Oleh: Petrus Natom
Pemerhati Sosial-Politik
Hari-hari belakangan ini, diskusi politik di provinsi Nusa Tenggara Timur agak dinamis. Topiknya sama. Yakni soal sikap Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat yang dianggap garang, menantang sekaligus ekstrim.
Gaya Viktor mungkin menjadi hal baru di mata publik, apalagi kepemimpinan sebelumnya terkesan adem-adem saja meski masalah terpampang jelas di mata publik. Sebut saja, masalah perdagangan orang dan kematian TKI, korupsi, dan kemiskinan NTT yang tidak banyak berubah.
Meski baru sebulan dilantik, aura perbedaan itu rasanya makin tajam. Viktor sudah menyampaikan 8 pernyataan penting yang dinilai sebagai bentuk evaluasi sekaligus kritikan terhadap pemerintahan Lebu Raya.
Kedelapan point diantaranya, status Pantai Pede di Labuan Bajo segera ditinjau ulang (1), moratorium pengiriman Tenaga Kerja Indonesia dari NTT (2), moratorium semua ijin tambang di NTT (3), mencermati ulang manajemen Bank NTT yang konon katanya dililit credit macet dan beraroma syarat nepotisme dan kolusiisme (4), memangkas birokrasi level eselon II yang dinilai teramat gemuk yang berakibat birokrasi bergerak lamban dan berjalan terseok-seok kurang profesional (5), pembangunan infrastruktur jalan propinsi dipercepat dan fokus sehingga menelan sebagian besar APBD NTT (6), lokasi tanah Lippo Mall ditinjau ulang lantaran pembagian keuntungan dinilai tidak sensitif keadilan (7) dan (8) memastikan pemerintahan propinsi bekerja transparan, bersih, profesional sehingga diperlukan kerja sama dengan KPK (VoxNtt.com, 23/10/18).
Bahkan, yang bikin birokrat semakin sesak napas, ketika Victor tak tanggung-tanggung memecat dua pejabat dalam kurun waktu berdekatan sekaligus.
Selain karena tingkah laku pejabat tak sejalan, Victor juga menginginkan Birokrat di lingkup Pemprov NTT bekerja cepat dan peka terhadap masalah dasar NTT.
Sisi lain, pernyataan Viktor yang dianggap keras dan menantang justru membongkar banyak kedok kepalsuan Negara yang giat diparktikan oleh Birokrat NTT selama ini.
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dianggap sebagai hal biasa dan tak soal jika dilakukan. Toh, jika terbukti, untuk meredamnya cukup memakai pendekatan struktural. Sebuah pendekatan yang dilakukan di bawah kolong meja di belakang dapur. Ragam Soal ditutup uang dan kenyamanan.
Karena sudah berlangsung lama dan menyebabkan pembangunan NTT lari di tempat, maka kemudian melahirkan yang namanya jebakkan Zona nyaman.
Jebakan inilah yang membuat predikat NTT sebagai propinsi miskin dan terkorup tak ubah. Rapor termiskin dan terkorup masih jadi agenda tahunan.
Jebakan
Saya tak mau berbicara banyak soal apa yang disampaikan Viktor. Bagi saya, Dia adalah Gubernur. Karena Gubernur maka, sudah menjadi tanggung jawab dia memikirkan banyak hal terkait kemajuan daerah ini. Toh, jika pemimpin sebelumnya tak melakukan hal ekstrim yang persis dilakukan Victor bagi saya sederhana saja, ia tak pantas dikenal dan dikenang sebagai pemimpin yang membuat daerah ini maju dan berkembang. Sesederhana itu.
Saya kemudian tertarik dengan strategi pangkas dan perampingan struktur.
Tertera, demi Provinsi yang hemat struktur namun kaya fungsi, maka dilakukan restrukturasi organisasi perangkat daerah (OPD). Ada 12 OPD yang kemudian dipangkas dan dirampingkan. Lainya, karena dianggap tugasnya tak beda, maka akan dimerger (gabung).
Memang, faktanya, struktur OPD yang gemuk dan banyak, akan sangat sulit bekerja efektif. Bahkan, sebagian besar pejabat hanya pulang pergi kantor karena minus tugas, selanjutnya makan gaji buta.
Dalam media cetak VNews ( 20/10/18), terhitung ada 12 OPD yang hilang. Dari 12 OPD, ada 17 pejabat yang mendudukinya maka apabila dijumlahkan, ada sekitar 2014 jabatan yang hilang.
Perampingan ini memiliki nilai positif, karena ada 12 mobil dinas, tunjangan, biaya operasional yang kemudian hilang. Toh, duit yang selama ini dipakai untuk hal tersebut bisa dipakai untuk kebutuhan lain, misalnya pembangunan. Asas tepat guna dan tak salah sasaran yang benar-benar mau diterapkan. Salut.
Realitas NTT memang demikian, selama ini, terlalu banyak biasa operasional yang dipakai untuk tunjangan dan perjalanan dinas. Bahkan, dari segi efektivitas, perjalanan dinas kebanyakan didesain dan dimanipulai. Bisa jadi, pejabat merasa jenuh di kantor dan aktivitas birokrat, kemudian mendesain perjalanan dinas fiktif. Intinya dibiayai oleh Negara.
Hal di atas adalah merupakan jebakan zona nyaman, yang hemat penulis selamai ini terjadi dan bahkan didesain sedemikian rupa.
Kehadiran Victor dengan strategi perampingan struktur membongkar segala jenis soal. Mafia jabatan, perjalanan dinas viktif dan juga nepotisme yang selama ini didiamkan begitu saja.
Garangnya Victor, malah membuat pejabat tak kerja santai dan masa bodoh dengan urusan rakyat. Toh, birokrasi sepenuhnya hadir untuk memikirkan kesejahteraan rakyat, bukan keluarga dan anak cucu.
Sebagai rakyat, kita menaruh asa besar bagi Gubernur agar melawan kenyamanan di tubuh birokrat sekaligus menyembuhkam ragam sakit kronis yang selama ini mendera NTT. Minimal, rapor kemiskinan dan terkorup harus diubah. Semoga !