokoh politik bangsa (dari kubu oposisi) menjadi pengasal kabar bohong itu. “RS dikeroyok sampai bonyok oleh tiga orang tak dikenal di Bandara Husein Sastranegara, Bandung, pada 21 September lalu,” setidaknya seperti itulah substasi berita bohong yang diwartakan (RS dan) kawan-kawan RS.
Berita hoaks itu diterima secara legitim oleh publik, setelah calon Presiden nomor urut 2, Probowo Subianto mempublikasikannya dalam jumpa Pers pada Selasa, 2 Oktober 2018.
Pihak keamanan, dalam hal ini kepolisian merespon cepat isu penganiayaan terhadap wanita 70-an tahun ini. Tidak sulit bagi pihak keamanan untuk menelusuri berita itu.
Ringkas kisah, melalui bantuan akal yang sehat dan teknologi canggih, kebenaran perihal isu seputar penganiayaan itu terkuak. Ternyata, itu hanyalah akal-akalan RS yang kemudian direspon secara emosional tanpa ragu oleh pihak yang menyebarnya.
Kebonyokan pada muka seniman sekaligus aktivis kemanusiaan itu ternyata bukan akibat pengeroyorokan, tetapi hasil operasi plastik-operasi kecantikan di Rumah Sakit Khusus (RSK) Bedah Bina Estetika, di Jalan Teuku Cik Ditiro, Menteng, Jakarta Pusat.
Ironis bukan? Calon presiden nomor urut 2, dan beberapa aktor koalisi adil-makmur lain yang nota bene punya rasio atau akal sehat dan berpendidikan tinggi-pintar (saking pintarnya pernah menawarkan untuk adakan debat Capres-Cawapres dalam bahasa Inggris), diperdayai atau “di-prank” (prank identik dengan akal-akalan) dari RS.
Berita hoaks yang dikutuk selama ini dan yang ditabukan dalam pergerakan politik (pemilu) bangsa, ternyata kini lahir dari aktor politik yang pernah mengutuki aksi tersebut dan yang meminta rakyat (para pendukung dan loyalisnya) untuk berhati-hati terhadap hoaks.
Pertanyaannya, mengapa orang-orang yang berakal, berpendidikan, dan orang-orang yang pernah mengutuki hoaks serentak menjadi aktor penyebar hoaks?
Tulisan ini ingin menjawab pertanyaan ini secara filosofis, bukan politis.
Kepanikan Rasio
Secara gramatikal, rasio dipahami sebagai pemikiran menurut akal sehat, akalbudi; nalar. Rasio menjadi milik niscaya setiap manusia.
Berasio berarti mempunyai rasio, berkemampuan menggunakan rasio (akal) dengan baik; berkemampuan untuk memahami, menyimpulkan dan berpikir secara logis (masuk akal). Itu berarti, semua manusia dapat berpikir, memahami dan menyimpulkan apa yang diterima atau yang masuk dalam rasio atau akalnya.
Namun, walaupun setiap manusia berasio, kadarnya tidak sama untuk semua. Ada yang dapat berpikir, memahami dan memberikan kesimpulan dengan baik, logis atau masuk akal, ada juga yang tidak dapat berpikir, memahami dan membuat kesimpulan dengan baik, logis dan masuk akal.
Golongan pertama ini lebih dominan berasal dari kaum yang mengenyam pendidikan tinggi, di dalamnya terdapat para akademisi dan juga para aktivis dan praktisi politik.
Sementara yang termasuk dalam golongan kedua adalah kaum yang berpendidikan rendah atau yang tidak berpendidikan atau juga yang cacat mental.
Secara etimologis, rasio berasal dari kata bahasa Latin, yaitu ratio, yang berarti akalbudi. Itu berarti rasio identik dengan akalbudi. Aristoteles memberikan beberapa penjelasan tentang akalbudi (rasio), yakni salah satunya adalah akalbudi praktis.
Dalam pengertiannya, akalbudi praktis adalah pertama, kemampuan yang memungkinkan kita mengamati cara-cara mana yang tersedia untuk mencapai tujuan, yang mana dalam cara-cara ini yang paling efesien atau sesuai dengan kemampuan kita, dan bagaimana menggunakan cara-cara ini dalam perilaku aktual.
Kedua, pertimbangan yang mendalam atau penalaran tentang apa yang akan kita buat, dan apa yang seharusnya tidak kita buat (Bdk. Lorens Bagus, “Kamus Filsafat”, hlm. 29).
Tidak lari jauh dari pemahan Aristoteles, Kant juga kemudian mengartikan akalbudi praktis sebagai “asal pengetahuan tentang prilaku moral, juga merupakan sumber-sumber perasaan dan intuisi religius, dan akalbudilah yang merenung tentang kemungkinan-kemungkinan yang diberikan kepada kita oleh kebebasan kehendak” (Ibid.).
Bertolak dari pemahaman tentang rasio tersebut di atas, peristiwa kebohongan yang diwartakan oleh RS dan beberapa politikus berkelas lainnya jelas mendeskripsikan perihal kondisi akal atau rasio mereka. Bukan tidak mungkin, rasio mereka tentu dihantui oleh kepanikan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kepanikan berarti kegugupan, kebingungan dan ketakutan. Situasi ini niscaya berefek pada ketakmampuan atau kesulitan untuk berpikir dengan tenang.
RS selaku pengasal mula berita bohong ini dihantui oleh kepanikan rasio/akal. Akibatnya wanita kelahiran Tarutung, Tapanuli Utara ini tidak dapat menemukan cara yang efesien (sesuai dengan ideal bangsa) untuk mencapai tujuannya, dan tidak dapat merenungkan atau menalar dengan tenang, matang dan dewasa tentang apa yang mesti dibuat untuk mencapai tujuan yang sudah diidealkan.
Kepanikan rasio mengakibatkan RS tidak dapat memberi ruang bagi akalnya untuk menemukan inspirasi dan nilai-nilai moral juga religius.
RS seakan tidak dapat memikirkan jalan atau kemungkinan-kemungkinan lain atau cara-cara yang lebih efesien untuk mewujudkan tujuan atau idealnya (kelompoknya). Karena itu, jalan terakhir yang diambil adalah melakukan apa yang seharusnya tidak dilakukan, yakni “menjual” martabat dan wibawa, dan “melelangkan” integritas diri dengan membual kebohongan ke publik demi meraih impian.
Kepanikan rasio RS merupakan derivasi dari kepanikan politis, yakni kepanikan yang dialami oleh koleganya yang adalah politikus “berkelas”.
Kepanikan kelompok politik ini yang mengakibatkan para politikus berkelas, seperti Prabowo, Amin Rais, dan beberapa lagi tidak merenungkan atau menalar dengan baik informasi RS.
Kepanikan rasio itu serentak mendorong mereka untuk menelan begitu saja informasi “hoaks” RS. Karena itu, mereka mempraktikan apa yang tidak seharusnya, yakni mewartakan kebohongan dan serentak sekaligus menuduh “yang lain-yang bukan sehaluan dengan kami” sebagai biang pembonyokan palsu RS.
Jadi, menjawabi pertanyaan pada awal tulisan ini, RS dan beberapa politikus “berkelas” berani mewartakan kebohongan karena mereka sedang mengalami “kepanikan rasio/akal”.
Siapa yang melaihrkan kepanikan itu? Secara ringkas, tentu kelompok yang tidak sehaluan dengan para pewarta kabar bohong. Secara politis, jelas sekali bahwa subyek yang melahirkan kepanikan para “penyambung lidah” RS itu adalah “para tetangga politis sebelah”.
Menangkal HOAKS dengan Metode Kesangsian
Kabar bohong menjadi semacam wabah yang sedang ditakuti berbagai lapisan bangsa, mulai dari para politikus, akademisi hingga rakyat akar rumput.
Bukan tidak mungkin, wabah hoaks yang menyebar cepat-kilat di era digital ini mempunyai daya mempengaruhi kehidupan politis, sosial dan ekonomi. Kabar hoaks di tahun politik seperti ini niscaya mengakibatkan disintegrasi bangsa. Karena itu, penting bagi bangsa untuk membunuh atau paling tidak mengantisipasi penyebaran wabah hoaks di tahun politik ini.
Berita bohong sangat dekat dengan kehidupan pemimpin bangsa, para politikus dan akademisi. Di satu sisi, mereka bisa jadi korban hoaks, dan di lain sisi mereka bisa menjadi pelaku/pewarta kabar bohong itu.
Sebab segala pergerakan dan terutama suara yang terucap dari mulut mereka selalu diperhatikan oleh publik. Pada saat ini, terutama di tengah hiruk pikuk persiapan Pileg dan Pilpres, golongan yang mempunyai tingkatan atau kualitas rasio yang lebih baik ini (Capres-Cawapres dan loyalisnya masing-masing) mesti menjaga tingkah dan suara, agar tidak distigma sebagai “pencipta kebohongan” atau agar tidak membidani kebohongan yang mengancam integrasi bangsa.
Melihat konsekuensi yang dilahirkan berita bohong sangat fatal, yakni mengancam integrasi bangsa, maka penulis menganjurkan kepada masyarakat luas dan terutama para politikus, akademisi, aktivis dan sebagainya untuk bersama-sama membunuh wabah hoaks atau paling tidak mengantisipasi penyebarannya.
Metode Kesangsian Descartes
Untuk maksud itu, penulis menganjurkan sebuah metode filsafat, yakni metode kesangsian a la Descartes. Metode kesangsian mengajurkan agar informasi yang diterima mesti “disangsikan” kebenaran atau kepastiannya.
Dalam artian, subyek mesti mempertanyakan kejelasan sebuah informasi atau persoalan secara rasional terlebih dahulu, baru kemudian diwartakan.
Metode kesangsian berarti melontarkan persoalan atau informasi (metafisis) untuk menemukan sebuah fundamen atau dasar yang pasti, yang tidak (dapat) goyah. Menyangsikan adalah berpikir.
Dengan demikian, penting bagi para politikus, akademisi, para aktivis dan berbagai golongan masyarakat untuk menggunakan metode kesangsian dalam menyerap dan mewartakan informasi.
Kesangsian terhadap informasi itu yang memungkinkan subyek mempertanyakan dan mendalami serta merenung dan menalar persoalan atau informasi secara rasional, dan bukan emosional.
Dalam konteks tulisan ini, berita bohong yang diwartakan disebabkan oleh kepanikan rasional yang berbuntut pada matinya nalar-rasio. Para penyebar atau pewarta hoaks tentu mementahkan “metode kesangsian” dengan amunisi “emosional dan kebencian”.
Drama politik bangsa akan berjalan tanpa hempasan “angin ribut ini”, jika para pendengar RS menalar dan merenung informasi atau persoalan RS dengan menggunakan metode keraguan.